Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dante Menemukan Nadia, tapi...
Tidak tau harus berkata apa. Sejenak kutatap Sofia, dibalas tatapan serupa tidak berkedip dan pinggiran mulut sedikit memunculkan taring.
Semua kata yang keluar dari mulutku diawali dengan kegugupan. Sofia tidak menjawab. Terus menatap. Kami lama berdiri diam saling menatap.
Sofia memutuskan bicara lebih dulu.
"Ada apa di sana?" Tunjuknya dengan kepala ke pagar di belakang saja.
"Memangnya kenapa, Detektif? Sedang apa kemari?" Tanyaku berlagak bodoh. Berharap dia tidak tau apa yang sebenarnya ingin ditanyakan.
"Membuntuti kamu. Ada apa di sana?"
"Di sana?" Aku malah balik bertanya. Tolol, memang. Tapi sungguh aku kehabisan kata. Mana mungkin sempat memikirkan alasan dalam situasi begini?
Sofia meneleng kepala ke satu sisi. Lidahnya menjilat bibir bawah dari kiri ke kanan beberapa kali, lalu mengangguk.
"Kamu pikir aku ini bodoh, ya? Tapi kamu juga harus ingat, aku ini Detektif dan kita berada di Shadowfall City. Kamu pikir bagaimana bisa jadi Detektif di kota ini?" Dia berkata. Aku akui, aku sering berpikir kalau dia bodoh, tapi rasanya tidak sopan kalau dikatakan terus terang.
"Kecantikan, barangkali?" Jawabku sambil melepas senyum penakluk suka.
"Bagus, jawaban yang mestinya membuatku luluh... jika kamu menyukaiku."
"Aku memang menyukai kamu, Detektif," jawabku tergesa. Sofia tidak mengindahkan.
"Masalahnya, tempo hari kamu dorong aku ke lantai seperti babi, membuat aku berpikir, apa yang salah denganku? Apakah napasku bau? Lantas aku sadar bahwa masalahnya bukan di aku, tapi kamu. Ada yang salah dengan kamu."
Dia seratus persen benar, tapi tidak enak juga di dengar langsung di telinga. "Aku tidak... apa maksudmu?"
Sofia menggeleng menepis. "Sersan Daniel sejak lama benci dan ingin membunuhmu. Kalau ditanya, dia sendiri tidak tau kenapa. Ternyata dia benar. Ada yang salah denganmu. Dan entah bagaimana, kamu juga terlibat dengan kasus pembunuhan berantai para pelacur ini."
"Terlibat... maksudnya bagaimana?"
Kali ini ada kesan sadis di senyum Sofia. Aksen suaranya mulai kacau. "Simpan saja senyum gombalmu buat pengacara. Atau mungkin hakim. Aku tau rahasiamu sekarang."
"Jadi, kamu membuntutiku?"
Senyum beringas kembali digelar. "Benar sekali. Kenapa kamu penasaran dengan pagar itu? Ada apa di sana?"
"Kapan kamu ke tempatku? Kamu sempat ke apartemenku, kan? Jam berapa?"
"Kenapa begitu gigih mengalihkan pertanyaan? Pasti ada sesuatu yang penting di situ, ya?"
"Detektif, tolonglah... ini sangat penting. Tolong jawab dulu pertanyaanku. Kapan dan di mana tepatnya kamu mulai membuntuti?"
Semenit dia menimbang jawaban. Membuat aku sadar bahwa selama ini aku memang teledor telah meremehkannya.
"Detektif, tolonglah..."
Sofia memainkan lidahnya sebentar sebelum menjawab,
"Baik. Waktu Adikmu menghilang berjam-jam dan tidak ada kabar berita, aku mulai menduga bahwa dia sedang merencanakan sesuatu. Aku tau dia tidak mungkin bergerak sendiri, jadi ke mana kira-kira dia pergi? Pasti ke rumahmu! Berbicara denganmu! Begitulah, mulailah aku memikirkan tentang kamu. Bagaimana kamu selalu muncul di saat genting dan sibuk mengorek-ngorek segala hal saat sebenarnya tidak perlu atau diharuskan begitu oleh Departemen. Bagaimana kamu selalu mampu memecahkan kasus pembunuhan berantai kecuali yang satu ini? Lantas mempermainkan aku dengan daftar sialan itu, membuat aku tampak bodoh, mendorongku ke lantai..." Wajahnya mengeras geram.
