NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:239
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kelemahan Seorang Tirani

Pertanyaan itu meluncur dari bibir Isabella. "Menurutmu, apa kelemahan pria ini?"

Waktu di penthouse mewah itu seolah berhenti. Di bawah mereka, kota Jakarta bergerak dengan hiruk pikuknya yang tak peduli, tetapi di sarang singa ini, hanya ada keheningan yang memekakkan dan tatapan Isabella yang menuntut. Leo menatap foto Viktor Rostova, otaknya yang biasanya tenang kini berpacu liar. Ini bukan lagi tes memasak. Ini adalah tes bertahan hidup, sebuah wawancara kerja untuk posisi yang tidak pernah ia lamar, di sebuah perusahaan yang bisnisnya adalah kekerasan dan ketakutan.

Ia tahu ia tidak bisa menjawab "Saya tidak tahu." Itu adalah jawaban seorang pengecut, dan wanita di hadapannya tidak punya waktu untuk pengecut. Ia juga tidak bisa langsung memberikan analisis yang brilian, itu akan membuka kedoknya terlalu cepat. Ia harus tetap menjadi sang Alkemis. Sang Chef.

Leo menarik napas perlahan, membiarkan keheningan menggantung sedikit lebih lama, sebuah trik kecil untuk merebut kembali kontrol.

"Setiap bahan," mulainya, suaranya tenang, "memiliki profil rasa yang unik, Nona Rosales. Manis, asam, pahit, gurih. Untuk bisa mengolahnya, kita harus memahaminya terlebih dahulu. Manusia juga sama."

Ia mengangkat foto itu sedikit lebih dekat ke matanya, memindai setiap detail seolah sedang memeriksa kualitas sepotong daging. Isabella memperhatikan dalam diam, alisnya sedikit terangkat, tertarik oleh analogi yang tak terduga itu.

"Lihat setelan jasnya," lanjut Leo, jarinya menunjuk kerah kemeja Viktor yang kaku. "Merek Italia, potongan yang sempurna, tapi terlalu kaku. Terlalu terkancing. Seperti seseorang yang mencoba terlalu keras untuk menunjukkan kelas, padahal ia bukan berasal dari sana. Profil rasanya... sedikit pahit, seperti cokelat hitam, berusaha menjadi elegan tapi melupakan unsur kenikmatan."

Ia mengalihkan perhatiannya ke mata Viktor. "Dan matanya. Dingin, ya. Tapi ada sesuatu di sana. Bukan kekosongan, melainkan... kebosanan. Ini adalah mata seorang pemain catur yang telah memenangkan seribu pertandingan melawan lawan yang sama. Ia tidak lagi menikmati permainannya, ia hanya menjalankan gerakan karena hanya itu yang ia tahu."

Leo meletakkan foto itu kembali ke atas meja marmer dengan pelan. "Orang seperti ini, yang terobsesi dengan kontrol dan kesempurnaan penampilan, biasanya memiliki fondasi yang rapuh. Mereka membangun tembok yang tinggi bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka sangat takut pada apa yang ada di dalam tembok itu. Kelemahannya bukanlah sesuatu yang bisa Anda serang dengan peluru, Nona. Kelemahannya adalah kesombongan. Arogansinya."

Ia mendongak, menatap langsung ke mata Isabella. "Dia tidak akan pernah menduga ancaman datang dari tempat yang ia anggap rendah. Dari dapur, misalnya. Dia akan meremehkan seorang koki. Dia akan meremehkan hidangan yang disajikan kepadanya. Dia begitu yakin akan superioritasnya sehingga dia buta terhadap ancaman yang tidak terlihat seperti ancaman. Kelemahannya... adalah egonya yang sebesar gedung ini."

Hening.

Isabella tidak mengatakan apa-apa selama hampir satu menit penuh. Ia hanya menatap Leo, dan tatapan itu perlahan berubah. Jika sebelumnya tatapannya adalah tatapan seorang rekruter yang sedang menguji kandidat, kini tatapan itu menjadi sesuatu yang lebih personal, lebih intens. Tatapan seorang penikmat seni yang baru saja menemukan sebuah mahakarya yang tersembunyi di balik tumpukan barang rongsokan.

Perlahan, ia bangkit dari kursinya. Pakaiannya berdesir lembut saat ia bergerak mengitari meja, mendekati Leo. Ia tidak berjalan dengan cepat, setiap langkahnya disengaja, seperti macan kumbang yang mendekati mangsanya yang menarik. Leo tetap diam di tempatnya, merasakan medan listrik di udara menebal dengan setiap langkah yang diambil Isabella.

