"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SINDIRAN HAURA
Haura baru keluar kamar mandi saat Banyu sedang bermain ponsel di tempat tidur. Perempuan muda itu hanya memakai handuk yang menutupi tubuhnya. Bodoh amat dengan Banyu yang berada di kamar, toh selama ini Banyu tidak pernah bernafsu kepadanya.
Haura tidak menyadari bahwa sejak mereka tidak sengaja saling menempel tadi, Banyu berusaha menahan diri agar tidak terpancing dengan perempuan itu. Masalahnya adalah matanya sangat sulit diajak bekerja sama. Apalagi Haura hanya memakai handuk saat keluar dari kamar mandi.
“Kenapa dia harus keluar begitu? Tidak sadar kalau aku juga lelaki?” batin Banyu.
Suasana di kamar sebenarnya sangatlah sejuk. Namun, tiba-tiba mendadak panas. Banyu memijit pangkal hidungnya. Meskipun Banyu sudah berusaha mengalihkan pikirannya dan fokusnya, tetapi tetap saja matanya terus mencuri pandang ke Haura.
“Masih lama gak, Ra?” tanya Banyu pura-pura tenang. Padahal jantungnya berdebar kencang.
“Sebentar. Ini aku baru ganti baju. Kalau kamu mau duluan, ya udah sana.” Haura sudah memeluk pakaian gantinya. Ia lalu hendak menuju kamar mandi.
“Katanya mau ganti baju. Terus kenapa masuk kamar mandi lagi?”
Haura memutar bola matanya. “Ya ganti di sanalah. Kalau di sini ada kamu. Walaupun kamu gak pernah bernafsu sama aku, tetapi tetap aja aku harus waspada.”
Banyu menatap lurus kepada Haura. “Waspada apa sih, Ra? Kita juga udah pernah melakukan itu.”
“Nggak usah bahas itu. Kamu melakukannya dengan paksa dan dalam keadaan mabuk. Kalau pas sadar mana mau kamu menyentuh ku.”
“Kata siapa?”
“Kata aku lah. Memang kenyataannya begitu, kan? Pas mabuk juga yang kamu bayangkan bukan aku. Brengsek emang!” Haura lalu segera masuk ke kamar mandi.
Blam!
Pintu kamar mandi ia tutup dengan keras. Banyu menghela napasnya dengan kasar. Ia tidak sengaja mengungkit kejadian itu. Alhasil Haura semakin marah padanya. Perempuan yang selama ini ia kenal tidak pernah mengeluarkan umpatan, jadi mengumpat dirinya.
“Bodoh banget sih Banyu! Aargh….” Banyu mengusap rambutnya kasar.
Tidak lama kemudian, Haura keluar kamar mandi. Handuk putih tadi kini sudah berganti dengan pakaian rumahan berupa baju kaos oversize dan celana panjang. Matanya menatap Banyu dengan kesal.
Rambut panjangnya masih basah. Saat perempuan itu hendak mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, Banyu segera bangkit. Berjalan cepat dan mengambil alih benda tersebut.
“Apa?” tanya Haura sengit. Matanya melirik Banyu dengan tajam.
“Saya bantu.”
Haura menggeleng. “Aku bisa sendiri. Berhenti menggangguku.”
“Saya minta maaf sudah mengingatkan kamu dengan kejadian itu,” lirih Banyu. “Tapi malam itu saya benar-benar sadar bahwa itu adalah kamu bukan Hania. Saya berani bersumpah, Haura.” Banyu menatap Haura dengan penuh kesungguhan. Ia memang tidak sadar saat menyebutkan nama Hania saat itu. Namun, ia sangat sadar bahwa perempuan yang ia sentuh malam itu adalah Haura.
Kemarahannya itu memang dipicu karena pertunangan Daffa dan Hania, tetapi puncak kemarahannya adalah saat melihat Sagara menunjukkan perhatian kepada Haura.
“Udahlah, Mas. Simpan saja penjelasan itu buat kamu sendiri. Lagipula kamu kira aku akan percaya? Dengan segala kebohongan yang kamu sembunyikan dari aku, sulit untuk aku mempercayai ucapan kamu, Mas.”
Banyu terdiam. Mata Haura menyiratkan luka yang menganga dan Banyulah penyebabnya.
“Harus dengan cara apa supaya kamu percaya lagi kepada saya? Apa yang kamu mau tanyakan? Saya akan jelaskan semuanya. Tanpa ada yang disembunyikan.”
“Kenapa kamu harus seperti ini sih, Mas?” tanya Haura pelan. “Kenapa harus sekarang kamu berusaha menarik perhatianku? Kenapa gak sejak dulu?”
Banyu terdiam. Lidahnya kelu. Penyesalan memang selalu datang di akhir dan itulah yang dirasakan Banyu. Pasca kata cerai diungkit oleh Haura, barulah perasan takut kehilangan itu ia rasakan. Entah karena memang ia mulai mencintai Haura atau ada alasan lain, yang jelas ia tidak akan pernah melepaskan perempuan ini.
