NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Perempuan Yang Berulang Tahun

Atmosfer malam tadi masih terus berputar di kepala Maharani, seolah-olah tak mau pergi barang sejenak pun. Sastra ternyata sungguhan tidak sesederhana yang ia kira. Pria itu, dengan kediaman dan sikap tenangnya, menyimpan kedalaman yang sulit dipahami. Ternyata benar, orang yang pendiam bisa sangat menakutkan ketika sisi emosionalnya terusik. Jika begini adanya, Maha sadar ia harus lebih berhati-hati. Sastra bagaikan bom waktu—ledakannya bisa datang kapan saja, tanpa peringatan.

"Segila itu gue dibuat kaku tadi melem Kea, gue sampe gak bisa tidur saking gak bisa nyingkirin aura seremnya. Sialan emang tu orang, ada aja caranya biar gue bisa tunduk sama dia." Maha selalu begitu, ada atau tidaknya sosok Sastra ia tetap setidak sopan itu menyebutkan citra namanya.

"Ya lagian lo malah bohongin dia, pantes aja Mas Sastra kaya gitu. Posisi lo tuh udah salah, ditambah ego lo ketinggian. Untung dia gak punya sifat tantruman kaya lo, kalau iya duh gak bisa bayangin se-kapal pecah apa nanti rumah kalian. Makannya gue bilang kalian itu cocok, emang udah jodoh intinya. Gue sih bersyukur karena ada yang bisa imbangi sifat lo yang slengean dan itu orangnya adalah Mas Sastra."

Maha mendengus sambil melirik malas ke arah Keana yang sedang berbicara sambil memakan sandwichnya di kantin sekolah. "Jodoh apaan? Gue bukannya takut, ya... tapi ada sisi dari dia yang... gitu deh. Gue nggak siap sama keheningan dia yang berbahaya," balas Maha, menunduk dan mengaduk-ngaduk jus jeruk di depannya.

Keana tertawa kecil. "Jadi lo udah setakut itu sama doi hmm? Lo kan lebih sering ngadepin orang yang meledak-ledak, tapi kalau Mas Sastra? Dia bisa bikin lo mikir ulang cuma dengan satu tatapan," katanya sambil menyenggol bahu Maha.

Maha terdiam, tatapannya melayang ke arah lapangan di luar kantin, di mana beberapa siswa sedang bermain basket. Ia tidak bisa memungkiri ucapan Keana. Sastra memang berbeda—tenang, penuh perhitungan, dan sangat sulit ditebak. Maha merasa seolah dia terus-menerus diawasi oleh mata Sastra, bahkan ketika mereka sedang terpisah seperti saat ini. Tapi bukan berarti dia takut dan tunduk pada Sastra.

"Mana ada gue takut sama dia, gila kali! Yang ada gue semakin tertantang buat terus ngeliat sejauh mana dia bisa ngadepin gue," Maha menyelesaikan kalimatnya dengan penuh keyakinan. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan siapa pun, termasuk Sastra. "Dia mungkin tenang, tapi gue juga nggak akan kalah. Gue yang pegang kendali."

Keana memutar matanya. "It's up to you!"

•••

"Bapak Sastra, ini gimana?" tanya Maha, sambil menunjuk layar laptop. Ada beberapa poin dalam dokumen yang membuatnya kebingungan.

Sastra, yang sedang duduk di meja kerjanya tidak jauh dari Maha, mendongak. Pria itu menatapnya sekilas sebelum berdiri dan berjalan mendekat. Tanpa banyak bicara, ia melirik dokumen yang dimaksud. "Mana yang nggak kamu pahami?" tanyanya tenang.

Maha menunjukkan bagian yang membuatnya bingung. "Ini soal jadwal meeting sama vendor minggu depan, gue nggak ngerti gimana cara nyusun biar nggak bentrok sama agenda lain."

Sastra melihat dokumen itu sebentar, kemudian menunjuk kolom jadwal di layar. "Kamu harus cek ulang jadwal sebelumnya. Ini bisa kamu atur ulang ke hari lain, lalu kasih konfirmasi ke pihak vendor. Intinya, kamu harus lebih teliti aja."

Maha mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Oh, jadi begitu... Gue bakal coba lagi deh."

