Sebuah cerita tentang perjuangan hidup Erina, yang terpaksa menandatangani kontrak pernikahan 1 tahun dengan seorang Presdir kaya raya. Demi membebaskan sang ayah dari penjara. Bagaikan mimpi paling buruk dalam hidup Erina. Dia memasuki dunia pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap akan dicintai.
Akankah dia bisa menguasai hatinya untuk tidak terjatuh dalam jurang cinta? ataukah dia akan terperosok lebih dalam setelah mengetahui bahwa suaminya ternyata ada orang paling baik yang pernah ada di hidupnya?
Jika batas waktu pernikahan telah datang, mampukan Erina melepaskan suaminya dan kembali pada kehidupan lamanya? Atau malah cinta yang lama dia pendam malah berbuah manis dengan terbukanya hati sang suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eilha rahmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Erina Demam
Erina mengerutkan keningnya karena sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam melalui celah-celah gorden kamar. Perlahan dia membuka matanya, mengeliat sebentar untuk meregangkan otot-ototnya yang tegang karena pertengkaran semalam.
Dia duduk di tepian ranjang, diliriknya jam digital yang ada di atas nakas tempat tidur. Jam sebelas, gawat, dia bangun kesiangan. Spontan dia melihat ke belakang sudah tidak ada siapa-siapa disana, mungkin laki-laki itu sudah berangkat bekerja tadi pagi.
Dia menghela nafas berat beberapa kali, masih tercetak jelas dalam otaknya seperti apa wajah Arga saat marah. Tatapan matanya benar-benar menakutkan, seperti vampire yang hendak menghisap semua darahnya hingga habis tak tersisa.
Erina memegang tengkuk belakangnya memijatnya perlahan sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kepalanya juga terasa sangat berat seperti ada puluhan gajah yang bertengger di sana. Pasti karena semalam dia terlalu syok melihat monster mengerikan yang lagi marah-marah.
“Huh! Aku tidak pernah menyangka kalau dia akan seseram itu saat marah. Lagi pula apa alasan dia marah. Seenaknya saja dia menuduhku selingkuh. Mood nya sangat tidak bisa di tebak sudah seperti perempuan yang lagi PMS.” Erina menggumam kesal, tanpa dia sadari ada sepasang mata elang yang sedang berdiri di depan ruang ganti baju.
“Kau bicara dengan siapa?”
Suara bariton dari sudut ruangan membuat Erina terlonjak, sampai terbangun dari tempat duduknya. Matanya seketika membelalak saat menangkap sosok Arga tengah berdiri di sana.
Sejak kapan dia berdiri di sana? Jangan-jangan dia mendengar ucapanku tadi, bagaimana ini. Apa dia akan memarahiku lagi.
“Coba ulangi kata-katamu tadi” Arga sudah melangkahkan kakinya mendekat. Belum apa-apa Erina sudah gemetar ketakutan. Kakinya tiba-tiba lemas seperti tak punya tenaga untuk menopang tubuhnya yang mungil.
Apa aku pura-pura pingsan saja ya. Barangkali dia tidak jadi marah kalau aku pingsan. Tidak, lebih baik pura-pura mati saja. Aduh, bagaimana ini.
Arga sudah berada tepat di hadapannya, Erina panik tidak ketulungan. Dia meremas jari-jarinya, bersiap menerima hukuman yang mungkin akan segera dia terima karena terang-terangan sudah memaki laki-laki itu. Arga mendekatkan wajahnya, Erina sudah bersiap-siap menutup matanya sambil menahan nafas.
Apa dia akan menciumku lagi? Eh...
Arga menempelkan keningnya tepat di kening Erina ketika wanita itu membuka matanya. Wajah mereka sangat dekat. Erina bahkan bisa merasakan hembusan nafas laki-laki itu. Tiba-tiba saja ada yang memberontak dalam dadanya, jantungnya berdegup tidak beraturan. Perasaan aneh dan sangat tidak nyaman menggerayangi tubuhnya. Wajahnya merona merah. Buru-buru Erina memalingkan wajahnya, menyembunyikannya dari mata laki-laki yang sudah membuatnya malu.
Arga terlihat tersenyum samar, menyadari rona merah di wajah Erina. Dia meraih dagu Erina dengan lembut membuat tatapannya beradu dengan mata gadis itu untuk beberapa saat.
“Lihat, kau bahkan ketagihan dicium laki-laki tampan sepertiku, hahaha.” Arga tergelak.
Cih, tidak ku sangka, laki-laki dingin seperti dia punya tingkat ke pe-de an setinggi langit. Siapa juga yang mau di cium olehnya, bukannya dia yang kemarin tiba-tiba menciumku.
“Aku cuma mau mengecek suhu tubuhmu, tadi pagi badanmu panas makanya aku membiarkanmu tidur.” Arga memegang kedua pundak Erina, kemudian mendorongnya pelan hingga terduduk di tepian ranjang.
Oh ya, pantas saja badanku rasanya sangat lemas ternyata aku demam. Apa dia tidak masuk kerja karena aku sakit? Lihatkan, mood nya benar-benar naik turun seperti roller coaster.
Erina hanya tersenyum kikuk, dia masih tidak berani menatap wajah suaminya yang kini tengah berjongkok di hadapannya.
“Dokter Reza sudah di bawah sejak tadi, dia menunggumu bangun. Kau mau langsung di periksa atau mau kekamar mandi dulu?” Tanya Arga sambil menyodorkan segelas air minum pada Erina.