Sekilas jadi lebih tua. Lalu tersenyum melanjutkan, "Di kantor, tidak sengaja aku berseru keras mengeluarkan unek-unek. Sersan Daniel mendengar dan berkomentar, 'Sudah kubilang orang itu aneh, tapi kamu tidak mau dengar.' Aku langsung teringat bagaimana wajah tampanmu selalu muncul di tempat yang tidak semestinya. Jadi, kudatangi apartemenmu."
"Kapan? Bisa memastikan, kira-kira jam berapa?"
"Entah. Aku cuma sekitar dua puluh menit berada di sana, tapi sempat melihat kamu keluar dan main Barbie seperti maniak sinting, lalu kuikuti sampai kemari."
"Dua puluh menit..." Jadi dia tidak sempat melihat siapa yang menculik Nadia. Kurasa dia jujur, dan memang membuntuti aku kemari untuk melihat---melihat apa?
"Kenapa membuntutiku?"
Sofia mengangkat bahu. "Entah bagaimana, kamu terikat dengan kasus ini. Mungkin bukan sebagai pelaku, soal itu aku tidak pasti. Tapi pasti akan aku bongkar. Dan apa yang akan aku temui kelak tidak akan bagus buat kariermu. Ada apa di sana... di kotak-kotak itu? Kamu mau menjelaskan? Atau kita berdiri saja di sini semalaman?"
Sungguh tidak bisa terlalu lama buang waktu kalau tidak mau Nadia celaka---aduh, itu pun kalau memang belum terlambat.
Aku harus segera pergi dan menghentikan si pembunuh truk es. Tapi bagaimana caranya sementara Sofia mengekor begini?
Sofia masih menunggu jawaban.
"Aku rasa si pembunuh ada di sini. Dan dia sudah menculik Nadia."
Sejenak Sofia tidak menjawab. "Oke, jadi itu sebabnya kamu berdiri mengintip di pagar? Saking sayangnya pada adik tercinta sampai ingin melihat sendiri dia dieksekusi?"
"Karena aku mau masuk, Detektif. Aku sedang cari cara melewati pagar itu."
"Apa kamu lupa bahwa kamu bekerja di Kepolisian?"
"Aku... hanya ingin yakin, sebelum terlanjur bikin heboh."
Sofia mengangguk. "Bagus sekali. Tapi aku rasa kamu bohong. Yang benar entah kamu merahasiakan perbuatan buruk atau tau soal itu. Begitulah, sekarang mau disembunyikan atau mau dikuak sendiri."
"Dikuak sendiri? Untuk apa?"
Sofia menggeleng, seolah jawaban barusan tidak bedanya jawaban tolol. "Agar kamu dapat pujian, tentunya... kamu dan adikmu. Pikirmu aku tidak tau? Sudah aku bilang aku tidak bodoh."
"Aku bukan tukang serobot, Detektif. Tapi aku benar-benar yakin si pembunuh ada di sana, di salah satu kontainer itu."
Sofia menjilat bibir. "Kenapa berpikir begitu?"
Aku meragu sejenak, tapi mata kadal Sofia tidak lekang menghunus. Meski enggan dan gerah, aku terpaksa jujur lagi. Kutunjuk truk Allonzo Brothers di balik pagar.
"Itu truknya."
"A-ha," decak Sofia, berkedip setengah yakin. Tatapannya berpindah, lalu seperti melamun. Berpikir apa kiranya.Entahlah.
Yang jelas, kalau dia memang Detektif yang baik, mestinya ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan pada titik ini, seperti: Bagaimana aku tau bahwa itu truknya? Bagaimana aku bisa menemukan truk itu di sini? Kenapa aku bisa begitu yakin, padahal bukan tidak mungkin di pembunuh telah membuang truknya dan pergi ke kota lain?