Sastra menyandarkan tangannya di meja Maha, menatapnya sebentar. "Coba kamu kerjakan pelan-pelan, nanti saya koreksi kalau ada yang kurang tepat."

Maha mengangguk lagi, mengalihkan fokusnya kembali pada tugas-tugas yang ada di depan. Saat berada dalam mode bekerja, semuanya terasa biasa saja dengan Sastra. Dia mengarahkan Maha dengan tenang, tanpa terburu-buru. Di saat-saat seperti ini, hubungan mereka benar-benar terlihat profesional, tak ada ketegangan berlebihan yang biasanya muncul di luar urusan pekerjaan.

Bekerja dengan Sastra ternyata tak seburuk yang Maha bayangkan. Ia mengajarinya dengan sabar, pelan-pelan, meskipun Maha sering kali membuat kesalahan atau kurang memahami beberapa hal. Tapi justru dari kesalahan-kesalahan itulah Maha mulai belajar dan lebih memahami dunia kerja. Dia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaan, meskipun tentu saja masih banyak yang harus diperbaiki.

Perlahan, Maha merasa lebih nyaman dalam mengerjakan tugasnya, bahkan sesekali ia menyadari bahwa ia bisa melakukannya tanpa bantuan terlalu banyak dari Sastra. Tapi tetap saja, setelah jam kerja selesai, segalanya berubah—kembali pada dinamika rumit yang selalu ada di antara mereka.

•••

Setelah seharian bekerja, Maha langsung bertolak menuju kamar mandi. Dia berendam di dalam bathtub, merasakan air hangat menyelimuti tubuhnya. Matanya tertutup, dan dia membiarkan diri terlarut dalam keheningan, mencoba merelaksasi otot-ototnya yang tegang.

"Besok gue delapan belas," gumamnya pelan, menyadari bahwa esok adalah hari ulang tahunnya. Namun, tiba-tiba rasa hampa menyelusup ke dalam perasaannya. Tanpa kehadiran keluarga, Maha tahu bahwa perayaan kali ini akan berlangsung seorang diri.

Pikirannya melayang ke momen-momen kecil yang pernah dilalui bersama keluarganya—ulang tahun yang dipenuhi tawa dan kebersamaan. Kini, semua itu terasa jauh dan tak terjangkau. Meskipun dia telah berusaha mengalihkan perhatian dengan sekolah, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari, tidak bisa dipungkiri bahwa kesepian ini semakin menekan hatinya.

Maha membuka matanya dan menatap dinding kamar mandi, berusaha menenangkan pikiran yang terus melambung. "Gue bisa melakukannya," ucapnya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan bahwa merayakan ulang tahun sendiri tidak akan mengubah siapa dirinya. Mungkin, kali ini, dia akan merayakannya dengan cara yang berbeda—menghadiahi diri sendiri dengan tetap bertahan ditengah masalah yang dihadapi.

Setelah berendam, tubuh Maha merasa sangat ringan. Ia melangkah ke cermin dan memandang dirinya dengan seksama. Pakaian yang dikenakannya adalah dress dengan motif bunga-bunga sederhana. Bagian atasnya sengaja dirancang lebih lebar, menampilkan sedikit kepemilikannya.

Maha tersenyum kecil melihat bayangannya. Meskipun sederhana, dress itu membuatnya merasa nyaman. Inilah gaya berpakaian yang selalu ia pilih untuk hari-harinya—ringan, bebas, dan penuh warna.

Ia melangkah menuruni anak tangga, berjalan cepat menuju ruang makan, disana sudah ada Sastra yang menunggu. Ia melihat kearah perempuan itu, berpikir sejenak.

"Malam-malam begini kamu mau pergi kemana?" Tanya Sastra melihat penampilan Maha yang lebih rapi.

Maha duduk santai diatas kursi, menatap Sastra sejenak. "Nggak ke mana-mana." jawabnya singkat. Ia memilih untuk segera mengisi perutnya dengan hidangan dihadapannya.

"Sayang sekali. Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi menonton, saya dengar ada film bagus yang tengah tayang di bioskop." Tawarnya, Maha tak cukup lama berpikir dan ia menerima tawaran itu.

