NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kilas balik

*Beberapa minggu sebelumnya...

Gedung galeri milik salah satu seniman legendaris itu tampak elegan malam itu. Diterangi lampu-lampu gantung berwarna temaram dan deretan karya kontemporer yang belum dipublikasikan ke media manapun.

Undangan untuk pameran privat seperti ini tidak diperjualbelikan. Hanya untuk orang-orang terpilih, yang namanya sudah tercantum dalam daftar tamu sebelum undangan dicetak.

Tapi Sena, bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ia berdiri di dekat area penerimaan tamu dengan setelan jas gelap, rapi dan sikapnya tenang, menyembunyikan kegugupan yang perlahan mendesak dari balik napasnya.

Satu-satunya alasan ia berdiri di tempat itu malam ini adalah demi satu tiket. Tiket yang nantinya akan ia berikan bukan pada kolega, bukan pada mahasiswa berprestasi, tapi pada Camelia. Sebab, ia ingin menunjukkan sesuatu padanya. Sesuatu yang tidak bisa disampaikan hanya lewat spidol di papan tulis atau lembaran tugas akhir.

“Pak Sena?” sebuah suara menghentikan lamunannya.

Sena menoleh, menemukan sosok wanita dengan balutan batik kontemporer. Senyum ramahnya tak asing, Rindi, ibu dari Camelia.

“Bu Rindi,” Sena tersenyum, mengangguk hormat. “Senang bisa bertemu dengan Anda di sini.”

“Tidak menyangka Anda diundang ke acara ini juga,” ucap Rindi sambil menyentuh ujung selendangnya. “Biasanya hanya kolektor atau mitra kerja lama yang bisa masuk. Anda termasuk langka,”

Sena tersenyum kecil. “Sebenarnya… saya tidak diundang.”

Rindi menoleh, sedikit heran. Tapi Sena menjelaskan dengan tenang, “Saya datang untuk bertemu salah satu kurator lama saya, berharap bisa mendapatkan satu undangan tambahan. Bukan untuk saya,”

Rindi menaikkan alis. “Untuk siapa, kalau boleh tahu?”

Ada jeda sejenak. Tapi akhirnya Sena memilih jujur, meski dengan nada suara yang lebih rendah dan hati-hati.

“Untuk Camelia.”

Rindi terdiam sesaat, memperhatikan ekspresi pria di depannya. Mata Sena jernih, tidak berusaha menyembunyikan niatnya. Tidak juga terdengar licik atau sembrono. Justru, ada ketulusan aneh yang membuat hati seorang ibu ikut bergetar.

“Dia belum pernah ikut pameran sebesar ini. Saya pikir, akan jadi pengalaman bagus. Lagipula dia punya potensi luar biasa di dunia desain, dan saya ingin dia percaya bahwa dirinya pantas berada di sana.”

Rindi menatap Sena lebih lama. Dalam diam, ia menimbang. Ia tahu bagaimana Camelia sering menghindar bicara soal pria. Tapi ia juga tahu, putrinya tidak akan pernah menyia-nyiakan seseorang yang benar-benar serius.

“Saya bisa bantu,” ucap Rindi akhirnya. “Kebetulan suami saya berteman dengan panitia utama pameran ini,”

Sena mengangguk penuh syukur. “Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu harus bilang apa.”

“Kalau memang niat Anda tulus, buktikan lewat cara baik. Jangan terburu-buru dan jangan lukai hati anak saya, karena dia bukan tipe yang akan mudah sembuh.”

Sena mengangguk dalam. “Saya tahu dan justru itu alasan saya berdiri di sini malam ini, Bu.”

Undangan yang kini ada di tangan Camelia, bukan sekadar tiket acara seni. Itu sebuah bukti dari usaha diam-diam, dari keyakinan keras kepala Sena bahwa kadang, cinta tak selalu ditunjukkan lewat kata-kata manis, tapi lewat kesungguhan untuk mengenal dan diterima oleh dunia orang yang ia sayangi. Mungkin, jauh di lubuk hati Camelia, usahanya itu, perlahan mulai mengetuk pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat.

......................

*Beberapa hari sebelum undangan itu diberikan.

