Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sebelum adzan subuh berkumandang, Galuh terjaga. Suasana kamar masih temaram, hanya diterangi cahaya redup dari lampu di pojok ruangan. Aroma bunga melati dan sedap malam yang menghiasi kamar pengantin masih terasa kuat menusuk hidung, membuat suasana seolah-olah masih dalam pesta semalam.
Galuh merasakan ada sesuatu yang hangat dan berat dipeluknya. Awalnya ia mengira itu guling kesayangannya. Namun, ketika matanya membuka sedikit dan kepala mendongak, betapa terperanjatnya dia saat menyadari bahwa yang dipeluknya bukan guling, melainkan Bagja, suaminya sendiri, yang sedang tidur nyenyak.
Tubuh Galuh kaku seketika saat menyadari sesuatu. Bagja tidur tanpa memakai atasan. Wajahnya merona merah, antara malu, kaget, dan gugup. Ia menelan ludah, lalu melirik ke lantai. Benar saja, guling kesayangannya tergeletak di sana.
“Aaaaa!” teriak Galuh dengan spontan.
Seketika itu juga ia mendorong tubuh Bagja dengan tenaga penuh. Saking kuatnya, Bagja berguling ke samping hingga jatuh dari ranjang. Suara gedebuk terdengar jelas ketika tubuh pria itu menghantam lantai.
“Galuuuuh! Apa-apa, sih, kamu!” teriak Bagja, meringis sambil mengusap kepalanya yang sempat terbentur. Rambutnya yang acak-acakan semakin membuatnya terlihat lucu sekaligus menyedihkan.
“Ya Allah, maaf! Aku lupa kalau kita sudah menikah,” ucap Galuh terbata, lalu buru-buru bangkit dan mengusap kepala suaminya. Gerakannya kaku, seperti anak kecil yang baru ketahuan melakukan kesalahan.
“Baru saja sehari, sudah berbuat KDRT,” gerutu Bagja dengan wajah cemberut.
Galuh malah menyeringai lebar setelah minta maaf, sulit menahan tawa melihat ekspresi suaminya. Hatinya berdebar-debar, tapi rasa canggung itu bercampur dengan geli.
Dengan langkah perlahan, Galuh berjalan menuju pintu. Dengan perlahan dia memutar kenop, lalu menengok lewat celah pintu, memastikan situasi rumah. Biasanya, jam setengah empat dini hari, nenek dan kedua orang tuanya sudah bangun.
“Ada apa?” tanya Bagja, ikut mengintip di belakang Galuh. Suaranya pelan tapi penuh rasa ingin tahu.
“Mau cek dulu, orang-orang rumah sudah bangun atau belum,” jawab Galuh dengan lirih, matanya tetap fokus mengintip.
“Terus, kenapa kita ngintip-ngitip begini?” Bagja menaikkan alis, geli melihat tingkah istrinya.
“Ya, malu lah! Aku enggak pernah mandi jam segini,” sahut Galuh, wajahnya memerah.
Bagja terkekeh. “Kenapa mesti malu? Mereka juga paham, kok. Lagian, sekarang kita sudah jadi suami-istri.”
Bagi Galuh, semua terasa janggal. Semalam Bagja meminta haknya sebagai suami, dan ia tak bisa menolak. Meski hatinya pasrah, tetap saja pagi ini rasa malunya menguasai diri.
“Biar cepat, kita mandi bersama-sama saja,” usul Bagja santai, wajahnya serius seolah itu solusi paling masuk akal.
“Apa?! Enggak mau! Kita mandi masing-masing!” Galuh buru-buru menolak, matanya melotot.
“Kenapa? Kita sudah saling lihat semalam.”
Belum sempat Bagja melanjutkan, Galuh buru-buru menutup mulut suaminya dengan tangan. Wajahnya merah padam, seperti tomat matang. Bayangan tubuh Bagja semalam kembali menari-nari di kepalanya, membuat jantungnya berdegup kencang.
“Ssssttt! Jangan bicara seperti itu lagi!” bisiknya kesal.
Bagja menahan tawa. “Kalau kita debat terus begini, orang-orang bisa keburu bangun.”
Tanpa banyak basa-basi, Bagja tiba-tiba membopong tubuh Galuh. Perempuan itu langsung meronta.
“Turunkan aku!” serunya panik, tangan dan kakinya berusaha bergerak.
“Diamlah!” desis Bagja dengan tatapan tajam namun geli.