Ia berhenti tepat di belakang Leo, begitu dekat hingga Leo bisa merasakan kehangatan samar dari tubuhnya dan menghirup aroma parfumnya yang mahal, aroma bunga lili dan sesuatu yang lebih gelap, seperti lapisan ozon sebelum badai.

"Kau lebih dari sekadar tukang masak, Leo," bisik Isabella, suaranya tepat di sebelah telinga Leo, mengirimkan getaran aneh ke seluruh sel tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, sebuah reaksi aneh yang tidak bisa ia kendalikan.

Tangan Isabella terulur dan menyentuh bahu Leo. Jari-jarinya yang ramping dan dingin terasa kontras dengan kain katun seragam chef-nya yang hangat. Sentuhan itu ringan, nyaris seperti sentuhan seorang sahabat, tetapi di bawahnya ada beban kekuasaan yang tak terhingga. "Seseorang yang hanya tahu cara memasak tidak akan bisa melihat semua itu hanya dari selembar foto."

Jarinya bergerak perlahan dari bahu ke dadanya, menelusuri garis kerah seragamnya. Gerakan itu intim, posesif, dan sangat berbahaya. "Aku ingin tahu rahasiamu."

Leo menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Saya hanya seorang pengamat yang baik, Nona. Seorang chef harus begitu." ujar Leo menyanggah. "Benarkah?" Isabella kini berdiri di sampingnya, tubuh mereka nyaris bersentuhan, tetapi energi di antara mereka terasa padat. Ia mencondongkan tubuhnya, bibirnya hanya beberapa inci dari bibir Leo. "Seorang pengamat yang baik... atau seorang pembohong yang hebat?"

Tatapan mereka terkunci. Leo bisa melihat bintik-bintik emas di mata gelap Isabella, bahkan bisa merasakan napasnya yang hangat di kulitnya. Ini adalah jenis keintiman yang berbeda. Bukan keintiman romantis, melainkan keintiman dua predator yang saling mengukur kekuatan, saling menguji pertahanan. Ada daya tarik yang tak terbantahkan di sana, sebuah pengakuan dari dua jiwa yang sama-sama memahami arti dari kekuasaan.

"Semua orang punya kelemahan, Chef," bisik Isabella lagi, matanya berkelip penuh tantangan. "Sesuatu yang jika disentuh... akan membuat mereka hancur. Kau sudah memberitahuku kelemahan Viktor. Sekarang katakan padaku..." Ia mengangkat tangannya dan ujung jarinya dengan sangat pelan menyusuri garis rahang Leo, sebuah sentuhan yang mengirimkan api dan es ke seluruh tubuhnya. "...apa kelemahanmu?"

Leo tidak menjawab. Ia hanya balas menatap, menolak untuk menunjukkan rasa takut atau hasrat yang bergejolak di dalam dirinya. Pertahanannya sangat tenang.

Isabella tertawa pelan, sebuah suara serak yang terdengar erotis dan mengancam pada saat yang bersamaan. "Tidak apa-apa. Aku suka misteri. Aku akan punya banyak waktu untuk mencari tahu."

Ia menarik diri, memutuskan kontak fisik yang menegangkan itu. Ruangan itu kembali terasa luas, tetapi jejak sentuhannya masih membekas di kulit Leo.

"Aku punya tawaran untukmu, Leo," katanya, nadanya kembali terdengar santai, meskipun percikan di matanya masih ada. "Aku tidak butuh tukang masak pribadi. Aku punya lusinan orang yang bisa memasak untukku. Yang aku tidak punya adalah... dirimu. Aku ingin pikiranmu. Aku ingin caramu melihat dunia. Aku ingin kau berada di sisiku, bukan di dapur, tapi di sini."

Ia memberi isyarat agar Leo mengikutinya. "Ikut aku. Aku akan tunjukkan padamu seperti apa kantormu nanti."

Leo mengikutinya seperti tersihir, melewati ruang tamu yang luas menuju sebuah pintu baja tanpa pegangan. Isabella menekan panel sidik jari yang tersembunyi di dinding, dan pintu itu bergeser terbuka tanpa suara, menampakkan sebuah ruangan yang membuat Leo berhenti bernapas.

