NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22 MENTEGA DAN COKELAT

Zia buru-buru berdiri dari kursi rias begitu Viren mundur. Ia bahkan tak sempat menoleh, hanya cepat-cepat melangkah menuju tempat tidur seperti seseorang yang kabur dari medan perang—dengan wajah sendiri sebagai musuh terbesarnya malam ini.

Tanpa menunggu jeda napas, tubuhnya langsung melompat ke balik selimut. Ia menarik kain itu tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh wajah, menyisakan hanya helai-helai rambut panjang yang terjuntai dan membandel di sisi bantal.

Jantungnya berdetak keras seperti palu, pipinya terasa seperti dibakar dari dalam, dan pikirannya dipenuhi suara-suara panik yang tak sempat disortir.

“Astaga… kenapa harus nyangkut? Kenapa dia harus lihat? Dan kenapa dia malah bantuin?!”

Zia menahan erangan malu dengan mengepalkan bantal. Napasnya pendek-pendek. Ia tidak tahu mana yang lebih mengganggu—kehadiran Viren yang masih di ruangan atau pikiran-pikiran liar yang tidak kunjung diam.

Dan benar saja. Beberapa detik kemudian, suara itu terdengar. Tenang. Tapi kali ini, ada nada ringan yang sangat jarang muncul dari pria itu.

“Kalau kau ingin menyembunyikan diri, setidaknya sembunyikan juga rambutmu.”

Zia memekik kecil dan membenamkan wajah lebih dalam ke bantal. “Pergilah… aku sedang mencoba mati perlahan.”

Viren terkekeh pelan. Tawa yang lebih seperti desir angin hangat, bukan ejekan.

“Sayangnya, kau terlalu hidup untuk itu.”

Ia duduk di tepi ranjang. Kasur sedikit berguncang, dan Zia merasa tubuhnya makin mengecil di balik selimut. Seperti siput yang kembali ke cangkangnya. Ia tidak ingin keluar. Tidak ingin terlihat. Tapi di saat yang sama, ia bisa merasakan sesuatu—sentuhan ringan di atas selimut. Tidak mengangkat atau mencoba membuka, hanya menyentuh. Seolah menyapa. Atau memastikan ia baik-baik saja.

“Aku senang kita kembali ke sini malam ini,” gumam Viren, nadanya nyaris seperti sedang bicara sendiri. “Tapi aku lebih senang lagi karena kau—akhirnya—terlihat seperti dirimu sendiri.”

Zia membuka sedikit selimut, hanya cukup untuk mengintip dari balik kain.

“Maksudmu… berantakan dan panikan?” bisiknya, malu-malu.

Viren mengangguk tanpa ragu, senyumnya samar namun jujur. “Persis. Jauh lebih menarik daripada istri yang terlalu tenang dan sopan.”

Zia mendesah panjang dan menutup wajahnya lagi, tapi kali ini, tawa kecil tertahan di tenggorokannya. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha menyembunyikan senyum yang perlahan muncul.

Ia masih salah tingkah. Masih terlalu sadar akan setiap geraknya. Tapi ada sesuatu yang berubah—kehangatan aneh yang pelan-pelan tumbuh, seperti cahaya kecil di tengah kabut.

Dan untuk malam ini, Zia bisa tidur dengan tenang… meskipun separuh wajahnya masih tersembunyi di balik selimut, dan suaranya masih dikecup malu.

...----------------...

Hari telah berganti, namun suasana di Calligo tetap sama.

Sunyi. Sepi. Bahkan tak ada celak kicauan burung atau suara hewan lainnya—karena hujan deras mengguyur entah sejak kapan.

Udara dingin berhasil menembus dinding batu Calligo, membuat Zia semakin menggulung tubuhnya dalam selimut tebal. Ia meringkuk, bibirnya hampir tak terdengar saat bergumam, “Sepertinya... di luar hujan.”

“Kau benar.”

Suara itu membuat Zia terkejut. Matanya terbuka lebar dalam sekejap. Di depannya, Viren tengah duduk bersandar di kursi malas dekat jendela, masih mengenakan piyama semalam, dengan tablet hitam di pangkuannya. Jari-jarinya sibuk menyapu layar, ekspresinya tenang.

“Kau?” Zia sontak mengangkat tubuhnya. “Kau tidur di sini?”

“Hm.” Viren mengangguk pelan, masih menatap layarnya.

“Kenapa?”

Baru saat itu pria itu menoleh. Tatapannya tak bisa ditebak. “Bukankah kau yang memintanya?”

