Bara tak menyangka bahwa ią menghabiskan malam penuh gelora dengan Alina, yang ternyata adalah adik kandung dari musuhnya di zaman kuliah.
"Siaap yang menghamili mu?" Tanya Adrian, sang kakak dengan mulai mengetatkan rahangnya tanda ia marah.
"Aku tidak tahu, tapi orang itu teman kak Adrian."
"Dia bukan temanku, tapi musuhku." cetus Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Danira16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemanasan
Mata Alina membeliak kala Bara sudah menempelkan alat ucapnya pada b1birnya, lalu ia mengerjapkan matanya dua kali seolah ia terkejut akan aksi tiba tiba Bara pada dirinya.
"Kak Bara...." Seru Alina segera ia mendorong dada Bara, dan otomatis posisi Bara sudah berada ditempatnya tepat didepan stir mobil.
Bara tersenyum tipis, lalu ia menyentuh bekas b1birnya yang tadi sempat menyapa kekenyalan serta kehalusan milik Alina yang ternyata begitu manis.
Padahal ia hanya menempelkannya saya, tidak sampai menyapa ke dalamnya, namun rasa manis terasa pada b1birnya. Mungkinkah karena manis rasa lip balm atau memang rasa alami dari milik Alina.
Entahlah yang jelas Bara kini terlihat senang bisa menggoda Alina bahkan merasakan b1bir Alina lagi.
Jika Bara terlihat senang, berbeda dengan Alina. Gadis itu langsung secepatnya mengusap jejak Bara pada bibirnya, ia bahkan terlihat menggerutu dengan suara nyaris tak terdengar.
"Tidak perlu marah, toh ini hanya pemanasan. Sebelum kita nanti benar benar lakukan malam pertama setelah nikah nanti." Jawab Bara dengan santainya.
Alina tak menjawab, ia memilih menoleh wajahnya ke samping menatap hamparan ilalang yang tinggi, ia tak mau menatap pria yang seenak jidatnya mencuri c1uman darinya.
Tapi jika mengingat nanti setelah menikah ia harus bersama pria yang tidak ia cintai dan bahkan sampai melakukan malam ritual itu, sungguh ia tak mau membayangkannya.
"Gak usah dibayangin, cukup nanti dirasakan lagi saja denganku."
Kini Alina memberanikan dirinya menoleh pada Bara, calon suaminya. Alina melotot pada musuh kakaknya itu.
Alina sendiri merasa bahwa apa yang ia pikirkan bahkan suarakan dalam hati, seolah Bara bisa mengetahui sisi hati bahkan pikirannya.
"Ini anak konglomerat atau anak dukun sih. Kenapa bisa tahu semua apa yang aku batin." Umpat Alina dalam hati.
"Kenapa melamun Alina? Kamu masih memikirkan nanti malam pertama kita?" Goda Bara.
"Gak, cukup jangan bahas hal ini. Aku gak suka kak." Seru Alina.
"Awalnya memang gak suka Alina, tapi kalo sudah merasakan pasti ketag1han." Kekeh Bara.
"Dasar g1la, mesum....." Batin Alina yang mampu ia suarakan di dalam hatinya lagi.
"Kita pulang sekarang atau kita....."
"Pulang sekarang!! Nanti kak Adrian marah kalo aku pulang telat." Jawab Alina cepat, ia tak mau sampai pria yang akan jadi suaminya itu mulai berbicara mesum lagi.
"Baiklah sayang....."
Bara pun mengemudikan mobilnya menuju rumah si gadis, ia masih hafal rumah Adrian, walau saat ia main dulu, ia tidak sampai bertemu Alina.
Karena setelah kejadian kedua orang tua Aina dan Adrian meninggal, gadis itu sempat tinggal cukup lama dengan sanak saudara dadi pihak ibunya.
Itu dilakukan karena Alina saat itu masih kecil dan ia butuh kasih sayang dari perempuan, dan itu Alina dapatkan dari tantenya yang tinggal didaerah kota itu, namun rumahnya agak berjauhan dari rumah kedua orang tua mereka.
"Memangnya Adrian marah kalo kamu pulang telat?"
"Iya...." Jawab Alina singkat.
"Kenapa? Kan wajar biasanya main dulu. Apalagi perempuan kan biasanya suka shoping atau nonton dulu." Ucap Bara.