Galuh merona makin merah. Rasanya ia ingin menghantamkan kepala ke dada Bagja, tetapi ia khawatir hal itu justru membuat keadaan makin konyol. Akhirnya ia pasrah, meski bibirnya tak berhenti manyun.
Rumah Galuh hanya memiliki satu kamar mandi, letaknya di dekat ruang makan. Untuk ke sana, mereka harus melewati ruang tengah, kamar orang tua Galuh, juga kamar Nini Ika. Bagja berjalan santai sambil menggendong Galuh, seolah tak peduli bila ada yang melihat.
Galuh meremas bahu suaminya. “Bagja, sumpah, kalau ada yang lihat, aku bakalan pingsan!”
Bagja nyengir. “Tenang saja, aku bakal tangkap kalau kamu pingsan.”
Galuh mendesah panjang, hatinya semakin tidak karuan.
Akhirnya, mau tak mau, mereka mandi bersama-sama agar cepat selesai. Suara cipratan air bercampur cekikikan kecil Galuh sesekali terdengar, membuat waktu terasa canggung sekaligus kocak. Tidak sampai lima belas menit, keduanya selesai.
Namun, kejadian tak terduga menanti begitu pintu kamar mandi dibuka.
Di meja makan, tampak kedua orang tua Galuh dan Nini Ika sudah duduk rapi. Mereka menatap ke arah pintu kamar mandi dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Seperti sedang menonton sandiwara lucu tanpa perlu tiket.
“Aaaa!” teriak Galuh refleks, wajahnya langsung pucat.
“Kenapa—, aaaa!” Bagja ikut terperanjat, nyaris kehilangan keseimbangan ketika melihat kedua mertua dan nenek mertuanya.
“Lama sekali kalian mandi. Kita menunggu sampai bosan,” ucap Nini Ika santai, tanpa dosa, sambil menguap kecil.
Pak Dhika hanya tersenyum tipis, sementara Mama Euis menutup mulutnya agar tawa tidak meledak. Namun, sorot matanya jelas-jelas penuh arti.
Galuh merasa wajahnya terbakar. Ia langsung menarik tangan Bagja dan buru-buru kabur ke kamar pengantin. Bagja pun menurut, meski telinganya merah padam menahan malu.
Sesampainya di kamar, keduanya langsung menutup pintu rapat-rapat. Galuh menempelkan punggung ke pintu sambil memegangi dadanya.
“Ya Allah, mati aku kalau tiap pagi ketemu pemandangan begitu,” gumamnya dengan suara gemetar.
Bagja menyandarkan kepala ke dinding, lalu menatap istrinya dengan ekspresi antara kesal dan geli. “Aku kan sudah bilang, enggak usah terlalu malu. Mereka juga sudah ngerti.”
“Ngerti dari Hongkong!” sahut Galuh, suara meninggi. “Aku kayak mau ditelan bumi.”
Di luar kamar, terdengar suara tawa tertahan dari ruang makan. Nini Ika, Pak Dhika, dan Mama Euis jelas sedang menahan geli. Mereka merasa bahagia melihat anak dan menantunya malu-malu, tanda rumah tangga baru itu penuh warna.
“Sepertinya kita akan cepat punya cucu,” bisik Mama Euis pelan sambil tersenyum haru.
“Baguslah. Biar rumah ini ramai lagi,” sahut Pak Dhika, menepuk bahu istrinya.
Nini Ika hanya cekikikan kecil, menatap cucu perempuannya yang baru saja resmi jadi istri orang. Dalam hatinya, ia merasa lega. Akhirnya Galuh menemukan pasangan yang bisa mengimbangi keras kepalanya.
Sementara itu, di kamar, Galuh menutupi wajah dengan bantal. Bagja mendekat, lalu duduk di tepi ranjang.
“Sudahlah, Sayang. Nikmati saja. Toh, kita pengantin baru, semua orang tahu,” ujarnya lembut.
Galuh melirik dari balik bantal. “Kamu enak ngomong, aku yang malu setengah mati.”
Bagja terkekeh, lalu menarik bantal dari wajah Galuh. “Kalau kamu terus sembunyi, kapan bisa terbiasa?”
Galuh terdiam. Meski kesal, hatinya terasa hangat mendengar perhatian Bagja. Malu yang tadi membuncah perlahan berubah menjadi rasa nyaman.
Hari itu, meski baru sehari menikah, Galuh sadar satu hal, hidup bersama Bagja akan dipenuhi warna, antara malu, canggung, bahagia, dan tawa. Mungkin memang itulah indahnya awal pernikahan mereka.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....