Zia menatapnya, syok. “Benarkah?”

Ia buru-buru mencari potongan ingatan semalam—saat ia berlari ke kamar, sembunyi di balik selimut—tapi semuanya terasa kabur. Samar. Kosong.

Apa mungkin... Astaga...

Kepalanya terasa berat. Tidak, tidak mungkin. Maksudku, mereka baru saja berbicara semalam. Dan sekarang dia... di sini? Semalam terjadi apa? Kenapa aku tidak ingat?

“Hmm...” Zia menelan ludah. “Apa sesuatu... terjadi?”

Viren mengangkat alis, nadanya datar namun wajahnya jelas mengejek. “Ingatanmu benar-benar buruk, Zia.”

Zia langsung menarik selimut ke atas kepala, menyembunyikan wajah yang mulai memerah. Di balik selimut, ia menggigit bibirnya. Malu. Kesal. Bingung.

Viren itu... ternyata pria menyebalkan.

Namun di sisi lain ruangan, Viren tersenyum kecil. Gangguan kecil semacam itu—ternyata bisa membuat paginya terasa... menyenangkan.

Ia menutup tabletnya, berdiri, lalu melangkah keluar kamar untuk berganti pakaian.

Zia mengintip sedikit dari balik selimut. Saat tak melihat sosok Viren di ruangan, ia segera menyibakkan selimut dan melompat turun. Tapi saat berlari menuju kamar mandi—sial, pintunya terkunci.

Itu artinya… Viren ada di dalam.

“Ya Tuhan…” gumamnya, malu sendiri.

Sementara itu, di luar Calligo...

Langit masih diselimuti awan kelabu. Orang-orang mulai berlalu-lalang, payung di tangan mereka seperti jamur tumbuh serentak di musim basah.

Jake mengemudi tenang, membelokkan mobilnya ke arah gedung Kairotek—menara ramping yang menjulang megah di pusat kota.

Hari ini, tak banyak agenda untuk Viren. Ia hanya perlu memeriksa integrasi akhir sistem SPEKTRA, dan itu pun bisa ditangani Jake tanpa kehadiran langsung.

Sementara di sisi lain, Manuel telah pergi bersama Samuel ke tempat yang seharusnya menjadi habitat mereka: Cinderline.

Di sana, pekerjaan lebih menumpuk—termasuk satu insiden yang belum selesai dibahas: Tragedi Batako.

Setelah sarapan, Zia segera meninggalkan meja makan. Langkahnya cepat, seolah sedang dikejar oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia menuju tempat yang paling sering menjadi pelariannya akhir-akhir ini—perpustakaan.

Ruangan itu masih seperti kemarin, penuh aroma kayu tua dan lembaran kertas. Sunyi, tenang, dan jauh dari sorotan mata siapa pun. Zia menarik salah satu buku dari rak, lalu duduk di kursi maroon di dekat jendela. Cahaya matahari menyelinap masuk, menyinari halaman-halaman yang mulai menguning.

Namun meskipun matanya menatap baris demi baris tulisan, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.

Ia memutar ulang suara langkah kaki Viren, tatapan singkatnya, suara dingin namun akrab yang tadi menyapanya dengan pertanyaan sederhana: “Kau tidak makan?”

Zia menarik napas panjang, lalu mencoba fokus membaca kembali.

Sementara itu, di sisi lain rumah—di ruang kerjanya yang tertutup rapat—Viren duduk di depan layar komputer. Ruangan itu lebih gelap dari biasanya, hanya diterangi cahaya dari layar dan bias matahari yang sedikit menembus tirai.

Laporan-laporan telah tersusun rapi di layar monitor. Teks-teks panjang, grafik, foto-foto hasil rekaman kamera tersembunyi, semua berlabel SPEKTRA Internal Report.

Ia menggulirkan layar.

Status: Stabil.

Modul Pengenalan Wajah: 92% Presisi.

Integrasi Pola Suara: 85%.

Anomali Terakhir: Zona 4C.

Ia membaca semuanya dengan mata tajam. Tangannya menyentuh touchpad, membuka satu folder lain: Tragedi Batako.

Folder itu berisi data yang lebih kelam. Tidak ada grafik manis. Hanya laporan tertulis, foto tempat kejadian, dan hasil analisis para pengintai Cinderline.

Viren menyandarkan punggung ke kursi. Kedua matanya menatap layar dalam diam. Tragedi itu masih menjadi noda yang belum ia bersihkan. Batako yang jatuh tak pernah dianggap serius oleh publik—hanya kecelakaan biasa. Tapi ia tahu lebih dari itu. Ia selalu tahu.

