Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Papa Tristan meletakkan sendoknya, menatap Papa Tian dan Mama Rani dengan sungguh-sungguh. “Kami datang bukan hanya untuk menyatakan niat Tristan. Kami ingin membicarakan resmi tentang lamaran ini. Kalau Bapak dan Ibu berkenan, kami ingin mengatur pertemuan keluarga untuk membicarakan tanggal baik.”
Papa Tian terdiam sejenak. Ia menatap istrinya, lalu menatap Tiwi yang masih menunduk malu. “Nak, bagaimana pendapatmu?”
Semua mata tertuju pada Tiwi. Gadis itu hampir tersedak ludahnya sendiri. “Aku?!”
Papa Tian tersenyum. “Ya, tentu saja. Kami orang tua hanya bisa memberi restu. Tapi yang menjalani kehidupan ini kamu. Kalau kamu tidak setuju, maka lamaran ini tidak ada artinya.”
Semua mata kembali tertuju pada Tiwi. “Hah?! Kenapa nanyanya ke aku sekarang? Kan aku belum siap mental!”
“Tiwi!” tegur Mama Rani, setengah kesal.
“Aduh, ma… ini tuh kaya tiba-tiba dilempar granat di depan muka. Mana aku sempat mikir?” keluhnya, menutup wajah dengan kedua tangan.
Tristan mengangkat alis, lalu berdiri dan melangkah mendekat. Ia berdiri tepat di hadapan Tiwi yang masih menunduk. Dengan gerakan tenang, ia menyingkirkan tangan gadis itu dari wajahnya.
“Tiwi.” Suaranya berat dan dingin. “Aku tidak butuh jawaban sekarang. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan berhenti mengejarmu sampai kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak ingin aku ada di hidupmu.”
Semua orang di ruangan itu tertegun. Tiwi membeku. Hanya degup jantungnya yang seakan berdentum keras di telinga.
"Astaga… kok rasanya kaya diikat, tapi kok aku nggak pengen lepas juga?" ujar Tiwi dalam hati
Tiwi menggigit bibirnya. Ia menatap Tristan sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Hatinya berdegup kencang. Selama ini ia selalu menganggap Tristan hanya dokter dingin menyebalkan, walau ia juga menyimpan perasaan untuk Tristan.
Papa Tian menatap putrinya menunggu jawaban tiwi. “Tiwi, bagaimana dengan kamu? Kamu dengar sendiri ucapan Tristan. Apa kamu siap menerima dia?”
“Aku… aku tidak menolak,” jawabnya pelan.
Seisi ruangan sontak riuh. Mama Rani menepuk tangan dengan wajah berseri. Mama Tina tersenyum lega, sementara Tristan menatap Tiwi dengan sorot mata yang penuh rasa syukur.
Papa Tian mengangguk mantap. “Kalau begitu, kita lanjutkan. Biar acara lamaran resmi diadakan dua minggu lagi. Bagaimana?”
Semua menyetujui. Jadwal pun mulai dibicarakan, siapa saja yang akan diundang, hingga detail acara.
Namun di luar rumah, di halaman depan yang sepi, Adrian berdiri mematung di samping mobil keluarganya. Ia menatap jendela rumah itu, melihat bayangan keluarga yang sedang tertawa dan bersukacita. Tangannya terkepal, matanya berkilat.
Papa Ari menghampirinya. “Nak, ayo masuk mobil. Kita pulang.”
Adrian menghela napas berat, lalu masuk. Tapi sebelum pintu mobil tertutup, ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Kalau benar dia pilihan hatimu, Tiwi… maka aku ingin melihat apakah Tristan benar-benar bisa menjagamu. Kalau dia mengecewakanmu… aku tidak akan tinggal diam.”
Mobil pun melaju meninggalkan rumah itu, membawa serta luka yang belum sembuh di hati Adrian.
----
Hari-hari berikutnya menjadi kesibukan besar. Persiapan lamaran resmi antara keluarga Tristan dan keluarga Tiwi berjalan penuh semangat.
