"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Dingin
“Butuh?” Arsen menyilangkan tangan di dada. Menatap istrinya dengan tatapan semakin tajam. “Kamu tahu sendiri proyek ini lagi kacau. Tanahnya amblas, struktur bawahnya bermasalah. Kamu pikir ini waktu yang tepat buat ikut jalan-jalan?”
Oke, mode bossy suaminya keluar lagi. Ia tahu logika suaminya benar, tapi perasaannya tetap menolak untuk berpisah.
“Aku cuma nggak mau ditinggal. Aku bisa bantu nyari tahu penyebabnya juga. Aku pernah pegang proyek geoteknik, kan?”
Pria itu mendesah berat. Ia berjalan mendekat, menatap wajah istrinya yang kini mulai berkaca-kaca. “Luna,” panggilnya melunak, “bukan itu masalahnya.”
“Terus apa?” tanya Luna dengan mata yang mulai basah. “Mas mau ketemu cewek di sana. Dulu aku juga sering nemenin Mas ke mana-mana, kenapa sekarang enggak boleh?”
Arsen tak langsung menjawab. Ia hanya menatap istrinya dalam, seperti menimbang sesuatu. Lalu ia memalingkan wajah, menatap koper yang masih belum siap.
“Aditya sama istrinya ada di sana. Aku cuma khawatir kamu nggak nyaman.”
“Aditya…?” ucapnya akhirnya.
“Iya,” jawab Arsen tenang, “ Kamu kan juga tahu kalau dia handle proyek di sana.”
Namun, perempuan itu malah tersenyum kecil. Sebetulnya dia ingin ikut juga bukan karena tidak mau jauh dari Arsen, tapi karena dia ingin membantu, itu saja.
“Aku nggak masalah, Mas. Masa lalu ya masa lalu. Anggap aja jadi therapy buat aku. Sekarang kan udah ada Mas Arsen, kenapa aku enggak nyaman?”
Lagi-lagi Arsen diam, ia menatap istrinya cukup lama. Ia tahu kata-kata itu terdengar meyakinkan, tapi raut wajah istrinya bercerita lain. Ada bayangan masa lalu yang belum sepenuhnya pudar di balik tatapan itu.
Tapi saat Luna menatapnya dengan mata berkaca, lembut, dan memohon, semua logika Arsen runtuh.
Ia menghela napas lalu menunduk dan tersenyum kecil. “Baiklah. Tapi kamu janji, nggak ikut turun ke lokasi proyek. Cukup di hotel, Okay?”
“Janji! Aku nggak akan ganggu, Kalian.”
“Tapi bohong,” lanjutnya dalam hati.
Tanpa ia sadari, tangannya terulur, mengusap puncak kepala istrinya dengan usapan yang sangat lembut. Mereka saling menatap dan Luna tersenyum semakin lebar.
** **
Di kabin kelas satu yang tenang, Luna duduk di dekat jendela, memegang tablet berisi file proyek Ciwidey. Bukannya menikmati moment, ia justru sibuk menelusuri laporan tanah dan foto pondasi yang longsor.
“Ini aneh,” gumamnya pelan, jari telunjuknya menelusuri layar. “Seharusnya nggak mungkin ada penurunan tanah secepat ini. Kalau hasil uji SPT-nya akurat, berarti ada kesalahan di pondasi bawah.”
Arsen di sebelahnya memalingkan wajah dari laporan bisnis yang ia baca. “Kamu serius baca laporan proyek di pesawat?”
“Cuma penasaran. Aku mau tahu di mana salahnya. Kan proyek ini penting buat perusahaan Mas juga.”
“Luna,” katanya dengan nada separuh lelah, “berhenti dulu. Kamu boleh ikut, tapi jangan kerja juga.”
“Mas, aku nggak kerja. Aku cuma… menganalisis,” jawab Luna ringan, menatap layar lagi tampa memperdulikan wajah kesal Arsen.
“Kalau gitu, aku minta kamu berhenti menganalisis,” potong Arsen dengan nada tegasnya. “Nikmatin perjalanan kamu. Ini pekerjaanku, Luna.”
“Aku udah biasa Mas, enggak usah lebay!.”
Lebay? Luna bilang lebay? Oh Tuhan, Arsen sampai melongo, dia tidak bisa berkata-kata. Bagaimana mungkin perhatian yang dia berikan diartikan seperti itu, apa memang dia yang salah? Kepalanya menggeleng.
Ini sama sekali tidak mungkin. Apa dia harus konsultasi lagi pada Danar?
** **
Tak berselang lama, Udara dingin khas Bandung langsung menyapa begitu mereka melangkah keluar dari terminal bandara.
Di area penjemputan, seorang pria dengan kemeja abu-abu melambai ke arah mereka. Senyum masih ramah sama seperti dulu. Tapi Arsen tidak menyukai itu.
Dia masih sangat ingat, Bagaimana Aditya mengirimkan pesan di tengah malam, kepada istrinya.
“Pak Arsen!” serunya lantang.
Arsen membalas dengan anggukan singkat, lalu menarik koper ke arahnya.
Luna yang berdiri di samping suami menatap sekilas pria yang dulu nyaris meminangnya. Ada jeda satu detik yang panjang, bukan canggung, tapi terlalu banyak kenangan yang tiba-tiba berdesakan dalam ingatan.
“Bu Luna.” Aditya menyapa dengan nada hati-hati.