"Karena kak Adrian gak mau Alina terjerumus pergaulan bebas" kata Alina dengan jujur.
"Oh begitu, mungkin Adrian terlalu sayang dan lindungi kamu."
"Iya kak."
Bara sendiri cukup memuji rasa sayang Adrian pada adiknya, terlihat saat tahu Alina ia h4mil1, pria itu marah besar padanya dan meluapkannya dengan memukulnya.
"Pantas Alina waktu gue sentuh masih ori." Batin Bara.
Tapi Bara senang menjadi pria pertama bagi Alina, tapi tidak dengan Alina sendiri. Dan mobil pun kini telah sampai tepat pada halaman rumah kakak beradik itu.
"Aku langsung pulang ya? Capek nih badan calon suamimu ini."
"Hmm,,,,,," jawab Alina singkat dengan memutar bola matanya malas.
Memang Alina juga enggan berbasa-basi mengajak pria itu masuk kedalam rumah, bisa bahaya jika Bara sampai masuk kedalam rumah tanpa Adrian.
Kembali Alina membayangkan kejadian yang pernah terjadi beberapa minggu itu, lagi pula jam segini kakaknya masih belum pulang dari kantor nya.
Terlihat nafas panjang penuh kelegaan ketika mobil mewah yang tadi sempat ia naikin itu telah pergi dari teras rumahnya, lalu ia masuk ke dalam rumah untuk bersiap memasakan Adrian makan malam.
***
Bram pulang dengan suasana hati yang pedih selepas ia bertemu dengan Adrian, ia pulang ke rumah inti dimana ibu dan ayah tirinya tinggal. Bara memasuki kamarnya dan ia melihat Naura yang sedang memakai bathrobe selepas mandi di sore hari.
Rambut sang istrinya pun masih basah, terlihat rintikan air nya membasahi bagian pundak Naura. Bram acuh, ia duduk di sofa sembari menyugar rambutnya. Naura mencoba mendekati suaminya dan duduk disamping Bram yang terlihat nampak tidak baik-baik saja.
"Kak kamu sudah pulang?"
"Ehhm......"
"Kak nanti malam papa menyuruh kita kerumah untuk makan malam."
"Kamu aja yang datang, aku lagi banyak kerjaan." Potong Bram malas menanggapi isterinya.
Mendapatkan perlakuan tak baik bahkan penolakan dari Bram tak membuat Naura menyerah. Naura melingkarkan tangannya pada lengan suaminya, ia pun menyenderkan kepalanya dibahu suaminya.
"Kak Bram lagi ada masalah ya? Skripsinya ditolak?" Tanya Naura.
Dia tahu bahwa sang suami sedang sibuk menyiapkan skripsinya, itu terlihat setiap malam Bram selalu tidur hingga menjelang pagi.
"Untuk itu aku tidak mungkin bisa pergi denganmu kerumah orang tuamu, katakan padanya aku sibuk dengan skripsi." Dalih Bram yang memang pada dasarnya ia untuk pergi bersama Naura.
"Tapi kak sebentar saja, bisa kan?" Naura mulai merajuk ia seolah ingin membuat Bara merubah keputusannya.
Apa jadinya jika ia pergi sendiri tanpa ditemani oleh suaminya, sungguh rasanya ia akan dianggap tak disayang Bram serta diabaikan, padahal memang benar kenyataan nya.
Bram seolah menganggap Naura duri dari kandasnya percintaan nya bersama Alina, kalo bukan karena janin yang dikandung Naura bukan milknya dan desakan ibunya, sudah pasti ia tak akan mungkin memilih Naura.
"Aku lelah hari ini, skripsiku mengalami banyak revisi, kamu mengertilah." Bram pun menyingkirkan badan Naura yang menempel padanya.
Padahal skripsi Bram hari ini sangat lancar dan tanpa mengalami hambatan, bahkan ia langsung mendapat ACC tanpa revisi sedikitpun pada tugas akhirnya itu.
"Apa kata ayahku jika kamu tak mengantarku?"
"Masa bodoh, kau pergilah bersama mama saja." Sindir Bram.
