Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Hari itu Erencya ngerasa waktu jalannya lebih lambat dari koneksi internet pakai modem zaman purba. Sejak Lusi dengan gerakan ala-ala ninja menyelipkan surat itu ke dalam buku Fisikanya, buku itu auto jadi benda terpanas. Erencya nggak bisa fokus sama sekali. Bu Guru di depan kelas ngejelasin soal hukum Newton, tapi di kepala Erencya yang ada cuma satu hukum: gimana caranya selamat sampai kamar tanpa ketahuan dan bisa baca surat ini secepatnya.
Setiap detik terasa kayak setahun. Surat itu, yang tersembunyi di antara rumus-rumus pusing, seolah berteriak manggil-manggil namanya. Jantungnya dag-dig-dug nggak karuan, takut kertas itu tiba-tiba jatuh atau ada yang iseng buka-buka bukunya. Gila, level parnonya udah tingkat dewa.
"Ren, kamu kenapa dari tadi gelisah terus?" tanya Bu Guru, suaranya tiba-tiba membuyarkan lamunan Erencya.
Mampus. Erencya langsung duduk tegak. "Eh, nggak apa-apa, Bu. Cuma... mules," jawabnya, alasan paling random yang bisa kepikiran. Seisi kelas nahan ketawa. Erencya rasanya mau gali lubang terus ngumpet di situ selamanya.
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, bunyinya lebih merdu dari lagu K-Pop favoritnya. Tapi perjuangan belum selesai. Ia harus melewati perjalanan pulang yang terasa kayak perjalanan ke bulan. Sopir keluarganya, Pak Udin, seperti biasa sudah menunggu. Erencya masuk ke mobil, memeluk tumpukan bukunya—terutama buku Fisika keramat itu—erat-erat di dada.
"Langsung pulang, Non?" tanya Pak Udin.
"Iya, Pak. Ngebut kalau bisa, tapi yang aman ya, Pak," kata Erencya, yang langsung dapat tatapan aneh dari Pak Udin lewat kaca spion.
Sesampainya di rumah, Erencya melesat masuk kayak karakter anime yang lagi dikejar musuh. Ia melewati mamanya di ruang tengah dengan sapaan super singkat, "Eren pulang!", dan nggak ngasih kesempatan buat ditanya-tanya. Kakak-kakaknya untungnya lagi nggak kelihatan. Aman.
BRAK! Pintu kamar ditutup. KLIK! Kunci diputar.
Napasnya terengah-engah. Sendirian. Akhirnya. Dengan tangan yang gemetar lebih parah dari getaran ponselnya, ia meletakkan tasnya dan mengeluarkan buku Fisika itu. Ia membukanya perlahan. Di sana, terlipat rapi di halaman 127, ada sepucuk surat.
Ia meraih kertas itu. Kertas HVS biasa, tapi di tangannya terasa lebih berharga dari emas. Ia bisa mencium aroma parfum Akbar yang samar, wangi maskulin yang sama seperti yang ia hirup saat mereka berpelukan di bandara. Aroma itu saja sudah cukup membuat matanya berkaca-kaca.
Perlahan, ia membuka lipatan surat itu. Tulisan tangan Akbar yang rapi dan sedikit miring menyambutnya.
Untuk Erencya-ku yang paling kuat,
Hai, sayang. Aku tahu kamu pasti lagi kalut banget sekarang. Maaf, kata pertama yang ingin aku tulis adalah maaf. Maaf karena kehadiranku membawa badai sebesar ini ke duniamu. Tapi ada satu hal lagi yang harus kamu tahu: aku sama sekali nggak menyesal pernah bertemu denganmu.
Aku terima pesanmu kemarin. Makasih udah khawatir sama aku. Tapi kalau kamu pikir aku bakal nurut gitu aja sama perintah "pulanglah" itu... kamu salah besar. Kamu pikir aku bakal lari setelah semua yang kita lewati? Nggak akan, Ren. Sumpah, nggak akan.
Dua hari terakhir tanpamu itu neraka. Aku kira aku bakal gila karena nggak tahu kabarmu. Aku di sini, Ren. Di kota yang sama. Di bawah langit yang sama. Dan aku nggak akan ke mana-mana sampai aku yakin kamu baik-baik saja. Aku nggak akan meninggalkan kapten kapalku berjuang sendirian di tengah badai.
Lusi itu teman yang hebat. Dia setuju buat jadi jembatan kita. Mungkin ini cara yang kuno, tapi untuk sekarang, biarlah surat-surat ini yang menjadi suara kita. Tulis apa saja yang kamu rasakan. Marah, sedih, takut, semuanya. Aku siap mendengarkan, atau lebih tepatnya, membaca.