Tangan kanannya terangkat pelan, menyentuh perban yang masih melilit sebagian lengan kirinya. Luka yang masih basah akibat menyelamatkan nyawa seseorang.

Ia membuka catatan kecil di sisi meja. Di sana tertulis kode pendek, tanggal, dan satu nama samar yang ia lingkari dua kali.

Nexus – Tidak boleh terbuka.

Diidentifikasi. Lokasi belum jelas.

Pengirim: Masih aktif.

Ia mengetuk ujung pulpennya ke meja. Pandangannya kosong. Tapi pikirannya sudah ratusan kilometer jauhnya dari ruangan itu—menyusun ulang apa yang belum sempat ia ungkapkan.

Sementara di perpustakaan, Zia masih membaca buku yang sama, halaman yang sama, untuk ketiga kalinya.

Senja merambat perlahan di langit Calligo. Cahaya jingga menyusup lewat celah-celah jendela, melukis bayangan panjang di lantai perpustakaan. Zia duduk diam di kursi empuk, buku terbuka di pangkuannya, tapi pandangannya kosong. Angin sore hanya mengelus pelan lembaran kertas, sementara pikirannya melayang ke tempat lain.

Rasa bosan menyelinap dalam diam. Ia berdiri perlahan, lututnya masih terasa ngilu saat menginjak lantai dingin. Bekas lukanya belum benar-benar kering, tapi ia memaksakan diri untuk berjalan menyusuri lorong yang lengang. Suara langkah kakinya memantul di dinding, membentuk gema yang sunyi.

Sesekali ia menoleh ke belakang—ke arah pintu ruang kerja Viren. Pintu itu tertutup rapat, tak memberi isyarat sedikit pun. Tapi entah kenapa, keberadaannya saja cukup membuat dada Zia berdebar.

Sesampainya di dapur, ruangan itu kosong. Calligo benar-benar terasa lengang hari ini.

Ia membuka kulkas dan menunduk melihat isinya. Barisan sayuran dan daging tertata rapi dalam kotak-kotak bersih. Pasti ini kerjaan Emi. Zia mengambil beberapa butir telur, membuka pintu rak atas, lalu menunduk ke bawah mencari tepung atau sesuatu yang bisa dijadikan adonan.

“Kue apa yang bisa aku buat dengan bahan segini?” gumamnya sambil menaruh telur, tepung, dan susu di atas meja.

Tangannya terus bergerak, membuka satu laci ke laci lainnya hingga akhirnya menemukan sekotak cokelat batang dan mentega.

“Lumayan,” ucapnya pelan, tersenyum kecil.

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, membuat Zia terlonjak.

“Nona sedang apa?” tanya Emi.

Zia menoleh dengan dada yang langsung naik-turun. “Emi!” serunya pelan, memegangi dada. “Kau mengagetkanku.”

“Maaf, Nona.” Emi tersenyum tipis sambil melirik bahan-bahan di meja. “Nona mau membuat kue?”

“Iya... meski aku tidak tahu alat-alatnya di mana,” jawab Zia jujur.

Tanpa banyak bicara, Emi membuka pintu kecil di sisi dapur. Di baliknya, tersimpan pantry yang dipenuhi peralatan masak.

“Di sini semua, Nona.” Ia mengeluarkan mixer, loyang, dan perlengkapan lainnya, lalu menatanya di meja dapur.

“Terima kasih,” ucap Zia, mulai mengaduk bahan-bahan di mangkuk besar.

Kali ini ia akan mencoba membuat brown cake. Tidak rumit, hanya butuh ketelitian. Emi pergi lagi, entah ke mana, meninggalkannya sendiri di dapur yang kini mulai harum dengan aroma cokelat dan mentega yang meleleh.

Beberapa menit kemudian, langkah berat terdengar dari lorong. Zia tak langsung menoleh, tapi jantungnya seperti langsung bereaksi.

Viren berdiri di ambang pintu dapur. Matanya menangkap siluet tubuh Zia yang sibuk memegang mangkuk adonan. Kakinya melangkah pelan, seperti tanpa ia sadari. Ia kini berdiri di depan kulkas, tidak mengatakan apa pun selama beberapa detik.

“Kau membuat kue?” tanyanya akhirnya, suaranya rendah dan sedikit serak.

Zia hanya menoleh sebentar, lalu kembali menunduk. “Iya,” jawabnya pendek.