Hanya sebuah anggukan yang Luna berikan dan dia tidak ingin terlalu banyak interaksi antara dia dengan Aditya.
Di samping itu, seorang perempuan cantik muncul dari balik punggungnya. “Pak Arsen, Bu Luna?”
Padahal Arsen udah tidak tahan, tapi dia hanya bisa berdiri diam di samping istrinya, mengamati dengan mata penuh arti. Ia tak berkata apa-apa, tapi dari cara pandangnya, terlihat jelas bahwa ia memperhatikan segalanya.
Dan tatapan Arsen membuat Luna tanpa sadar merapat, mengeratkan pelukan pada lengan sang suami.
“Ya sudah, saya antar istri saya ke glamping tempat kalian nginep.”
Seketika Luna langsung menoleh kepada suaminya. Sebelum ini, Arsen hanya mengatakan kalau mereka akan sering bertemu dengan Aditya. Untuk kamar ataupun apapun itu, sebetulnya mereka bisa mengambil kamar yang berbeda kan?
Di tempat yang agak jauh yang tidak berdekatan dengan Aditya dan istrinya tapi kenapa arsen malah memilih hal seperti ini?
“Anggap saja kalau kami juga sedang berbulan madu,” lanjutnya sambil tersenyum menyeringai.
Terlihat dengan jelas kalau mata Aditya melirik ke arah Luna. Namun saat itu juga Safira menggenggam jari jemarinya sangat kuat, sehingga Aditya bisa menjaga sikap dan Arsen tersenyum mengejek.
** **
"Pembohong," gumam Arsen saat melihat istrinya berjalan lebih semangat dari yang lain.
Sore itu, Arsen dan Luna, sesuai janji mereka, tiba di lokasi proyek pembangunan hotel dan resort milik keluarga Arsen. Debu beterbangan menyambut kedatangan mereka.
"Tanahnya amblas di beberapa titik, Pak Arsen," ucap Aditya memulai penjelasannya, menunjuk ke arah pondasi bangunan yang sebagian telah tertelan bumi. "Pondasi yang sudah kita bangun ikut masuk ke dalam. Ini lebih parah dari yang kita perkirakan."
Luna mengamati dengan seksama, matanya yang tajam menelisik setiap detail. Arsen, di sisi lain, memasang wajah datar, namun rahangnya tampak mengeras. Mereka bertiga kemudian terlibat dalam perbincangan panjang, memanggil beberapa insinyur, arsitek, dan kontraktor yang bertanggung jawab atas proyek tersebut. Suara mereka beradu, mencoba mencari akar permasalahan dan solusi terbaik.
Setelah berjam-jam berdiskusi di lapangan, mereka memutuskan untuk melanjutkan pertemuan di ruang rapat sementara yang dibangun di lokasi proyek. Luna, dengan percaya diri, ikut mengutarakan pendapatnya. Ia memaparkan bukti-bukti yang telah dikumpulkannya, menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang tidak beres dalam proyek ini.
"Kontraktornya tidak bekerja dengan baik," Luna menunjuk ke arah grafik yang terpampang di layar. "Material yang digunakan tidak sesuai standar. Insinyurnya juga kurang teliti dalam memperhitungkan kondisi tanah."
Arsen hanya terdiam, matanya tak lepas dari Luna. Ia terpesona melihat istrinya berbicara di depan banyak orang, dengan argumen yang cerdas dan keyakinan yang kuat. Sementara itu, Aditya tak bisa mengalihkan pandangannya dari Luna. Sosok wanita yang mengisi hatinya kini berdiri di sana, tegar dan mempesona.
"Jadi, apa solusi yang Anda tawarkan, Bu Luna?" tanya Arsen.
"Kita harus melakukan investigasi menyeluruh," jawab Luna, tanpa ragu. "Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini. Dan yang terpenting, kita harus memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi."
Setelah rapat selesai, Arsen tiba-tiba mengajak Aditya untuk kembali bicara.
"Sudah lama kita tidak bersantai seperti ini, kan?" ujarnya, dengan nada yang terdengar terlalu santai. Padahal, api dalam dadanya berkobar.
Luna sontak menatap suaminya, keningnya berkerut. Ia menggeleng pelan, mencoba memberi isyarat agar Arsen mengurungkan niatnya. Namun, Arsen malah menatap Aditya semakin tajam, seolah sedang menantang.
Aditya, yang merasa tidak nyaman dengan situasi ini, hanya bisa tersenyum kikuk.
"Saya rasa saya harus kembali ke glamping, Pak Arsen. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan," ujarnya, mencoba menolak ajakan tersebut secara halus.
"Tidak ada penolakan," balas Arsen, dengan nada yang tidak terbantahkan. "Kita akan bersenang-senang malam ini. Istrimu juga ikut?! Enak lho barbeque-an di cuaca dingin."
Luna hanya bisa menghela napas. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang terjadi di antara Arsen dan Aditya. Dan ia merasa, barbekyu ini bukanlah sekadar acara makan-makan biasa.
Dia tahu suaminya marah, bukan hanya tentang proyek ini, tapi dia benar-benar tidak bisa mencegah apapun. Yang jelas jika amarahnya tidak tersalurkan mungkin saja Aditya juga akan menjadi sasaran amukannya. Atau ... Dia juga ....
lanjuttyy..
❤❤❤😍😙😙