Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Kebenaran Dunia Atherion.
Bab 25. Kebenaran Dunia Atherion.
Angin pegunungan menerpa wajah mereka dengan sejuk, membawa aroma pinus, pepohonan purba, dan tanah basah yang menyegarkan. Jeno mengangkat tangan, memberi isyarat pada Luna untuk memperlambat penerbangan.
"Terbang pelan, Luna. Aku ingin melihat keindahan yang disembunyikan oleh reputasi mengerikan tempat ini."
Lupharion mengangguk dan mengepakkan sayapnya dengan lebih tenang, membiarkan mereka melayang di atas jurang-jurang yang dalam dan puncak-puncak yang menjulang tinggi. Pegunungan Pemangku Dunia memang berbahaya, namun kekayaan alamnya seperti besi mithril tersembunyi di dalam tebing curam, hutan purba dengan pohon-pohon raksasa, dan air terjun yang mengalir seperti sutra, keindahan pegunungan tak bisa dibantah lagi.
Tim Serigala Pemburu tampak lebih santai kini, ketegangan pertempuran tadi mulai memudar dari wajah mereka. Jeno memanfaatkan momen damai ini untuk menggali informasi yang lebih dalam.
"Rinka," suaranya terbawa angin namun tetap jelas terdengar, "ceritakan tentang bandit-bandit tadi. Siapa mereka sebenarnya?"
Rinka yang duduk tepat di belakangnya mengepalkan tangannya, mata cokelatnya berkilat marah. "Mereka Geng Bara Api.. bajingan-bajingan itu sudah lama menjadi target misi serikat. Mereka kejam, bukan hanya merampok, Kak Jeno. Mereka sengaja menyergap kami karena tahu kami mengambil misi menangkap mereka."
"Menyergap?" Jeno menaikkan alisnya. "Maksudmu, ini bukan pertemuan kebetulan?"
"Sama sekali bukan!" Doru, si penyihir minor berambut cokelat, menyahut dengan nada pahit. "Seseorang pasti memberitahu mereka tentang misi kami. Ada mata-mata di Serikat Petualang."
Suara itu membuat hati Jeno berdesir tidak nyaman. Korupsi bahkan sudah menyusup ke organisasi yang seharusnya melindungi rakyat kecil, dan perlu diselidiki. "Sepulangnya, aku perlu bertanya langsung pada Justus," batinnya.
"Terima kasih sudah menyelamatkan kami, Kak Jeno," Doru melanjutkan dengan tulus. "Tanpamu, kami mungkin sudah..."
"Tidak perlu berterima kasih," Jeno memotong dengan senyum hangat. "Sebagai teman harus saling membantu tanpa memandang status, ras, atau kepentingan. Bukankah begitu?"
Ren, Kael, dan Toma mengangguk kompak, mata mereka berbinar terharu oleh sikap Jeno yang tidak membeda-bedakan mereka sebagai demi-human.
Rinka menggigit bibir bawahnya, wajahnya merona malu namun penuh harapan. "Kak Jeno... setelah misimu selesai, maukah kau membantu kami menangkap Geng Bara Api? Hasilnya akan kami bagi rata—"
"Tentu saja," Jeno menyela dengan santai, membuat kelima anggota tim itu berseru gembira.
Namun kemudian ekspresi Jeno berubah lebih serius. "Tapi sebelum itu, aku ingin tahu lebih banyak tentang dunia ini. Ceritakan situasi terkini di dunia Atherion ini."
Senyum di wajah Tim Serigala Pemburu langsung pudar. Mereka saling bertukar pandangan, seolah menimbang beban kata-kata yang akan diucapkan. Rinka menghela napas panjang, suaranya berubah berat dan penuh kesedihan.
"Atherion sedang berada di ujung jurang kehancuran, Kak Jeno." Mata serigala gadis itu menatap cakrawala dengan tatapan kosong. "Dunia ini terpecah menjadi dua, Faksi Cahaya dan Faksi Kegelapan. Mereka berperang tanpa henti, dan kami... kami ras binatang hanya pion dalam catur politik para dewa."
Angin pegunungan berhembus lebih kencang, seolah alam pun merasakan beban cerita yang akan terungkap.
"Syukurlah ada Pegunungan Pemangku Dunia sebagai barrier alami," Doru menimpali dengan suara getir. "Kalau tidak, perang mungkin sudah meletus total dan menghancurkan segalanya."
Namun kemudian nada bicaranya berubah semakin pahit. "Tapi kami, bangsa demi-human, diperlakukan seperti daging meriam oleh Faksi Cahaya. Mereka menempatkan kami di garis depan.. hmm... sebagai tameng hidup untuk melindungi tentara manusia mereka."
Jeno merasakan amarah mengalir di pembuluh darahnya. "Dan kalian menerima perlakuan itu?"
Rinka tertawa miris. "Pilihan apa yang kami punya? Amelia Silverleaf dan Viconia, dua Penyihir Agung yang tadi kau temui... mereka adalah ujung tombak propaganda Faksi Cahaya dan Kegelapan. Mereka menjanjikan kesetaraan, namun kenyataannya..." Ia menggeleng frustasi.
"Makanya aku bersyukur kau menolak tawaran mereka," tambahnya lirih.
Ren, yang berperawakan besar dan bertugas sebagai perisai tim, mengepalkan tangannya erat-erat. "Aku menjadi petualang untuk membuat timku kuat, agar kami bisa melawan ketidakadilan ini. Cita-citaku adalah menjadi Kesatria Suci seperti Arbelista, yang berjuang untuk keadilan sejati."