Untunglah Sofia bukan Detektif yang baik. Dia berkata, "Bagaimana cara kita menemukannya di antara begitu banyak peti kemas?"
"Apa kamu tidak mau panggil bantuan lebih dulu? Orang ini sangat berbahaya."
"Kalau aku tidak menangkap sendiri orang ini, dua minggu lagi aku bakal turun pangkat jadi polisi lalu lintas. Aku memegang senjata. Tidak ada yang bisa lolos dariku. Panggil bantuannya nanti saja setelah dia aku tangkap. Dan kalau ternyata dia tidak ada di sana, kamu akan aku serahkan pada polisi."
"Kamu bisa membawa kita menembus pagar?"
Sofia tertawa. "Tentu saja bisa. Untuk apa punya lencana kalau hal seremeh itu tidak bisa dilewati? Kita bisa pergi ke mana pun. Tapi setelah itu apa?"
"Setelah itu kita berpencar dan melakukan pencarian sampai menemukan si pembunuh."
"Baik, Masuklah." Angguk Sofia, lalu menunjuk mobil.
Aku menurut. Dia membawa kembali mobil ke jalan utama, mengarah ke gerbang. Bahkan selarut ini lalu lintas masih tetap hidup. Tanpa malu-malu sofia memangkas antrean, menjejalkan mobil besarnya di barisan paling depan.
Keahlian menyetirnya bukan tandingan wanita dari Shadowfall City. Kontan kami disambut lengkingan klakson dan riuh protes. Tapi yang penting, kami tiba di pos jaga lebih dulu.
Sang penjaga keluar dari posnya. "Bu, Anda tidak..."
Sofia mengibas lencana kebanggaan. "Polisi. Buka gerbang." Katanya dengan nada memerintah dan sangar sampai aku nyaris sendiri yang turun dari mobil untuk membukakan pintu.
Tapi si penjaga tetap bergeming. Malah bernapas gugup lewat mulut sambil melirik pos jaga. "Mau apa Anda..."
"Buka gerbang sialan itu, Satpam!" Bentaknya galak sambil tetap mengacung lencana.
Si penjaga bergerak gugup, berusaha menjaga wibawa. "Kemarikan lencana itu. Biar saya lihat lebih jelas."
Sofia tidak menyerahkan begitu saja lencananya. Hanya memperbolehkan si penjaga melihat dalam posisi miring, membuat dia terpaksa mendekat. Kening hitamnya berkerut memastikan, tapi tidak menemukan keanehan di lencana itu.
"Bisa jelaskan tujuan Anda masuk ke dalam?" Katanya makin gugup.
"Tidak. Tapi kalau tidak segera membuka gerbang itu dalam dua detik, Anda akan saya bawa dan penjarakan di markas, di sel khusus geng motor homo, lalu kuncinya saya buang. Hmm?"
Si penjaga berdiri tegak. Tidak mau mengusik lebih jauh.
"Maaf, saya hanya coba membantu." Katanya, lalu berseru pada temannya di gardu. "Tavio, buka gerbangnya!"
Gerbang dibuka. Sofia langsung tancap gas.
"Bangsat itu menyembunyikan sesuatu. Tapi aku tidak peduli soal penyelundupan malam ini. Ke mana kita sekarang?" Dia bertanya padaku.
"Tidak tau. Aku rasa sebaiknya kita mulai dari truk itu." Aku menjawab.
Sofia mengangguk, membawa mobil menuju tumpukan kontainer.
"Kalau dia membawa mayat, dia pasti memarkir kendaraan tidak jauh dari tempat tujuan."
Makin dekat ke tepian pagar, Sofia melambatkan mobil sampai lima belas meter dari truk dan akhirnya berhenti.
"Ayo kita mengintai pagar," ujar Sofia dan langsung turun begitu mobil berhenti.
Aku mengekor. Denyut nadiku makin kencang, segera beringsut ke truk. Aku memutari dan coba membuka pintunya satu persatu. Semua dikunci. Jendela belakang tidak bisa diintip karena dicat lapisan gelap dari dalam.