Ini adalah pusat komando. Ruang perang. Satu dinding sepenuhnya tertutup oleh layar-layar monitor. Beberapa menampilkan data pasar saham global dan pergerakan mata uang kripto. Yang lain menampilkan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota. Pelabuhan, gudang, klub malam. Di satu layar, Leo melihat seorang wanita muda berambut ungu dengan tindikan di bibirnya sedang mengetik dengan kecepatan super, dia adalah Bianca "Ghost" Moretti. Di tengah ruangan ada sebuah meja holografik besar yang saat ini menampilkan peta tiga dimensi kota Jakarta, dengan wilayah-wilayah yang ditandai dengan warna merah dan biru.

"Ini adalah tempat di mana proses alkimia yang sesungguhnya terjadi," kata Isabella, menyapu ruangan itu dengan tangannya. "Bukan mengubah bahan menjadi makanan, tapi mengubah informasi menjadi kekuasaan. Mengubah kekacauan menjadi keuntungan."

Ia berjalan ke meja holografik dan dengan beberapa gerakan cepat, menampilkan data tentang operasi pengiriman Viktor Rostova. Angka, jadwal, nama kontak. "Viktor itu seperti chef yang buruk," katanya dengan nada menghina. "Dia menggunakan bahan-bahan terbaik seperti kekerasan, intimidasi dan penyuapan, tapi resepnya selalu sama. Brutal dan tanpa kehalusan. Mudah ditebak."

Leo menatap data itu, dan pikirannya secara otomatis mulai melihat pola, melihat celah, melihat kelemahan dalam rantai pasokan yang tampak kokoh itu. Ia merasakan sensasi yang sama seperti saat ia merancang menu baru, sensasi melihat kemungkinan di mana orang lain hanya melihat kerumitan.

"Kau lihat, bukan?" kata Isabella, memperhatikan ekspresi terfokus di wajah Leo. Ia tahu ia benar. "Pikiranmu tidak diciptakan untuk memikirkan suhu oven. Ia diciptakan untuk ini."

Sebelum Leo bisa merespons, Isabella sudah bergerak lagi. "Tapi pekerjaan ini tidak hanya butuh pikiran yang tajam." Ia menuntunnya keluar dari ruang perang, menyusuri koridor marmer yang sunyi menuju bagian lain dari penthouse itu. Ia berhenti di depan sebuah pintu kayu ek besar. "Pekerjaan ini juga butuh kepercayaan mutlak."

Ia membuka pintu itu. Itu adalah kamar tidurnya.

Ruangan itu sangat berbeda dari sisa apartemen. Meskipun masih mewah, ada kehangatan di dalamnya. Sebuah karpet Persia tebal menutupi lantai. Rak buku tinggi menjulang hingga ke langit-langit, penuh dengan buku-buku tebal, sejarah, filsafat, puisi. Di meja kecil samping tempat tidur, ada sebuah buku yang terbuka, seolah baru saja dibaca. Di dinding seberang, ada jendela raksasa yang sama seperti di ruang tamu, membingkai pemandangan kota yang berkilauan. Dan di tengah ruangan, ada sebuah tempat tidur super besar dengan sprei sutra berwarna hitam pekat.

Ruangan itu terasa sangat pribadi. Sangat intim. Membawa Leo ke sini adalah sebuah pernyataan. Sebuah pelanggaran batas yang disengaja.

Isabella berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota. "Setiap malam, aku melihat ke bawah sana," katanya pelan, suaranya kini kehilangan nada arogansinya, digantikan oleh jejak kelelahan. "Melihat semua kehidupan itu, semua mimpi, semua perjuangan. Dan aku merasa sendirian."

Ia berbalik dan menatap Leo. "Di dunia ini, kepercayaan adalah komoditas paling langka. Setiap orang di sekitarku menginginkan sesuatu dariku. Kekuasaanku, uangku, namaku. Marco setia, tapi ia berpikir dengan ototnya. Bianca jenius, tapi ia hidup di dunianya sendiri. Aku tidak punya siapa-siapa... yang bisa melihatku."

Jantung Leo berdebar. Ini adalah kerapuhan yang ia rasakan dari sarapannya tadi, kini diungkapkan dengan kata-kata.

Isabella melangkah mendekatinya, gerakannya lambat dan pasti. Ia berhenti tepat di depan Leo, begitu dekat hingga Leo bisa menghitung bulu matanya yang lentik. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan erotis yang begitu kental hingga nyaris bisa disentuh. Ini bukan lagi soal pekerjaan. Ini adalah penyerahan diri dan dominasi.