"Sama seperti kami," Kael dan Toma menyahut bersamaan, tekad berapi-api terpancar dari mata mereka.
Mendengar penuturan itu, Jeno tersenyum tipis, senyuman yang menyimpan ribuan makna terukir. Ada kearifan tua dalam mata mudanya, seolah ia telah menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan peradaban berkali-kali.
"Dengarkan aku baik-baik," suaranya berubah dalam dan penuh otoritas yang tak terbantahkan. "Fokuslah pada kekuatan diri sendiri. Jangan pernah mau menjadi alat perang para penguasa yang hanya mementingkan ego mereka. Perang ini bukan milik kalian."
Namun jawaban Rinka membuat Jeno terkesiap. "Kami tidak punya pilihan, Kak Jeno. Setiap petualang yang mencapai level 50 diwajibkan bergabung dengan militer negara. Ini bukan lagi soal pilihan... ini perintah yang tak bisa dilanggar."
Mata Jeno berkilat tajam. "Lalu keluarlah dari Faksi Cahaya. Jadilah kelompok netral."
"Tidak semudah itu!" Rinka menggeleng keras. "Raja Darewolf sudah menandatangani pakta darah dengan Faksi Cahaya. Seluruh rakyat Darewolf terikat sumpah untuk membantu mereka. Melanggar sumpah itu sama artinya dengan pengkhianatan."
Tiba-tiba, suara dalam dan bergema memotong pembicaraan mereka. Luna, yang selama ini diam mendengarkan, bersuara dengan nada jengkel yang tak tersembunyi.
"Raja Darewolf itu bodoh dan egois!" geramnya. "Dia membiarkan bangsa serigala diperdayai para dewa palsu! Sebagai Ras Binatang, kalian seharusnya tidak berpihak pada siapa pun, hanya pada alam dan keluarga yang perlu kalian lindungi."
Kelima anggota Tim Serigala Pemburu terdiam. Mereka tidak bisa membantah kebenaran yang diungkapkan makhluk suci itu.
Rinka bersuara lirih, hampir seperti bisikan. "Kami hanya rakyat jelata. Jika kami melawan perintah raja, status kewarganegaraan kami akan dicabut dan kami akan diasingkan. Kemana kami harus pergi? Bagaimana kami bertahan hidup?"
Mata Jeno menyala dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa berdenyut. Ketika ia berbicara, suaranya mengandung kekuatan yang bisa menggetarkan jiwa.
"Dengar baik-baik, semua." Ia berbalik menatap mereka satu per satu dengan tatapan yang membakar. "Keluarlah dari Faksi Cahaya. Sekarang. Aku jamin kalian akan hidup tenang dan bisa meningkatkan kekuatan tanpa menjadi budak siapa pun."
Rinka dan yang lain saling bertukar pandangan bingung. Mereka mengira Jeno meminta mereka bergabung dengan kekuatan lain.
"Maksudmu... Kerajaan Naga Perak?" Rinka bertanya dengan suara gemetar. "Jeno, bergabung dengan faksi netral justru lebih mengerikan! Mereka punya masalah internal yang parah... korupsi, perebutan kekuasaan, dan mengabaikan rakyat!"
Doru mengangguk cepat. "Benar! Lihatlah Kota Velden, mereka bahkan tidak mendapat perhatian dari Kerajaan Naga Perak. Walikota Recaldo dan Justus harus berjuang sendiri menjaga kota, sampai-sampai harus memohon bantuan Kesatria Suci dari Kerajaan Lumina!"
Nada Ren menjadi semakin berat. "Dan sekarang Kesatria Suci Arbelista sudah tewas. Kematiannya menciptakan konflik baru."
Jeno tersenyum misterius sambil memandangi hamparan pegunungan di bawah mereka. Fragmen-fragmen puzzle dunia ini mulai tersusun dalam pikirannya, membentuk gambaran besar yang kompleks dan mengerikan.
"Ceritakan tentang medan perang," pintanya. "Di mana biasanya kedua faksi bertempur?"
Rinka menelan ludah, suaranya bergetar ketika menjawab. "Ada lima titik konflik utama yang menjadi medan pembantaian abadi. Salah satunya..." ia menunjuk ke arah selatan, "adalah bagian selatan Gunung Sesat tempat kita menuju sekarang. Daratan Makam Bebatuan."
Angin bertiup lebih kencang, membawa kabut tipis yang membuat pemandangan menjadi samar dan misterius. Jeno memejamkan mata sejenak, merasakan aliran kekuatan yang mengalir di pegunungan ini: jejak darah, penderitaan, dan kematian yang telah meresap ke dalam tanah selama bertahun-tahun.
Ketika ia membuka mata kembali, ada kilat berbahaya yang berkedip di kedalaman pupil safirnya. Dunia ini lebih rumit dan kelam dari yang ia bayangkan, namun di sinilah letak tantangannya.
"Menarik," gumamnya pelan, senyum predator mengembang di bibirnya. "Sangat... menarik."
Luna merasakan perubahan aura tuannya dan tidak bisa menahan desisan kecil yang keluar dari tenggorokannya. Ia tahu, petualangan yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Di kejauhan, Gunung Sesat menjulang dengan segala bahaya dan misteri yang tersembunyi di dalamnya, sementara di selatan, medan perang abadi menunggu dengan nafsu darah yang tak pernah terpuaskan.
Jeno Urias telah sampai di dunia chaos dengan tujuan pasti, dan kehadirannya akan mengubah takdir dunia Atherion selamanya.
Situ Sehat ??!