Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.
Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.
Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.
Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22(Menjadi Istri, Tanpa Tempat di Hati)
Happy Reading (。•̀ᴗ-)✧
⋇⋆✦⋆⋇
Letta melangkah pelan ke arah ranjang, lalu duduk di tepinya. Matanya tertuju pada sosok Zidan yang sudah terlelap di sofa, dengan napas teratur dan ekspresi wajah yang begitu tenang. Sorot lampu tidur menyoroti garis rahang pria itu, memantulkan keteduhan yang tak sejalan dengan kegelisahan Letta malam ini.
Ia sadar, tak seharusnya berharap terlalu banyak—terutama di malam pertama pernikahan mereka yang terjadi karena perjanjian, bukan cinta. Namun, tetap saja hatinya perih. Apakah setiap malam setelah ini akan seperti ini? Apakah kehadirannya akan terus menjadi hal yang dihindari?
Menolak larut dalam luka yang belum sempat sembuh, Letta bangkit. Ia melangkah menuju lemari dan mengambil selimut, lalu kembali ke sisi sofa. Dengan gerakan pelan dan hati-hati, ia menyelimuti tubuh Zidan yang tertidur.
Setelah memastikan Zidan cukup nyaman, Letta merendahkan tubuhnya sedikit, duduk di lantai tepat di samping sofa. Ia menatap wajah pria itu—wajah yang entah sejak kapan begitu menguasai isi pikirannya.
"Aku tahu, setelah hari ini... semuanya nggak akan semudah yang aku bayangkan," bisiknya lirih. “Tapi aku akan tetap mencoba.”
Ia tersenyum samar, lalu menundukkan kepala sedikit.
“Selamat malam… sayang,” ucapnya pelan sebelum berdiri dan kembali ke ranjang.
Letta menarik selimut, lalu membaringkan tubuhnya dengan punggung menghadap ke sofa. Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi meski tubuhnya diam, pikirannya terus bergolak. Dan saat kesunyian menyelimuti kamar, yang pertama hadir bukanlah mimpi, melainkan air mata yang jatuh perlahan, membasahi bantal dalam diam.
Waktu terus berjalan tanpa terasa. Pagi pun perlahan menyapa dengan lembutnya. Di kamar itu, Letta menjadi orang pertama yang terbangun. Begitu membuka mata, pandangannya langsung mengarah ke sofa. Di sana, Zidan masih terlelap dengan napas tenang dan posisi tubuh yang tampak nyaman dibalut selimut yang semalam ia selimuti.
Dengan hati-hati Letta beranjak dari tempat tidur, tak ingin mengganggu tidur suaminya. Hari ini, ia memulai hari pertamanya sebagai seorang istri. Ia ingin menyiapkan sarapan untuk Zidan—setidaknya ini caranya menunjukkan cinta, walau belum tentu dibalas.
Setelah selesai membersihkan diri, Letta melangkah keluar dari kamar dengan semangat kecil yang ia pupuk sendiri. Langkahnya ringan menuju dapur, dan begitu tiba di sana, beberapa maid langsung menyapanya dengan ramah.
"Selamat pagi, Nona," ucap mereka serempak dengan senyum sopan.
Letta membalas sapaan mereka, “Pagi, Bik,” ujarnya sembari tersenyum cerah.
Ia segera mengenakan apron dan mulai menyiapkan bahan-bahan masakan. Belum lama ia sibuk dengan kegiatan di dapur, sosok Nyonya Ana muncul dari balik pintu.
"Eh, cepat banget kamu, Sayang. Hari ini mau masak apa?" tanyanya sambil menghampiri Letta.
“Pagi, Mami,” sapa Letta lembut. Ucapan itu membuat Nyonya Ana tersenyum hangat, meski ada rona geli di wajahnya.
“Pagi juga, Sayang. Wah, rajin banget istri baru,” goda Nyonya Ana. “Oke deh, kamu lanjut masak ya. Mami mau buatkan teh untuk Papi dulu.”
Letta hanya tertawa kecil dan kembali fokus ke masakannya. Hari ini ia memilih menu yang cukup istimewa: udang goreng tepung, sup sayur, tumis kerang, dan daging semur. Dengan bantuan Nyonya Ana dan para maid, semua masakan berhasil selesai tepat waktu dan tersaji dengan tampilan menggugah selera.
Setelah memastikan semuanya sudah rapi di meja makan, Letta melepas apron dan pamit untuk kembali ke kamar.
"Kalau begitu, Letta bangunin Zidan dulu ya, Mi," ucapnya sambil melangkah ke arah pintu.