“Kamu kira perasaan aku itu mainan ya, Mas? Setidak penting itukah sehingga kamu bisa tega menarik ulur perasaan ku begini? iya?” Tatapan nanar itu kini menusuk manik hitam Banyu.
“Saya minta maaf, Haura….”
Haura tertawa sumbang. “Kamu nggak capek ya minta maaf terus? Aku aja capek lho Mas dengerinnya. Kalau bukan karena mikirin orang tua kamu yang udah baik banget sama aku, mikirin juga keluarga ku yang sayang dan berharap banyak sama pernikahan ini, mungkin aku udah bener-bener pergi dari hidup kamu. Sejak dulu.”
“Hidup sama kamu yang menganggapku antara ada dan tiada aja udah buat sakit. Apalagi saat ditambah dengan kenyataan bahwa ternyata kamu menyimpan nama perempuan lain di hati kamu. Kalau kita tukar posisi nih, apa kamu sanggup jadi aku? Apa kamu masih mau menerima aku jadi istri kamu?”
Hati Banyu mencelos. Ungkapan hati Haura membuat Banyu merasa dirinya sangat buruk. Namun, berpisah dengan Haura juga ia tidak sanggup.
“Tapi saya tidak melepaskan kamu, Ra. Saya tidak sanggup.”
Haura menarik napasnya dalam. Ia tidak tahu apa yang membuat lelaki di depannya ini menolak berpisah dengannya.
“Kamu tidak mencintaiku, Mas. Semakin lama mempertahankan aku, semakin membuat kamu bertambah menderita. Kamu bisa mendapatkan perempuan yang kamu cintai kalau kamu menceraikan aku.”
“Jangan pernah mengungkit itu, Ra. Saya benci mendengar itu dari mulut kamu.”
Haura mendesis geram. “Aku juga benci banget sama kamu.” Haura langsung melangkah menuju pintu.
Ia tidak menyadari bahwa ia keluar dengan rambut yang masih cukup basah.
Perempuan itu keluar dengan muka ditekuk. Ia terus berjalan hingga tanpa sadar sudah berada di ruang tengah menuju ruang makan. Haura juga tidak menyadari bahwa di ruang tengah itu, Kinan sedang bercanda dengan Sagara.
“Keluar kamarnya lama banget ini….” goda Kinan menatap penampilan Haura. “Rambutnya basah tuh. Habis ngapain, Kak?”
Mata Haura membulat. Ia kemudian meraba rambutnya. Masih basah. Gara-gara perdebatannya dengan Banyu, ia sampai lupa untuk mengeringkan rambutnya.
“Habis mandi, Nan,” jawab Haura pelan.
“Mau aku bantu keringkan rambutnya, Ra?” tawar Sagara membuat Haura mendelik kesal. Sedangkan Kinan justru tertawa.
“Nyebelin banget sih,” omel Haura menatap Sagara kesal.
“Seriusan, Ra. Bisa pakai hair dryer yang Kinan. Daripada basah begitu. Yang ada nanti baju kamu basah.” Sagara duduk santai bersandar di sofa. “Ambil sana, Nan. Kakak ipar kamu malu kayaknya mau pinjam punya kamu.”
“Siap, Kak!” Kinan sudah siap berdiri dan beranjak menuju kamarnya.
“Tidak usah, Nan!” seru Banyu dengan wajah datar. Matanya menyorot tajam Sagara yang membalas tatapannya dengan tenang. “Nikah sana, sibuk banget ngurusin istri orang.”
“Nungguin seseorang. Lama banget singlenya,” sahut Sagara santai, menatap sekilas kepada Haura.
“Emangnya Kakak suka sama pacar orang, ya?” tanya Kinan polos.
Sagara menggeleng. “Bukan pacar orang, tapi istri orang.”
Banyu mengepal tangan kuat. Sagara seperti sengaja memancing emosinya. Namun, tiba-tiba tangannya digenggam seseorang. Haura berdiri di sampingnya.
“Sudah ngumpul ya? Yuk kita makan, yuk!” Mama Aliya muncul dengan wajah sumringah.
Kinan dan Sagara berjalan lebih dulu. Sementara Haura dan Banyu di belakangnya.
“Yuk makan dulu. Wajah Mas kelihatan banget tegangnya. Senyum, Mas. Senyum….” Haura menyenggol Banyu sembari menunjukkan cengiran lebarnya.
“Asal kamu selalu di dekat saya, saya akan tersenyum.”
Haura melepaskan tangannya dari lengan Banyu. “Bohong. Bukannya kemarin-kemarin Mas justru marah-marah terus kalau di dekatku. Beda kalau sama Hania. Bawaannya adem dan senyum terus,” bisik Haura lalu meninggalkan Banyu yang menatap Haura dengan lemas.
“Sabar, Banyu. Usaha terus, semoga Haura segera bersikap manis kepada kamu seperti dulu.”
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, gaes :) Terima kasih dukungannya
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...