Adonan cokelat mengalir lembut saat ia menuangkannya ke loyang. Tapi tangannya sedikit gemetar—entah karena gugup atau karena pria itu berdiri terlalu dekat.

Viren memperhatikan dalam diam. Matanya mengamati gerak-gerik Zia. Tangannya, rambutnya yang jatuh menutupi pipi, dan caranya menghindari tatapan.

Dua orang itu kini diam. Hanya suara detik jam dan dengungan oven yang perlahan mengisi ruang dapur yang remang. Udara terasa padat oleh keheningan yang tidak mereka pahami, seolah waktu ikut menahan napas. Timer belum juga berbunyi, tapi canggung sudah lebih dulu tiba.

Zia berpura-pura sibuk. Ia mengelap meja yang sebenarnya sudah bersih, menyusun spatula dan sendok-sendok ke dalam laci seolah menyibukkan diri bisa menyingkirkan rasa kikuk yang menggantung di antara mereka.

Viren duduk di salah satu kursi kayu, gelas kosong di depannya. Ia menatap Zia, matanya tenang, tapi bibirnya tampak seperti sedang menimbang sesuatu.

“...Kau punya adik?” tanyanya tiba-tiba, suaranya cukup pelan, seolah takut mengusik.

Zia menghentikan aktivitasnya. Tangannya yang memegang lap terkulai di sisi tubuh. Ia bersandar ke dinding, menarik napas sebelum menjawab.

“Tidak,” katanya lirih. “Aku sebatang kara.”

Alis Viren terangkat perlahan. Matanya menyipit, mencoba membaca sesuatu dari wajah Zia. Lalu siapa Alex? pikirnya dalam diam.

Zia menunduk sedikit, lalu melanjutkan, “Saat panti itu terbakar, aku satu-satunya anak yang selamat. Lalu... mereka datang dan membawaku pulang.”

Nada suaranya seperti garis tipis yang dijaga rapat-rapat agar tidak patah. Tapi itu cukup untuk membuat Viren mematung. Fakta itu mengguncangnya lebih dari yang ia duga.

Selama ini ia mengira Zia adalah keluarga Alex—mungkin anak tiri atau keponakan jauh. Ia bahkan sempat mengira Zia sengaja memakai nama ibu kandungnya seperti yang pernah ia lakukan. Tapi nyatanya—tidak ada ikatan. Tidak ada darah. Hanya kebetulan yang disimpan terlalu dalam.

“...Lalu bagaimana denganmu?” tanya Zia akhirnya, membalikkan situasi. Suaranya masih lembut, tapi penuh rasa ingin tahu.

Viren menatap ke arah jendela. Cahaya matahari sudah meredup, menyisakan bayang-bayang panjang di lantai. “Satu kakak,” ujarnya pelan. “Dan itu sudah cukup.”

Zia tersenyum kecil. “Kakak sepertinya lebih baik, bukan?”

“Sulit dijelaskan. Dia seperti badai yang bisa melemparkan semua isi rumah... tapi juga satu-satunya orang yang bisa membuat rumah itu hangat,” jawabnya, dengan nada bercampur getir dan sayang yang tak ingin diakui.

Zia mengangguk kecil, tidak berkomentar, hanya membiarkan kalimat itu tinggal di udara.

Beberapa detik hening kembali turun.

“Lalu... orang tuamu?” tanya mereka berdua—bertepatan, membuat keduanya saling menatap kaget.

Zia tersenyum kikuk, lalu menunduk. “Aku tidak tahu di mana mereka,” katanya pelan. Kali ini benar-benar pelan. Ada bayangan luka lama yang kembali menyelam ke dalam nadanya. “Mereka... mungkin tidak mencariku.”

Viren menunduk sejenak. Tak ada reaksi berlebihan. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang ikut diam—dan berat.

“Orang tuaku sudah meninggal,” jawabnya akhirnya. Suaranya datar, seperti menyebut sesuatu yang tak ingin disentuh terlalu lama.

Dan tepat saat itu, timer oven berbunyi. Suaranya nyaring, memecah suasana seperti alarm yang membangunkan mereka dari lamunan masing-masing.

Zia buru-buru melangkah ke arah oven, mengangkat loyang dengan sarung tangan besar, dan aroma cokelat langsung memenuhi ruangan.

Namun, suasana di antara mereka tak lagi sama. Ada sesuatu yang kini menggantung di udara—bukan lagi kecanggungan, tapi rasa penasaran. Rasa ingin tahu. Dan sesuatu yang lain, yang belum mereka beri nama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!