Namun suara Nyonya Ana menghentikannya sejenak. “Eh, kok masih panggil nama aja sih?”
Letta menoleh dengan bingung. “Maksud Mami?”
"Ya masa udah jadi istri masih panggil nama? Harus beda dong. Masa sebelum sama sesudah nikah panggilannya tetap sama?" tukas Nyonya Ana sambil tersenyum penuh makna.
Letta menghela napas, pasrah. “Iya, Mami... iya,” balasnya sambil tersenyum malu, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar, siap membangunkan suaminya—pria yang kini telah sah menjadi bagian hidupnya.
Begitu membuka pintu kamar, Letta terkejut melihat Zidan sudah terjaga. Pria itu tampak baru bangun, masih duduk diam di sofa dengan pandangan kosong yang perlahan mulai fokus.
"Mas udah bangun?" sapa Letta lembut, mencoba terdengar senatural mungkin. "Mau langsung mandi? Aku siapin bajunya ya," lanjutnya sambil berjalan ke arah lemari.
Zidan tidak langsung merespons. Tubuhnya kaku sejenak, matanya menatap Letta dengan ekspresi bingung—atau lebih tepatnya, heran. Mas? ulang Zidan dalam hati. Panggilan itu terdengar biasa, namun entah mengapa... terasa hangat. Sesuatu yang belum pernah ia dengar dari Letta sebelumnya.
Sementara itu, Letta berusaha tampak santai, walau dalam hatinya deg-degan bukan main. Ia sebenarnya ingin memanggil Zidan dengan sapaan yang lebih manis, mungkin seperti "sayang", tapi takut Zidan justru merasa risih. Jadi ia memilih panggilan paling aman—“Mas”. Tidak terlalu berlebihan, tapi cukup menunjukkan bahwa hubungan mereka telah berubah.
"Oh iya," Letta kembali bicara, berusaha mengalihkan perhatian dari keheningan yang aneh. "Mas mau kita balik ke daerah A hari ini atau besok? Aku bisa minta Etan buat siapin semua keperluannya."
Zidan akhirnya menoleh, matanya menangkap sosok Letta yang kini berdiri dengan baju ganti di tangan, menunggunya dengan tatapan tenang.
Untuk sesaat, tidak ada jawaban. Tapi ada sesuatu yang menghangat di dada Zidan—entah karena perhatian Letta, atau karena suara lembutnya yang kini terasa berbeda.
"Terserah kamu," jawab Zidan akhirnya, singkat dan datar.
Letta mengangguk pelan mendengar respons itu, menelan kecewa yang perlahan mulai terasa akrab di hatinya. Namun tetap saja, ia mencoba tersenyum tipis.
"Kalau begitu, gimana kalau kita berangkat hari ini?" tanyanya lagi, berharap ada sedikit antusiasme dari Zidan.
Zidan hanya mengangguk singkat, lalu berbalik tanpa kata dan masuk ke kamar mandi. Begitu pintu tertutup, Letta menunduk dalam diam. Perih itu datang lagi, menghantam relung hatinya yang sudah sering kali retak. Apa aku benar-benar tidak punya tempat di hatinya? batinnya getir.
Namun Letta menolak larut dalam kesedihan. Ia segera memastikan semua kebutuhan Zidan telah tersedia, lalu melangkah keluar kamar. Ia memutuskan kembali ke dapur untuk menyiapkan jus buah.
Sementara itu, Zidan sudah keluar dari kamar mandi. Udara dingin pagi menyentuh kulitnya saat ia berdiri di tengah kamar, matanya mengitari ruangan mencari sosok Letta—tapi ia tidak ada di sana.
Ia mendesah pelan, lalu berjalan ke arah ranjang, tempat dimana bajunya telah disiapkan dan mulai mengenakan pakaiannya. Berdiri di depan cermin, Zidan menatap bayangannya sendiri. Semua yang melekat di tubuhnya kini—kemeja, celana panjang, bahkan jam tangan—adalah barang-barang mewah pilihan Letta. Semuanya tampak sempurna... di luar.
Namun di balik semua kemewahan itu, hatinya justru terasa hampa.
Ia sadar, hidupnya kini lebih terjamin. Rumah yang nyaman, makanan lezat, masa depan yang jelas. Tapi dalam diam, ia juga marah. Marah karena merasa dirinya diperlakukan seperti barang, dipindahkan, dipilih, dimiliki. Dan lebih dari itu, ia merasa rendah… karena hidupnya terasa seperti dibeli.
Zidan menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Antara ingin menerima kenyataan atau melawannya, antara ingin membenci Letta... atau justru mulai memahaminya.
TBC...