“Eh, tapi saya baik-baik saja suamiku. Sepertinya tidak perlu repot memanggil dokter kemari.”
“Tapi suhu badanmu sepertinya belum turun, mau kubantu menyeka tubuhmu dengan air hangat?”
Erina membelalakkan matanya, apa laki-laki ini sudah tidak waras. Jelek-jelek begini Erina bukan wanita murahan yang tubuhnya biasa di pamerkan pada sembarang laki-laki. Meskipun Arga sudah sah sebagai suaminya tapi kan mereka terikat perjanjian nikah di atas kertas putih. Bukan berdasarkan cinta.
“Tidak usah suamiku, aku bisa melakukannya sendiri” Erina melambaikan kedua tangannya di depan dadanya dengan cepat, kemudian buru-buru pergi ke kamar mandi sebelum laki-laki itu melontarkan inisiatif yang lebih gila lagi.
Arga menahan senyumnya melihat tingkah gugup Erina. Dia mengacak rambutnya yang masih basah.
Ah, aku pasti sudah gila. Bagaimana mungkin gadis ileran yang baru bangun terlihat sangat manis di mataku. Sepertinya nanti siang aku harus pergi ke dokter mata. Pasti mataku sedang tidak baik-baik saja.
Usai membersihkan dirinya dan menghabiskan sarapannya, Erina di suruh berbaring di tempat tidur untuk di periksa oleh Dokter Reza. Kakek dan Bibi Sofia berdiri di samping ranjang, mereka terlihat cukup panik melihat keadaan Erina terutama Kakek. Sedangkan Arga lebih memilih duduk di atas sofa, namun sesekali dia melongokkan kepalanya melihat ke arah ranjang untuk melihat apa yang dilakukan Dokter itu saat memeriksa istrinya. Wajahnya terlihat santai, namun dia tidak dapat membohongi perasaannya jika dia merasa sedikit kesal saat melihat tangan Erina di pegang-pegang oleh orang lain.
“Bagaimana dok? Apa jangan-jangan Cucuku sedang hamil?” Kakek mendekati Dokter Reza setelah dia melakukan pemeriksaan terhadap Erina.
“Sepertinya Nona Muda hanya demam ringan Tuan.” Ucap Dokter Reza setelah membungkukkan kepalanya memberi hormat.
Erina menyembunyikan mukanya di balik selimut, dia sama sekali tidak berekspektasi kalau Kakek akan menanyakan hal itu. Hamil? Bahkan sampai saat ini kata itu terasa sangat tidak mungkin bagi Erina. Dia melirik ke arah Arga yang masih duduk cuek di atas sofa, seperti tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Kenapa dia diam saja? Ayo katakan sesuatu, dasar laki-laki tak bertanggung jawab. Bagaimana mungkin dia bisa sesantai itu.
“Saya sudah memberi obat untuk Nona Muda untuk meredakan demamnya, dan saya akan menambahkan beberapa vitamin paling bagus untuk menambah kesuburan.” Dokter Reza menambahkan.
“Baiklah kalau begitu, mungkin Erina hanya kecapean Kek,” Bibi Sofia memapah Kakek menuju sofa. “Sudah, tidak perlu terburu-buru, biarkan mereka menikmati masa-masa sebagai pengantin baru Kek.” Tambahnya berusaha menghibur Kakek yang memperlihatkan perubahan ekspresi wajahnya.
“Benar Tuan Besar, masih terlalu dini untuk khawatir tentang kehamilan Nona Muda.” Dokter Reza menambahi.
“Ya, kalian benar. Aku hanya tidak sabar menggendong ahli warisku.” Kakek terkekeh sambil menggepuk punggung Arga. Erina hanya diam menyimak di atas tempat tidur sedangkan Arga tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Huh, sudah bisa ku tebak. Setelah merengek minta mantu sekarang malah merengek minta cepat-cepat dapat cucu, apa Kakek orang lain juga sangat merepotkan seperti Kakekku?
Arga mengantar kepergian Dokter Reza sampai depan rumah. Mukanya yang sedari tadi ditekuk meninggalkan pertanyaan di benak Dokter yang habis memeriksa istrinya.
“Istrimu sepertinya sedang banyak pikiran, sesekali berikan perhatian padanya. Bawalah dia berlibur sekalian bulan madu. Jangan hanya sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Heemm” Arga memutar bola matanya malas, dia tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang kehamilan dan bayi. Itu mustahil meski dia sudah menikah, dia sudah bertekad tidak akan pernah tidur dengan gadis udik seperti Erina. Meskipun sempat beberapa kali dia hampir kehilangan kontrol namun sampai saat ini dia masih mampu menahannya.
“Aku serius Arga.” Dokter Reza menepuk bahu Arga pelan, berusaha meyakinkan kalau mental istrinya sedang tidak baik-baik saja.
“Iya, iya aku tahu! Akhir-akhir ini kau banyak sekali bicara, apa Dokter sekarang lebih sering menganggur sampai bisa bicara banyak seperti ini?” Arga mendorong pelan punggung Dokter Reza sampai dia benar-benar masuk kedalam mobilnya. Dokter Reza hanya bisa geleng-gelang melihat kelakuan sahabatnya itu. Sifat keras kepalanya masih saja tidak berubah.
.
.
(BERSAMBUNG)
egoisnya kebangetan si arga nih...