Satu hal yang paling penting: jangan pernah merasa sendirian. Kamu nggak sendirian. Ada aku. Ada Lusi. Jangan nyerah, ya? Kita hadapi ini bareng-bareng. Selalu.
Selalu menyayangimu,
Kak Akbar-mu.
Saat Erencya selesai membaca baris terakhir, bendungan air matanya jebol. Ia menangis sesenggukan, memeluk surat itu di dadanya. Tapi tangis kali ini berbeda. Ini bukan tangis putus asa seperti dua hari yang lalu. Ini adalah tangis lega, tangis haru, tangis bahagia yang meluap-luap.
Beban berat yang menghimpit dadanya seakan terangkat. Ia tidak sendirian. Akbar tidak pergi. Akbar ada di sini, berjuang untuknya. Surat itu seperti suntikan adrenalin dosis tinggi, mengubah keputusasaannya menjadi semangat perlawanan. Rasa takutnya pada Bryan dan papanya tidak hilang, tapi kini di samping rasa takut itu, tumbuh sebuah keberanian baru.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, ia menyeka air matanya. Oke, sekarang gilirannya. Ia harus membalas surat ini. Ia mengobrak-abrik laci meja belajarnya, mencari kertas surat dan pulpen. Ia memilih selembar kertas berwarna peach yang wangi. Dengan hati yang masih meluap-luap, ia mulai menulis.
Kak Akbar-ku yang paling nekat dan keras kepala,
Kakak tahu nggak? Aku baca surat ini sambil nangis jelek banget. Tapi ini nangis bahagia, kok. Sumpah, Kak, aku kira aku bakal gila beneran. Aku kira semuanya sudah berakhir. Makasih... makasih karena Kakak nggak pergi. Makasih karena Kakak tetap di sini.
Di rumah situasinya masih kayak perang dingin. Aku kayak tahanan politik, hehe. Tapi setelah baca surat Kakak, aku ngerasa lebih kuat. Aku nggak takut lagi. Oke, bohong, aku masih takut banget. Tapi sekarang aku juga merasa berani.
Aku nggak tahu ini akan berakhir gimana. Aku nggak tahu apa kita bisa melewati ini. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku juga nggak akan menyerah. Kakak sudah berjuang sejauh ini untukku, sekarang giliranku untuk berjuang demi kita.
Ciuman kita di candi itu... aku masih bisa merasakannya. Itu adalah hari terbaik dalam hidupku. Kita harus bisa menciptakan hari-hari seperti itu lagi, ya, Kak? Kita harus.
Aku juga sayang banget sama Kakak. Selalu.
Tunggu surat balasan dariku selanjutnya,
Erencya-mu.
Ia melipat suratnya dengan hati-hati. Air matanya sempat menetes di sudut kertas, meninggalkan noda kecil yang transparan. Sebuah tanda dari perasaannya yang tulus. Sekarang, masalah berikutnya: menyimpan surat ini. Ia melihat sekeliling kamarnya. Laci? Terlalu mudah ditemukan. Bawah kasur? Terlalu klise.
Matanya lalu tertuju pada rak bukunya, pada sebuah buku novel tebal tentang petualangan fantasi yang sudah lama tidak ia baca. Ia mengambil buku itu, sebuah pisau cutter kecil, dan dengan hati-hati, ia mulai melubangi halaman-halaman tengah buku itu, menciptakan sebuah rongga rahasia. Di sanalah ia menyimpan surat dari Akbar dan surat balasannya. Aman.
Keesokan harinya di sekolah, Erencya adalah orang yang berbeda. Wajahnya tidak lagi muram. Ada seberkas cahaya di matanya, sebuah senyum tipis yang penuh rahasia. Lusi yang melihatnya langsung mengerti.
Di koridor yang ramai saat pergantian jam pelajaran, momen itu tiba. Erencya berjalan di samping Lusi. Dengan gerakan yang sudah mereka rencanakan melalui kontak mata, Erencya menyelipkan surat balasannya ke dalam binder Lusi yang terbuka. Sebuah operan yang mulus dan cepat.
"Makasih," bisik Erencya.
"Santuy," balas Lusi, juga berbisik, sambil tersenyum bangga. "Misi diterima."
Saat Erencya melihat Lusi berjalan menjauh, membawa pesannya untuk Akbar, ia merasakan sebuah getaran yang mendebarkan di dalam dirinya. Ini bukan lagi sekadar cinta-cintaan. Ini adalah sebuah pemberontakan. Sebuah perjuangan. Dan ia, Erencya, anak kelima dari enam bersaudara, bukan lagi seorang putri yang terkunci di menara.