Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Axel mengetuk-ngetuk jarinya di meja, pikirannya masih berkutat pada sosok yang tadi ia lihat di lingkungan sekolah.
Glenzy, wanita yang pernah mengisi ruang hatinya, yang dulu sempat ia sukai diam-diam.
Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Glenzy terlihat begitu akrab saat berbincang dengan Elsa. Dan, itu sangat mengganggu pikirannya.
"Kenapa perasaanku tidak enak?" gumamnya pelan. Satu tangannya terangkat, menyentuh dadanya yang berdetak tidak menentu. "Tidak mungkin. Aku tidak mungkin masih mencintai Glenzy, kan?" Axel merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Jelas, debaran itu berbeda. Bukan getar manis seperti dulu saat ia jatuh cinta, melainkan seperti firasat buruk yang menghantui.
"Ada apa denganku?" batin Axel, bingung dengan gejolak yang tidak ia mengerti.
Tanpa ia sadari, seseorang masuk ke ruangannya dengan raut wajah yang merengut kesal. "Tuan Dion sudah datang. Beliau menunggu di ruang rapat," ujar Martin ketus.
Axel tersentak, mendongak cepat. "Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk? Membuatku kaget saja," gerutunya.
Martin mengangkat alis. "Aku sudah mengetuk berkali-kali. Tapi, kau tidak mendengar dan malah melamun. Sebenarnya, apa yang kau pikirkan, hah?"
Axel menghela napas, menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata sejenak. "Aku melihat Glenzy di sekolah," gumamnya.
Martin membelalak. "Lalu? Jangan bilang … kau masih menyukainya?"
Axel membuka matanya dan menggeleng lemah. "Tidak. Aku yakin perasaanku padanya sudah selesai. Tapi masalahnya, aku melihat dia berbicara dengan Elsa."
"Apa?" pekik Martin nyaris berteriak. "Bagaimana bisa?"
Axel mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Tapi rasanya ... ini bukan kebetulan."
Martin menatap Axel sejenak, lalu kembali ke topik awal. "Ya sudah, kau bisa menanyakannya nanti. Oh iya. Tuan Dion sudah datang dan sekarang menunggu di ruang rapat."
Axel berdiri, merapikan jasnya. "Baiklah. Kita ke sana sekarang." Axel berjalan lebih dulu, diikuti Martin yang berjalan di belakangnya. mereka berdua menuju ruang rapat, dimana Dion berada.
Axel masuk bersama Martin, raut wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi. Ia segera duduk di hadapan Dion, membuka map presentasi yang sudah disiapkan.
"Tuan Axel," sapa Dion. "Terima kasih sudah meluangkan waktu. Aku yakin kerja sama ini akan menjadi langkah besar untuk kedua belah pihak."
Axel hanya tersenyum kecil, nyaris tidak terlihat. "Martin sudah memberitahu ku soal pengajuan kerjasama anda, tuan Dion. Tapi, ada beberapa yang harus di perbaiki. Aku penasaran dengan proposal yang Anda ajukan sekarang. Jadi, silakan anda jelaskan."
Dengan sigap, Dion mulai memaparkan proposal yang sudah ia perbaiki. Proyek distribusi dan promosi produk-produk baru tampak sangat menguntungkan. Slide demi slide ditampilkan dengan detail yang mengesankan, angka-angka yang menjanjikan keuntungan besar, dan skema pembagian hasil yang adil dan transparan.
Namun Axel tidak hanya melihat angka. Ia melihat lebih dalam, ada pola pengalihan dana tersembunyi, persentase tidak wajar, hingga subkontrak fiktif yang bisa mengalirkan keuntungan pribadi ke pihak Dion tanpa terendus pihak lain.
Kecurangan itu tertutup rapi. Mungkin bagi orang lain, semua ini hanya kesalahan kecil dalam dokumen. Tapi tidak bagi Axel.
"Benar-benar licik," batin Axel. "Tapi sayangnya, kau berhadapan dengan orang yang lebih tahu caranya bermain kotor," seringai Axel dalam hati.
Meski sudah menyadari niat busuk Dion, Axel tetap bersikap tenang. Ia bahkan menunjukkan ketertarikannya, memainkan peran seperti yang Dion harapkan.
"Proposal ini cukup menarik," ujar Axel sambil menutup berkas. "Aku pikir perusahaan kami tidak akan melewatkan kesempatan ini. Aku setuju untuk menjalankan kerja sama ini, tuan Dion."
Dion tersenyum lebar. Ia tampak puas, seolah telah memenangkan sesuatu. "Terima kasih, tuan. Saya senang mendengarnya. Saya tahu, anda pria yang berpikiran maju," puji Dion.
Martin menoleh cepat, hampir tidak percaya Axel menyetujuinya. Padahal, jelas jika Dion mempunyai niat terselubung. Tapi, melihat tatapan Axel yang tajam ke arahnya, sudah cukup membuatnya diam dan mengerti, jika Axel mempunyai rencana sendiri.
"Sekali lagi, terima kasih, tuan." Dion mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Axel.
"Sama-sama, tuan. Aku harap kerja sama ini berjalan lancar," balas Axel dengan ekspresi datar seperti biasa.
Namun, di balik wajah datarnya, Axel sudah menyusun strategi. Dia akan membiarkan Tuan Dion berpikir telah menang, sampai saat yang tepat tiba untuk membalikkan semuanya.
...****************...
Sudah menjadi rutinitas harian bagi Axel untuk menjemput Elsa sepulang bekerja. Kali ini, ia menggunakan motor butut milik Roy untuk menjemput Elsa.
"Maaf, membuatmu lama menunggu," ujar Elsa, menghampiri Axel.
"Tidak masalah." Axel mengulurkan helm pada gadis itu sebelum naik di jok belakang. Kemudian, Axel menyalakan mesin motornya, dan melaju dengan kecepatan sedang.
Suasana terasa hening sepanjang perjalanan. Hanya suara angin dan deru mesin tua yang mengisi jeda di antara mereka. Tidak satu pun dari mereka mencoba membuka percakapan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Elsa duduk dengan tubuh sedikit kaku, matanya tertuju lurus ke depan meski wajahnya hampir bersandar pada punggung Axel.
Malam ini, mereka hanya berdua di rumah. Dan itu cukup membuatnya gugup.
Ia belum pernah berada di ruangan yang sama dengan seorang pria lain, selain kakaknya. Tapi sekarang, ada Axel di rumahnya.
Bayangan-bayangan tidak terduga mulai melintas di benaknya. Kilasan saat mereka berciuman tanpa sengaja, pelukan spontan yang membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak, dan yang paling mengganggunya, tatapan mata Axel yang begitu dalam, seolah mampu menelanjangi hatinya.
Elsa menunduk, menggigit bibir bawahnya. Tangannya terangkat, menyentuh dadanya. "Kenapa jantungku berdetak kencang sekali?" batin Elsa.
Sementara itu, Axel pun tidak kalah kalut. Meski wajahnya tetap tenang dan fokus mengendarai motor, pikirannya dipenuhi banyak hal, terutama soal Elsa. Malam ini seharusnya menjadi momen indah karena ia bisa berduaan dengan gadis incaran nya. Tapi, kenapa justru terasa menegangkan?
"Apa yang harus aku lakukan nanti?" pikirnya resah.
axel martin panik bgt tkut kebongkar
hayolah ngumpet duluu sana 🤭🤣👍🙏❤🌹
bapak dan anak sebelas duabelas sangat lucu dan gemesin....