Ia mengangkat tangannya dan kali ini tidak ada keraguan. Telapak tangannya menempel di dada Leo, tepat di atas jantungnya yang berdebar kencang. Ia bisa merasakannya. Ia tersenyum. "Kau milikku sekarang, Leo," bisiknya, suaranya serak karena hasrat dan kekuasaan. "Setiap detak jantungmu. Setiap ide cemerlang di kepalamu. Setiap keahlian yang kau sembunyikan. Semuanya milikku."

Ia mendorongnya perlahan hingga punggung Leo menyentuh kaca jendela yang dingin. Sensasi dingin di punggungnya dan panas dari tubuh Isabella di depannya membuat kepala Leo pening. Di belakangnya, seluruh kota terbentang seperti permadani cahaya. Di depannya, ada seorang wanita yang lebih berbahaya dan lebih memikat dari apa pun yang pernah ia kenal.

"Kau akan menjadi rahasiaku," lanjut Isabella, matanya menggelap. "Alkemisku. Dan aku..." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Leo, napasnya yang panas membuat bulu kuduknya berdiri. "...akan menjadi kelemahan terbesarmu."

Saat bibirnya hampir menyentuh kulit leher Leo, saat dunia Leo menyusut hanya pada aroma, sentuhan, dan kehadiran wanita ini—

BZZT. BZZT.

Sebuah getaran keras datang dari interkom di dinding. Suara Isabella yang serak dan penuh hasrat langsung lenyap, digantikan oleh kilat amarah di matanya karena gangguan itu. Ia menekan tombol dengan kasar. "Apa?!" bentaknya.

Suara Marco yang panik terdengar dari speaker, terdistorsi oleh statis. "Bos! Maaf mengganggu. Ada masalah di Pelabuhan. Konainer C-7... isinya anggur dari Perancis. Orang-orang Viktor baru saja membakarnya."

Leo bisa merasakan tubuh Isabella menegang.

"Hanya itu?" tanya Isabella dingin. Membakar satu kontainer anggur adalah kerugian, tapi bukan bencana.

"Tidak, Bos," jawab Marco, suaranya terdengar berat. "Mereka meninggalkan pesan. Mereka tidak menyentuh botol-botol mahal itu. Mereka hanya mengambil semua corkscrew, semua pembuka botolnya. Dan mereka meninggalkan satu botol Château Pétrus di atas abu dengan sebuah catatan."

Isabella terdiam, matanya menyipit. "Apa isi catatannya?"

Hening sejenak di ujung sana, sebelum Marco menjawab dengan enggan. "Catatannya berbunyi, 'Bahkan Ratu pun tidak bisa menikmati anggur terbaiknya... tanpa alat yang tepat untuk membukanya'."

Penghinaan. Murni dan telak. Itu bukan serangan terhadap bisnisnya, itu adalah serangan terhadap statusnya, ejekan langsung terhadap kekuasaannya. Viktor tidak mencuri. Ia melumpuhkan. Ia menunjukkan bahwa Isabella punya semua harta dunia, tapi ia tidak bisa menikmatinya.

Amarah murni yang dingin dan terkendali kini membakar di mata Isabella. Momen intim di antara mereka hancur berkeping-keping, digantikan oleh realitas perang yang brutal. Kelembutan dan hasrat lenyap, hanya menyisakan Sang Ratu yang murka.

Ia menjauh dari Leo, menciptakan jarak yang dingin di antara mereka. Ia berjalan cepat ke lemari pakaiannya, membuka sebuah laci tersembunyi, dan mengeluarkan sebuah pistol hitam ramping yang ia selipkan di bagian belakang pinggangnya dengan gerakan yang terlatih.

Ia berbalik menghadap Leo. Wajahnya adalah topeng kekuasaan yang tanpa emosi, tetapi matanya berkobar seperti api neraka. Pertarungan pikiran, rayuan, dan permainan psikologis telah berakhir.

"Permainan sudah dimulai," desisnya. Ia menatap Leo bukan lagi sebagai objek hasrat atau seorang jenius yang misterius, tetapi sebagai aset yang harus segera digunakan. Sebagai senjata barunya.

"Kau bilang kelemahannya adalah kesombongan dan dia buta terhadap ancaman yang tidak terlihat seperti ancaman. Sekarang, buktikan."

Ia berjalan ke pintu tanpa menunggu jawaban.

"Ikut aku."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!