Ruang makan pribadi di lantai dua Maison Cempaka Privé dipenuhi suara denting sendok dan percakapan rendah. Restoran eksklusif milik kolega lama keluarga Sasongko ini hanya buka untuk lingkaran terbatas. Lilin-lilin tinggi dibiarkan menyala di tengah meja panjang, berbaur dengan aroma wine merah dan sup truffle hangat.

Di sudut meja utama, duduklah tiga sosok, Edo Sasongko, Rindi Sasongko, dan Girisena Pramudito.

Sena hadir atas undangan langsung dari Rindi, yang entah mengapa memintanya untuk mampir malam ini. Tapi Sena tahu, ini bukan sekadar undangan makan malam. Tidak dalam dunia seperti mereka.

Setelah obrolan ringan soal universitas, perkembangan DKV nasional, dan situasi seni kontemporer, Rindi akhirnya menyinggung topik yang sejak tadi ditahan.

“Kamu penuh perhitungan. Tapi, saya rasa, kali ini kamu tidak datang hanya untuk diskusi kurikulum,” ucap Rindi dengan senyum sipu di balik gelas anggurnya.

Sena menundukkan kepala sedikit, tak mengelak. “Benar, Bu. Saya datang malam ini, selain karena undangan Anda, juga ingin menyampaikan satu hal.”

Edo mengangkat alis, menatap Sena dengan minat yang lebih serius. “Silakan, Sena.”

“Saya tahu ini terdengar berlebihan... tapi saya ingin meminta izin dari Bapak dan Ibu untuk mengajak Camelia menghadiri pameran seni akhir pekan nanti. Bukan hanya sebagai mahasiswa saya, tapi sebagai seseorang yang saya anggap spesial.”

Edo tidak langsung menjawab. Rindi tersenyum, tapi menahan komentar. Mereka berdua saling pandang. Ini bukan pertama kalinya ada pria tertarik pada putri mereka, namun yang satu ini, berbeda.

“Saya tahu posisi saya sebagai dosennya menimbulkan banyak batasan, dan saya menghormatinya sepenuhnya. Tapi saya tidak sedang mencoba melewati batas itu dengan sembrono. Saya hanya... ingin memberikan ruang pada Camelia untuk melihat dunia yang dia miliki, dan apa yang bisa dia capai di dalamnya.” lanjut Sena.

Hening menggantung selama beberapa detik sebelum Edo meletakkan gelasnya di atas meja.

“Camelia bukan gadis yang mudah dibuka hatinya, Sena.”

Sena mengangguk. “Saya tahu, Pak. Justru itu... saya tidak ingin memaksanya. Tapi saya ingin menunjukkan, bahwa saya sungguh-sungguh.”

“Baik. Saya dan Rindi tidak akan menghalangi. Tapi pastikan satu hal, kalau kamu berani mengajaknya keluar, pastikan kamu juga siap beradaptasi dengannya. Jangan jadi alasan baru untuk dia takut mempercayai siapapun.”

Sena mengangguk, kali ini lebih dalam. “Saya janji.”

Rindi menepuk punggung tangan suaminya pelan, lalu menoleh pada Sena dengan sorot menghangat.

“Kami percaya kamu akan bersikap bijak dan jika kamu benar-benar ingin mendekati putri kami... mulailah dari tempat di mana dia merasa paling aman, kejujuran.”

Sena menatap mereka berdua. Tidak ada senyum lebar, tidak ada tepuk tangan atau pelukan, tapi di balik keheningan malam itu, ia tahu satu hal. Ia baru saja melangkah satu langkah lebih dekat pada hati Camelia.

Malam itu, setelah Sena pamit undur diri dari ruang makan pribadi di lantai dua Maison Cempaka Privé, suasana sempat hening untuk beberapa menit. Tak ada suara selain denting gelas Rindi yang disentuhkan pelan ke piring kecil di hadapannya.

Edo menyandarkan tubuhnya pada kursi, memejamkan mata sejenak.

“Kamu lihat itu tadi, Rin?” gumamnya pelan.

Rindi tak menjawab segera. Ia hanya menatap sisa wine di gelasnya. “Aku lihat dan aku merasa, mungkin akan ada seseorang yang benar-benar peduli pada anak kita.”