"Yasudah sekarang makan dulu, jangan banyak-banyak kalau kamu mau jajan juga nanti diluar." Ucap Sastra melanjutkan.

Selesai makan malam dengan porsi yang sangat sedikit, Maha kembali ke kamarnya untuk berdandan secantik mungkin seperti biasanya. Ia mengenakan dress lain yang lebih elegan dan tak lupa menambahkan bando di kepalanya.

"Gue udah siap nih," katanya dengan semangat, langsung mendapatkan lirikan tajam dari Sastra.

"Kamu mau pamer ya?" tanya Sastra, mengangkat alisnya.

"Pamer apasih? Jangan mulai deh, Sas!" jawab Maha kesal.

"Dada kamu," kata Sastra tegas.

Sontak, Maha langsung menutupi tubuhnya dengan tangan. "Mesum lo!" teriaknya.

"Semua orang akan lihat ke arah sana kalau kamu sengaja berpakaian seperti ini. Ganti pakai dress yang lebih menutup saja. Saya tunggu," ucap Sastra, tidak ingin berkompromi.

Maha berdecak kesal. "Gak ada, baju gue gini semua. Lagian, lo gak usah banyak ngatur. Sesuka gue mau pakai baju apapun!"

"Yasudah, tidak jadi pergi," kata Sastra sambil berpaling.

"Loh, kok gitu?" Maha terkejut, rasa frustasinya mulai meningkat. "Yaudah tunggu sebentar!"

Tanpa banyak protes lagi, ia segera masuk ke kamarnya. Ia memutuskan untuk tidak mengganti pakaian, tetapi malah menambah lapisan dengan mengenakan blazer. Ia memilih blazer hitam yang pas di tubuhnya, Sastra dilarang mengomentari penampilannya lagi.

Setelah memastikan tampilannya sudah lebih rapi, Maha melangkah keluar dari kamar. "Gimana? Lo suka kan penampilan gue yang kaya mantan lo gini?" tanyanya sambil menyindir.

Sastra memandangnya dari ujung kaki hingga kepala, lalu mengangguk. "Lebih baik. Cantiknya kamu tidak ada duanya. Saya suka penampilan sebelumnya tapi kalau kamu sedang dirumah dan hanya saya yang menikmati."

Maha melotot mendengar pernyataan Sastra, "gila lo dasar om-om pedo!"

Sastra tidak lagi menimpali, memilih lebih dulu menuruni anak tangga. Pria itu memakai pakaian casual-nya, tubuh atletis nya kentara sekali terlihat.

Maha mengikutinya, berjalan cepat hingga mereka sampai di depan mobil. Tanpa banyak bicara, keduanya segera masuk ke dalam, Sastra di kursi pengemudi dan Maha di sampingnya.

Setelah beberapa saat, mereka sampai di bioskop. Sastra memarkirkan mobil dan memimpin jalan masuk. Setelah membeli tiket, mereka memilih film bergenre romance yang sedang ramai dibicarakan. Maha tak protes, meskipun dalam hati sedikit terkejut Sastra memilih genre ini. Yang ia tahu, Sastra lebih suka film action atau thriller, tapi mungkin malam ini dia ingin mencoba sesuatu yang berbeda.

Selama film berlangsung, Maha tetap tenang. Meskipun cerita filmnya cukup mengaduk perasaan, ia tetap menjaga sikapnya. Sastra di sampingnya juga menonton dengan khidmat, sesekali mengerling ke arah Maha tanpa berkata apa-apa. Ada beberapa momen dalam film yang membuat suasana hati Maha ikut teraduk, tapi ia tetap berusaha menjaga emosinya di dalam hati, tak ingin terbawa suasana terlalu dalam yang malah akan diejek oleh Sastra.

Begitu film selesai, mereka berjalan keluar dari bioskop. Maha sudah merasa sedikit lelah dan berpikir untuk pulang, tetapi Sastra punya rencana lain. "Kamu lapar? Bagaimana kalau kita makan malam dulu?" tanyanya santai.

Maha menatapnya sejenak. "Restoran mana yang masih buka malam-malam gini?"

Sastra hanya tersenyum. "Saya tahu tempat yang buka 24 jam. Nggak jauh dari sini, kamu pasti suka."

