Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Di balik situasi.
"Sudah??" Tanya Bang Shano.
Seperti biasa Jena harus menghirup aroma tubuh dan bersandar pada suaminya sebentar.
Jena mengangguk kemudian melonggarkan pelukannya. Tadi saat berada di dalam gedung pertemuan, ia kurang puas karena tidak bisa skin to skin langsung bersama Bang Shano. Kini di dalam ruang kerja suaminya, Jena lebih leluasa mengekspresikan diri.
Bang Shano mengusap perut besar Jena. Meskipun terkadang hatinya kesal karena tiba-tiba harus memeluk sang istri tapi tetap terbersit rasa lucu, cinta sekaligus sayang pada anak dan istrinya.
"Jangan nakal sama Mama. Mama jadi nggak bisa istirahat." Kata Bang Shano.
tok.. tok.. tok..
"Ijin.." Suara Bang El membuyarkan keromantisan seniornya.
"Masuk..!!" Ujar Bang Shano sambil merapikan posisi kaosnya. Ia segera merapatkan ikat pinggang kemudian mengancingkan seragam PDL nya. "Pancaran??"
"Ijin, Bang. Ada pergerakan asing di sekitar bukit." Bang El sempat melirik Jena. Ia cemas urusan pekerjaan akan mempengaruhi mental bumil.
Seakan mengerti ada hal urgent, Bang Shano mengecup kening Jena. Ia menarik uang dari saku bajunya dan memberikannya pada Jena.
"Jajan dulu di kantin ya, nanti Abang nyusul."
Jena mengerti dan segera keluar dari ruang kerja suaminya. Ia juga tidak bertanya apapun pada suaminya.
Setelah Jena tidak terlihat lagi, Bang El pun memberi kabar penting tentang pergerakan yang ada.
"Daerah ini memang terpencil, Bang. Tapi daerah ini juga yang menyimpan banyak kekacauan. Penyelundupan apapun masuk lewat jalur hutan menuju sungai dari arah laut." Laporan Letnan Elgran pada Bang Shano.
"Abang harap kamu tidak terlibat apapun. Kalau kamu sudah terlanjur masuk, kamu akan sulit untuk keluar dari lingkaran setan. Tidak hanya kehidupan pribadimu beserta unsur di dalamnya yang berantakan, lingkungan sosial juga akan menghajar mentalmu habis-habisan. Abang tau banyak resiko pekerjaan yang akan kita hadapi tapi kamu akan tetap menghadapi titik situasi terendah dimana dunia seakan menghukum mu padahal kamu hanyalah.... korban." Kata Bang Shano.
Bang El terdiam. Sorot mata kedua pria saling beradu pandang hingga kemudian Bang Shano menyadari sesuatu.
Junior Bang Shano itu nampak tenang namun tatap mata itu terlalu tajam. Bang El belum bisa begitu saja membohongi senior yang juga sudah mengalaminya lebih dahulu.
"Kamu, kena dimana?????" Bentak Bang Shano, diamnya Bang El membuat emosi Bang Shano naik turun. "Jawaaabb..!!!!!"
"Ijin, operasi penugasan pembebasan sandera dua setengah tahun lalu, Bang." Jawab tegas Bang El.
Bang Shano mengurut keningnya, syok mendengar apa yang di alami juniornya. Ingin marah tapi ia tidak sanggup lagi memikirkan nya.
"Setelah Abang punya istri, apalagi mau punya anak. Abang tidak lagi 'memanjakan' diri Abang atas barang tersebut. Hingga saat ini Abang masih berusaha keras untuk lepas dari jerat barang haram itu. Kamu berusahalah lepas, kalau perlu nikah agar kamu paham bertahan demi wanita yang kamu sayang adalah perjuangan yang sebenar benarnya berjuang..!!" Nasihat Bang Shano untuk juniornya.
"Saya tidak mungkin punya istri dalam keadaan seperti ini, Bang. Saya hanya akan terus menyakitinya karena barang tersebut."
"Abangmu ini masih berusaha lepas, bukannya lepas begitu saja. Lepas dari barang tersebut adalah perjuangan seumur hidup. Ikhlaskan tentang hidupmu, terkadang dunia hanya bisa menyalahkan tanpa paham pekerjaanmu teramat beresiko. Abang tau rasanya.." Bang Shano sampai mengguncang kedua lengan juniornya yang masih terpaku tanpa jawab.
"Sebenarnya, saya hidup pun tiada guna. Latar belakang keluarga Abang begitu penuh cinta, ada dukungan. Sedangkan saya, hidup berdasarkan kaki melangkah dan tidak punya siapapun. Mati pun hanya akan menjadi sebentuk debu, hilang tak berbekas." Ujar Bang Elgran lirih.
"Sekali lagi kamu bicara begitu, Abang tampar mulutmu. Kamu punya Abang. Saya Abangmu, sampai kapanpun saya Abangmu..!!!!!!" Ucap tegas Bang Shano. "Bahu Abang tidak hanya untuk istri, adik-adik Abang juga bisa bersandar."
...
Cukup lama Bang Shano dan Bang El berada di ruangan hingga Jena merasa sangat bosan. Sudah banyak makanan dan minuman yang masuk dalam lambungnya tanpa sadar rasa mual kembali mampir menghampiri.
Bu Parjo segera menghampiri Ibu Danki dan mengoleskan minyak angin sekedar meredakan mual. Telaten seperti anak sendiri Bu Parjo merawat Jena.
Entah apa yang membuat usapan lembut Bu Parjo meluluhkan hati Jena. Jika biasanya usapan tangan Bang Shano yang membuatnya luluh, kini lembutnya tangan Bu Parjo begitu nyaman juga menenangkan. Mungkin karena selama ini tidak pernah ada yang membelainya lembut seperti seorang ibu.
"Kalau ibu capek, tidur saja dulu di kamar Budhe sambil menunggu bapak. Jangan di tunggu terus nanti bapak kepikiran, perut ibu bisa kram." Saran Bu Parjo yang lebih berpengalaman.
"Budhe, apa di daerah ini sering ada keributan?" Tanya Jena mungkin saat ini sedang merasakan cemas.
"Lumayan Bu. Namanya juga kampung adat, memegang teguh aturan adat. Kita disini adalah pendatang yang sedang mencari makan. Dimana pun kaki berpijak, disitulah langit di junjung. Bukankah begitu, Bu?" Jawab Bu Parjo.
"Benar sekali, Bu. Sedikit banyak saya cemas. Sejak menginjak kaki disini, saya merasakan ada yang berbeda. Penduduknya ramah hanya sedikit lebih tertutup. Hmm.. Pandangan nya seperti, tidak bisa menerima anggota baru??"
Bu Parjo tersenyum mendengarnya, beliau setengah memijat bahu Jena. "Setiap regenerasi kepemimpinan sudah biasa seperti itu. Lambat waktu akan menjawab, tak kenal maka tak sayang. Suatu saat nanti semua pasti akan terbiasa menerima Ibu dan bapak. Kesan pertama saya melihat Bapak, beliau adalah orang yang bijak. Ibu tenang saja."
.
.
.
.