Karena pernikahan nya terjadi itu semua campur tangan ibu kandungnya, entah apa yang dipikirkan oleh ibu yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Yang pasti Bram tahu pernikahannya ini karena kuasa ayah Naura yang memiliki power kuat, sehingga sang ibu begitu mendukung dan melindungi Naura.
Bram meninggalkan Naura begitu saja, ia pun memilih menguyur badannya setelah cukup lama berkutat di luar rumah dengan aktivitas yang sangat padat.
Sebenarnya ia hanya janji bertemu dosen untuk memberikan hasil skripsinya, dan itu pun berjalan sangat baik. Bram sendiri dikampus cukup pandai dan rajin dalam mengerjakan tugasnya.
Nilai IPK Bram juga sangat baik, dan kini di usianya yang ke 23 tahun ini ia akan lulus dengan cepat, dan tanpa hambatan. Sang ibu terlihat senang mendengar hasil nilai yang dicapai oleh Bram.
Tapi sang ibu tidak puas akan hal itu, ia juga ingin nanti karir putra tunggal nya juga cemerlang, dan ia sadar akan posisinya saat ini, bahwa mereka tak memiliki keturunan. Otomatis singgasana kerajaan bisnis suaminya itu akan jatuh pada putra kandungnya yaitu Bara Respati.
Naura keluar dari kamar suaminya dan berjalan untuk menemui ibu mertua nya. Saat ini Lisa sedang bersantai menikmati teh hangat dengan ditemani sepiring bolu pandan yang tadi sempat ia bawa dari pulang kantor.
Lisa menoleh kepada menantunya yang baru saja menuruni anak tangga, dari langkah berat dan wajahnya yang murung ia tahu bahwa menantu kesayangannya itu sedang berantem dengan putranya.
"Ibu, kak Bram dia menyebalkan." Keluh Naura yang sudah duduk di sebelah Lisa di sofa berwarna merah bata.
"Ada apa Naura? Bilang bikin kesalahan apalagi kali ini?" Tanya Lisa yang paham tabiat putranya yang akhir-akhir ini selalu mencari masalah dengan dirinya dan Naura.
"Kak Bram tidak mau ikut aku menemui ayah." Jawab Naura.
Bisa menaruh teh hangatnya di atas meja, lalu menatap istri dari putranya.
"Emangnya kenapa? Apakah ayahmu ingin bertemu dengan Bram?"
Naura mengangguk, "iya, Ayah ingin membicarakan hal penting dengan kak Bram. Tapi dia menolaknya ibu? Lalu apa yang harus aku katakan pada Ayah jika sampai besok aku hanya datang seorang diri tanpa nya?" Cemas Naura yang begitu frustasi.
Dia tak ingin wajahnya tercoreng karena ketidak hadiran suaminya, dan pasti ayahnya akan menilai dampak baik untuknya. Pasalnya Naura yang memaksa ayahnya untuk dinikahkan oleh mitra dari rekan bisnisnya.
Lisa menangkap kecemasan dalam diri menantunya, ia juga sudah lelah dengan sikap Bram yang akhir-akhir ini susah ia atur dan kendalikan.
Padahal dulu puteranya itu patuh, pintar dan selalu ia banggakan. Tapi itu dulu sebelum ia sefrustasi saat ini, dimana ia merasa hidupnya hancur tak bisa bersanding dengan Alina.
Lisa mendekati Naura, ia memeluknya penuh kasih, seakan akan wanita setengah baya itu menenangkan menantunya yang sedang hamil puteranya.
"Kamu tidak usah cemas Naura, nanti ibu yang akan berbicara hal ini pada Bram." Tukas Lisa setelah ia cukup lama mendengar keluh kesah Naura.
Kini sinar mata hitam pekat Naura yang awalnya redup kini terlihat cerah, ia begitu senang ibu mertuanya akan mengusahakan berbicara dengan suaminya.
"Terima kasih ibu." Ucap Naura riang.
"Iya Naura, kamu kan sekarang sedang hamil untuk itu jangan terlalu banyak pikiran. Bilang pada ibu hal apapun mengenai Bram, oke?"
"Pasti ibu, oke pokoknya." Jawab Naura sumringah.
Sungguh ia sangat senang ada ibunda Bram yang selalu mendukungnya dari belakang, tanpa Naura tahu bahwa ia baik pada Naura karena kekuasaan ayahnya yang sederajat kekayaannya dengan suaminya, Robert.