Tanpa banyak tanya, Maha mengangguk setuju. Mereka kembali ke mobil dan Sastra membawa mereka menuju restoran yang dimaksud. Ketika tiba di sana, Maha terkejut melihat restoran itu cukup elegan untuk ukuran tempat makan yang buka 24 jam. Suasananya tenang, dengan pencahayaan lembut dan dekorasi yang nyaman.

Begitu masuk, Sastra sudah tampak akrab dengan staf restoran yang langsung mengantar mereka ke meja yang sudah dipesan. Maha duduk, sedikit curiga dengan semua ini. "Lo gak ada maksud lain kan?" tanyanya dengan tatapan tajam.

Sastra hanya tertawa kecil, tampak santai. "Nggak ada apa-apa. Saya cuma mau kamu menikmati malam ini, itu saja."

Maha merasa aneh dengan jawaban Sastra, tapi ia membiarkannya. Makanan pun datang, dan mereka mulai makan dalam suasana yang terasa damai. Hingga tiba-tiba, lampu restoran sedikit meredup, dan dari arah belakang, Keana datang membawa kue ulang tahun berukuran sedang dengan lilin yang menyala di atasnya.

Maha terkejut, tatapannya langsung beralih ke Sastra. "Ini serius kan Sas?"

Sastra tersenyum, kali ini dengan lebih lembut dari biasanya. "Selamat ulang tahun, Tuan Putri."

Maha terdiam, sejenak tidak tahu harus berkata apa. Rasa hangat tiba-tiba menyelimuti hatinya. "Lo nyiapin ini semua?"

Sastra mengangguk. "Tentu saja."

Maha menunduk, mencoba menyembunyikan senyumnya. Meskipun keras kepala dan suka membantah, hatinya jelas tersentuh. "Thanks," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Keana bernyanyi untuk Maha, begitu antusiasnya sahabatnya itu. "Selamat ulang tahun cewek tantrum!" Seru Keana.

Maha senang sekali, ternyata saat pergantian jam menuju hari ulang tahunnya masih ada orang yang ikut merayakannya.

Maha mengangkat wajahnya perlahan, lilin di atas kue masih berpendar lembut. Setelah menutup mata dan mengucap harapannya dalam hati, Maha meniup lilin itu dengan lembut. Tepuk tangan kecil dari Sastra dan Keana mengiringi momen tersebut, membuat suasana di restoran terasa lebih hangat.

Maha tersenyum tipis, hatinya perlahan terasa ringan. Meskipun ia selalu merasa sendirian dalam hidupnya, malam ini terasa berbeda. Ada Keana, sahabat yang selalu ada di sampingnya, dan Sastra, orang yang sangat tidak ia ekspetasi kan.

"Doanya banyak banget, ya? Sampai lama gitu nutup mata," canda Keana, menggoda Maha.

Maha tertawa kecil, "Ya, siapa tahu lebih cepat dikabulkan." Kemudian ia memeluk sahabatnya cukup lama.

Sastra menggeleng pelan sambil tersenyum, tatapannya pada Maha terasa berbeda malam ini—lebih lembut, lebih dalam. "Harapan yang baik memang pantas ditunggu. Semoga semua keinginanmu tercapai, Maha."

Maha hanya membalas dengan senyuman, dan meski tidak mengatakannya, ia merasa bersyukur. Setidaknya, ulang tahunnya tahun ini tidak sepi dan hampa seperti yang ia bayangkan.

"Lo datang malem-malem gini, Kea?" tanya Maha dengan alis mengerut, heran melihat sahabatnya yang tiba-tiba muncul di restoran.

Keana menyeringai, "Ya iyalah, gue nggak bakal ngelewatin ulang tahun lo! Lagi pula, Mas Sastra yang undang gue ke sini. Jangan khawatir, gue udah dibook-in hotel dekat sini. Nih, bukti effort suami lo, Maha." Keana berbisik sambil tersenyum jahil, "Dia kelihatan sayang banget sama lo."

Maha melirik ke arah Sastra. "Thanks, Sas."

Sastra mengangguk ringan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Jadi, kamu mau hadiah apa dari saya?"

Maha terdiam, berpikir sejenak sebelum mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. "Perceraian."

"MAHA!!" Kali ini bukan Sastra yang bereaksi, tapi Keana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!