Edo menatap istrinya yang kini bersandar di meja dengan wajah lelah. “Kita ini bukan orang tua yang baik, ya? Terlalu sering berdebat, terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing. Kita bahkan tidak benar-benar hadir saat Camelia tumbuh.” katanya, lirih.

“Bahkan saat dia menang lomba fashion tingkat nasional, kita malah absen karena urusan kerja. Aku kira waktu itu tidak terlalu penting. Tapi, sekarang aku sadar, itu semua berbekas.” Rindi tersenyum getir.

Mereka sama-sama diam. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena rasa bersalah sudah cukup menghukum mereka.

“Kalau saja Camelia bisa jatuh cinta pada orang seperti Sena. Orang yang meskipun rumit dan dingin, tapi jelas-jelas memikirkan dia. Bukan hanya sebagai perempuan, tapi sebagai pribadi yang pantas untuk diperjuangkan.” lanjut Edo.

Rindi menoleh. “Aku tahu ini bukan peran kita untuk menjodohkan. Tapi, kalau ada sedikit cahaya yang bisa membawa Camelia keluar dari kesepian, aku tidak keberatan menyingkirkan ego kita sebagai orang tua.”

“Ya. Mungkin ini waktunya kita mulai memperbaiki, bukan menuntut dan membiarkan Camelia merasakan cinta yang tidak pernah kita ajarkan, tapi akhirnya datang juga, dengan caranya sendiri.”

......................

Malam telah larut ketika Sena tiba di apartemennya. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambut keheningan yang justru mempertegas keramaian pikirannya. Ia melepas jas dengan satu tangan, menggantungnya di belakang pintu, lalu duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh pikir.

Pandangannya menerawang, kosong menatap lantai. Namun dalam kepalanya, percakapan makan malam tadi terus berputar.

"Kami bukan orang tua yang baik, Sena."

"Kalau kamu punya niat sungguh-sungguh, mungkin kami tidak akan menghalangi."

Bukan kata-kata penuh penolakan seperti yang ia duga. Justru sebaliknya. Ada kejujuran, pengakuan, dan harapan yang tidak diucapkan secara langsung, namun cukup jelas untuk dimengerti, mereka seakan ingin menitipkan Camelia padanya.

Sena menunduk, menyandarkan kedua tangannya di lutut. Wajahnya tertutup oleh jemarinya yang saling bertaut. "Dia sendiri, ya..." gumamnya pelan. Seperti baru benar-benar menyadari kenyataan yang selama ini tidak pernah ia lihat dari sudut pandang Camelia.

Sikap Camelia yang dingin, dan menjaga jarak. Terlalu hati-hati pada hubungan. Tidak banyak bicara, tapi tajam setiap kali menjawab. Semua itu, bukan karena dia sombong. Bukan karena dia ingin menjauh. Tapi mungkin, karena ia sudah terbiasa sendiri dan terbiasa menjaga dirinya sendiri. Sehingga, ketika seseorang datang terlalu dekat, mungkin itu justru menakutkan baginya.

Sena merasa bersalah. Sudah terlalu sering menekan Camelia untuk membuka hati, tanpa pernah sepenuhnya memahami kenapa gadis itu menutup pintunya begitu rapat.

Tapi bukan berarti ia akan mundur, tidak. Justru, setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana kedua orang tua Camelia mengakui kesalahannya, Sena semakin yakin. Ia harus tetap melangkah.

Apapun rintangannya, apapun alasan Camelia untuk menjauh, ia akan berusaha menembus semua itu, perlahan, dengan cara yang benar. Sebab, bukan sekadar rasa suka, bukan pula obsesi. Tapi karena ia ingin gadis itu tahu, bahwa tidak semua orang akan pergi atau menyakitinya.

Sena ingin menjadi rumah. Tempat pulang yang tidak membuat Camelia merasa harus waspada. Undangan pameran yang tadi ia persiapkan sudah rapi dalam map. Ia menatapnya sekali lagi, lalu menggenggamnya erat.

"Beri aku kesempatan, Mel. Biar aku jadi satu dari sedikit hal yang bisa kamu percaya." bisiknya lirih. Malam pun mengantarnya tidur dengan kepala yang penuh rencana, dan hati yang mulai belajar bersabar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!