Mama Tina dan Mama Rani sibuk mempersiapkan busana untuk Tiwi. Tante Anggun bolak-balik membawa katalog dekorasi dan souvenir. Papa Tristan dan Papa Tian sering bertemu membicarakan undangan dan tamu-tamu penting yang akan hadir.
Tiwi sendiri pusing tujuh keliling. “Ya ampun, baru juga bilang ‘tidak menolak’, sekarang aku jadi pusat perhatian satu kampung,” gerutunya pada sahabatnya, Naya, yang datang membantu.
Naya tergelak. “Ya salahmu sendiri, jatuh cinta sama majikan ganteng dingin abis. Siapa suruh?”
“Siapa bilang aku jatuh cinta!” Tiwi protes, wajahnya merah.
Tiba-tiba Tristan muncul di pintu dapur. “Siapa jatuh cinta?”
Tiwi hampir menjatuhkan piring. “Dokter Dingin! Nggak usah kepo!”
Tristan hanya tersenyum tipis, lalu mendekat. “Kalau itu tentangmu, aku memang harus kepo.” Ia menatap Naya sekilas, lalu menambahkan, “Lagipula, kalau memang ada yang jatuh cinta, sebaiknya dia segera jujur. Supaya tidak menunggu terlalu lama.”
Naya menutup mulutnya menahan teriakan gemas. “Aduh, kalian ini… aku pamit dulu deh, takut kena serangan diabetes lihat kemesraan mendadak.”
Tiwi hanya bisa menggerutu sambil menunduk, wajahnya semakin memanas.
----
Hari lamaran resmi pun tiba. Rumah keluarga Tiwi penuh dengan bunga segar dan lampu-lampu hias. Tamu-tamu berdatangan, keluarga besar dari kedua belah pihak memenuhi ruangan.
Tristan datang mengenakan batik berwarna cokelat elegan, didampingi oleh Mama Tina, Papa Tristan, dan Tante Anggun. Tatapannya tegas, langkahnya mantap.
Di sisi lain, Tiwi turun dari kamar dengan kebaya hijau muda yang membuatnya tampak anggun sekaligus segar. Semua mata terpesona, termasuk Tristan yang tanpa sadar terdiam lama.
Acara berlangsung dengan khidmat. Seserahan diserahkan, doa-doa dipanjatkan, restu diberikan.
Dan ketika cincin lamaran disematkan di jari manis Tiwi oleh Tristan, seisi ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan dan sorakan bahagia.
Tiwi menunduk malu, tapi di dalam hatinya, ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Karena mulai hari itu, ia resmi menjadi calon istri Dokter Tristan, si pria dingin yang ternyata mampu menghangatkan hatinya.
Namun di luar sana, di balik bayang-bayang pesta, Adrian berdiri sendirian. Ia datang tanpa diundang, hanya sekadar melihat dari kejauhan. Dan ketika ia melihat cincin itu melingkar di jari Tiwi, sebuah janji terucap dalam hati.
“Aku akan selalu memperhatikanmu, Tiwi. Kalau dia benar-benar membuatmu bahagia, aku akan mundur. Tapi kalau tidak… aku akan kembali.”
Senyumnya getir, lalu ia berbalik meninggalkan keramaian.
Sementara di dalam rumah, Tristan menggenggam tangan Tiwi erat, berbisik pelan, “Mulai sekarang, kamu tidak sendirian lagi. Aku akan ada di sisimu, selalu.”
Dan Tiwi, meski hatinya masih campur aduk, hanya bisa tersenyum kecil. “Kita lihat saja, Dokter Dingin… semoga kamu bisa menepati janji itu.”
Acara lamaran malam itu menjadi awal perjalanan baru
bukan hanya untuk Tristan dan Tiwi, tapi juga untuk semua orang yang terlibat di dalamnya
Bersambung
Terima kasih kak untuk ceritanya, ngikutin dari awal hingga akhir
seru banget ceritanya, ⭐⭐⭐⭐⭐⭐ ☕☕☕☕☕
Terima kasih untuk cerita novelnya kak, semoga sukses selalu
terimakasih ceritanya salam sukses selalu ya 💪❤️🙂🙏