Aku berdiri di depan bemper, bersikeras mencoba mengintip. Lapisan penutupnya terlalu tebal. Tidak bisa melihat apa pun di sisi ini. Jadi aku coba kolong mobil. Kurasakan Sofia merayap di belakang.
"Dapat apa?"
Aku berdiri.
"Nihil, jendela belakang dicat gelap di bagian dalam."
"Bagian depan juga tidak bisa diintip?"
Aku beringsut memutar ke sisi depan. Tetap tidak ada petunjuk. Aku memanjat bemper depan sampai ke atap, merangkak dari kiri ke kanan, tapi tidak menemukan celah.
"Nihil," ujarku kembali turun.
"Oke, kita berpencar di sini. Arah mana yang kamu ambil?" Sofia bertanya.
"Aku ambil arah kiri, mengitari area ini. Kita bertemu di tengah." Kataku.
"Baik. Tapi aku yang ambil arah kiri."
"Baik, sampai nanti." Ulang Sofia, lalu menghilang ke tumpukan pertama kontainer.
Tinggal aku sendiri.
Tidak ada alasan memastikan bahwa arah itu lebih baik dari kiri atau lebih tepatnya lagi, jauh lebih baik ketimbang berdiri bengong mencengkeram pagar kawat beberapa saat lalu.
Saatnya memutuskan ke mana aku harus pergi. Aku melihat berkeliling, pada jalur lengang tidak rata yang dibentuk oleh barisan tumpukan acak kontainer. Di arah sofia pergi, tampak beberapa baris trailer truk berwarna cerah. Di depanku, membentang ke arah kanan adalah kontainer-kontainer kapal.
Mendadak aku meragu. Aku tidak suka perasaan ini, jadi kupejamkan mata.
Tubuhku seperti bergerak ke arah sebaran acak tumpukan kontainer kapal dekat permukaan air. Tidak ada kesadaran sebelumnya bahwa kontainer-kontainer yang ini berbeda atau merupakan arah yang lebih baik, lebih tepat atau cocok.
Pada saat bersamaan muncul suara yang kecil dan masuk akal, mendorongku meluncur sambil mengatakan bahwa sebenarnya aku tidak ingin berada di sini sama sekali. Memaksaku berlari pulang, menjauh dari sini.
Tubuh tertarik maju dan terdorong mundur begitu kuat sampai aku terhuyung terseret, jatuh bangun dan akhirnya ambruk mencium tanah.
Aku berusaha bangkit. Berlutut dengan mulut kering dan jantung berdebar keras. Jemariku naik tidak sadar meraba sobekan di kemeja bowling, menyelinap masuk menggelitik di baliknya.
Aku bangkit terhuyung, memasang telinga.
Aku diam sebentar, bersandar pada salah satu kontainer. Pada saat begini, siapa yang butuh pikiran jernih?
Sesuatu tidak bernama pernah lahir di tempat ini. Sosok kegelapan yang hidup di kedalaman batin seorang anak manusia bernama Dante. Untuk pertama kali dalam hidup, aku merasa takut. Tidak ingin berada disini, tempat di mana kengerian mengendap. Tapi aku harus bertahan demi Nadine.
Jiwaku terkoyak ditarik daya gaib ke berbagai arah. Aku ingin pulang dan meringkuk di kasur.
Jantung berdebar tidak karuan, napas terdengar pendek-pendek hendak menjerit tapi tidak bisa.
Dan untuk pertama kali dalam hidup aku merasa begitu lemah, pusing, mual dan bodoh. Manusia kecil dan tidak berdaya.
Aku menyeret langkah gamang sekuat tenaga di sepanjang jalur yang entah bagaimana rasanya kukenali, sampai akhirnya ambruk. Sekali lagi terpaksa bersandar di salah satu kontainer.
Kontainer berfasilitas alat pendingin. Terasa berdebum-debum di bagian belakang. Saat aku bersandar di kontainer itu, pintunya membuka.
Bagian dalam kontainer diterangi sepasang lampu berdaya aki. Tembok belakangnya berhias sebuah meja operasi dari tumpukan peti-peti paket kiriman. Di atas meja itu, Nadia sang adik tersayang membujur kaku.