Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil Yang Tidak Terduga
Ayla hanya tersenyum menanggapi ucapan itu sambil terus membereskan barang-barangnya. Namun, akhir-akhir ini ada yang aneh dari dirinya. Ia sering mengeluh sakit kepala dan merasa mual, seperti yang sedang ia rasakan sekarang. Tiba-tiba saja, rasa pusing itu kembali menyerangnya.
"Kak!" seru Arya dengan nada panik saat melihat kakaknya menunjukkan tingkah aneh dan tidak merespons ucapannya. Wajah Ayla pun tampak sangat pucat, jauh berbeda dari biasanya.
"Suster!" teriak dokter dengan sigap ketika melihat Ayla hampir pingsan. Ia segera bergerak cepat dan menangkap tubuh Ayla agar tidak terjatuh ke lantai. Tanpa membuang waktu, Ayla pun langsung dibawa ke ruang pemeriksaan.
---
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakak saya, Dok?" tanya Arya dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran. Di sampingnya, Ayla yang sudah siuman kini duduk lemah, namun bersiap mendengar penjelasan tentang kondisi kesehatannya yang terasa aneh dalam beberapa hari terakhir.
Dokter itu tampak ragu sejenak, wajahnya memperlihatkan kebingungan, seolah sedang mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang tidak mudah. Namun, sebagai tenaga medis, ia tahu bahwa kebenaran harus disampaikan. Tidak ada pilihan lain, karena hasil pemeriksaan yang ia lihat sangat jelas dan mustahil salah.
"Ayla, apakah kau sudah menikah?" tanya dokter itu dengan suara tenang tapi penuh tekanan, menatap Ayla lekat-lekat seolah mencari kejujuran dari sorot matanya.
Ayla tampak kaget mendengar pertanyaan itu. Dahinya langsung berkerut dan matanya menatap dokter dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa, Dok?" tanyanya bingung, merasa tak mengerti arah pembicaraan.
"Kamu hamil," lanjut dokter itu, akhirnya mengutarakan hasil pemeriksaannya, meski dengan nada yang masih terdengar ragu. Ia tahu berita itu akan mengejutkan, dan benar saja—Ayla mendadak membelalakkan matanya, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Bahkan sang dokter pun masih terlihat seperti belum sepenuhnya yakin dengan reaksinya sendiri.
Namun bukan hanya mereka berdua yang terkejut. Arya, yang sejak tadi duduk di samping kakaknya, tampak paling syok mendengar kabar itu. Pandangannya langsung tertuju pada Ayla, dan tanpa bisa menahan diri, ia melontarkan pertanyaan penuh emosi.
"Kak… Kakak hamil?" tanyanya pelan namun jelas, nada suaranya mencerminkan keterkejutan dan kebingungan yang amat besar.
Ia kembali bertanya, kali ini dengan lebih serius, matanya mencari kebenaran dalam ekspresi wajah Ayla.
"Kakak… kapan menikah? Kenapa Arya tidak tahu?"
Ayla yang semula masih tenggelam dalam keterkejutannya sendiri, kini perlahan mulai sadar dan menarik napas panjang. Ia tersenyum, meski senyumnya jelas sekali dipaksakan. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan situasi yang mudah.
"Ah… iya. Kakak lupa memberitahu," ujarnya, mencoba tetap tenang. "Kakak sudah menikah. Iya, kakak memang sudah menikah. Selama ini… suami kakak yang bantu biaya pengobatan kamu."
Ia berbohong. Namun dalam kondisi seperti ini, Ayla merasa tidak punya pilihan. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia belum menikah tapi kini tengah mengandung. Itu akan menjadi aib besar.
Namun meski telah mengucapkan kebohongan itu, hati Ayla justru semakin diliputi kecemasan. Ia bertanya-tanya dalam diam. Bagaimana bisa dia hamil? Setahunya, selama menjalani pekerjaannya itu, dia selalu menggunakan pengaman. Tidak pernah sekalipun ia lalai dalam hal itu. Lalu bagaimana bisa ini terjadi?
Wajahnya menegang. Ia tahu, satu-satunya orang yang bisa memberinya penjelasan adalah Mamy Jenny. Dia harus segera menemuinya. Segera.
Sepulang dari rumah sakit dengan menumpang taksi, suasana di dalam mobil terasa sangat berbeda dari biasanya. Ayla duduk diam, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi. Pikirannya kalut, hatinya masih terombang-ambing oleh kenyataan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sementara itu, Arya justru tampak begitu ceria, tidak menyadari badai emosi yang sedang mengaduk hati kakaknya.
"Kakak harus segera mempertemukanku dengan suami kakak," kata Arya dengan penuh semangat, matanya berbinar penuh rasa penasaran. "Kakak ipar aku itu pasti orang baik. Aku juga harus mengucapkan terima kasih langsung padanya. Sudah bantu pengobatanku selama ini."
Ayla menoleh perlahan, memaksakan senyum yang sangat kaku, nyaris tak terlihat tulus. Ia hanya mengangguk pelan, tak mampu menjawab apa-apa. Di dalam hatinya, justru ada perasaan bersalah yang begitu besar.
"Kakak masih kelihatan pucat, loh. Kakak harus jaga kehamilan kakak baik-baik ya," lanjut Arya lagi dengan penuh perhatian, tak menyadari bahwa setiap ucapannya justru seperti pisau yang menambah luka batin Ayla.
Kembali, Ayla hanya mengangguk dan mencoba tersenyum meskipun wajahnya begitu lelah dan hatinya makin terasa berat. Ia benar-benar tak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini, apalagi kepada adik yang sangat ia sayangi.
Malam harinya, suasana rumah mereka terasa sunyi. Di dalam kamar, Ayla duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Air mata terus mengalir tanpa henti di pipinya. Ia merasa sesak, merasa sendiri, dan belum sanggup menerima kenyataan bahwa dirinya benar-benar sedang mengandung. Ini bukan bagian dari rencana hidupnya.
Besok, ia harus menemui Mamy Jenny. Tidak bisa ditunda lagi. Ia butuh penjelasan, butuh jawaban. Harus.
Sementara itu, di depan kamar Ayla, Arya masih terjaga. Suara isakan pelan yang terdengar dari kamar kakaknya membuatnya terdiam. Ia mendengarnya jelas, meski Ayla berusaha menahan suaranya serendah mungkin. Itu membuat kebingungan dan kecurigaan bagi Arya.
‘Kenapa kakak menangis seperti itu? Bukankah dia sedang hamil dan seharusnya bahagia?’ pikir Arya. Semakin lama ia mendengar, semakin besar pula kecurigaan dalam hatinya.
Arya mulai bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh kakaknya darinya? Kenapa ia merasa bahwa di balik semua ini, ada sesuatu yang tidak benar?