Li Shen Sang Penghancur
Di lereng bukit tempat Sekte Naga Langit berdiri megah, suara tawa bercampur ejekan memenuhi udara. Di tengah halaman latihan, seorang pemuda kurus dengan pakaian lusuh tampak terdorong ke tanah oleh sekelompok murid lain. Li Shen, remaja berusia 17 tahun, terbaring dengan tangan erat menggenggam sebuah kalung hitam sederhana yang tampak usang.
"Ayo, bangun, Li Shen! Bukankah kau juga ingin menjadi kultivator hebat?!" ejek seorang murid dengan rambut panjang yang terikat rapi, seraya menendang pedang kayu ke arah Li Shen.
"Atau mungkin kau ingin tetap merangkak di tanah seperti cacing?" tambah seorang lainnya, diiringi gelak tawa.
Li Shen bangkit perlahan, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit. Tubuhnya yang kurus penuh debu, namun matanya tetap menatap lurus ke depan.
“Jangan menyentuhku lagi,” katanya pelan, suaranya terdengar lebih seperti permohonan daripada ancaman.
"Jangan menyentuhmu? Hah! Kau ini siapa, berani bicara begitu?" si rambut panjang mendekat, meraih kerah pakaian Li Shen, lalu menariknya hingga wajah mereka berdekatan. "Kau itu bukan siapa-siapa, tahu? Bahkan dantianmu rusak. Untuk apa kau masih di sini?"
"Eiya! Coba lihat, apa itu kalung di tangannya?" salah satu murid menunjuk ke arah kalung Li Shen.
"Ah, barang ini lagi! Kau memegangnya seperti harta karun, padahal mungkin cuma potongan besi tua. Biar kulihat lebih dekat!"
Li Shen merapatkan genggamannya pada kalung itu, tetapi dua murid lain sudah memegangi lengannya, memaksanya melepaskannya.
“Lepaskan!” teriaknya, suaranya parau. Ia meronta, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.
"Kau benar-benar lemah, Li Shen." Salah satu dari mereka merebut kalung itu dan memainkannya di udara. “Apa kau berpikir benda ini akan membuatmu jadi kuat? Bahkan jika kau punya harta surgawi, dantianmu itu tetap rusak!”
Li Shen mencoba bangkit, tetapi salah satu murid menendang kakinya hingga ia jatuh lagi.
“Kembalikan kalung itu!” desaknya, kali ini matanya memerah, hampir menangis. “Itu… satu-satunya milikku.”
“Tentu, ambil saja!” Murid yang memegang kalung itu berpura-pura menyerahkan, lalu menariknya kembali saat Li Shen mengulurkan tangan. Gelak tawa mereka kembali pecah.
"Yah, kau ingin ini, 'kan? Kalau begitu, ambil sendiri!" Ia melemparkan kalung itu ke tanah berlumpur di dekat sungai kecil di pinggir halaman.
Li Shen merangkak menuju kalungnya, tidak memedulikan sorakan yang semakin keras. Saat ia akhirnya menggenggamnya, ia membersihkan lumpur yang menempel di permukaannya dengan hati-hati, bahkan dengan tangan yang gemetar.
“Lihat dia, seperti anjing yang mencari tulang!” seorang murid berseru, diikuti tawa yang menggema.
“Anjing? Kurasa lebih cocok disebut tikus!” tambah yang lain, membuat mereka semua tertawa lebih keras.
Namun, Li Shen tidak menjawab. Ia bangkit perlahan, memeluk kalung itu erat-erat di dada. Dengan pandangan menunduk, ia melangkah menjauh dari kerumunan.
Tawa mereka terus terdengar bahkan saat ia menghilang dari pandangan, menuju ke gubuk kecil di ujung kompleks sekte. Itu satu-satunya tempat yang bisa ia sebut rumah—sebuah bangunan reyot yang disediakan untuk murid-murid tanpa keluarga atau dukungan.
Saat malam tiba, Li Shen duduk di kasurnya yang tipis, memandangi kalung itu di bawah cahaya lentera. Jemarinya menyusuri ukiran halus di permukaan kalung, berusaha mencari jawaban dari benda kecil itu.
"Ayah... apa yang harus kulakukan?" pikirnya dalam hati. "Kenapa aku tetap bertahan di sini, di tempat yang hanya memberiku rasa sakit?"
Namun, seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah suara angin yang berembus, seakan turut mencemoohnya.
Di luar gubuk, langkah-langkah kaki terdengar mendekat, diikuti suara familiar.
"Li Shen, kau di dalam? Besok pagi jangan lupa tugasmu membersihkan aula utama! Jangan berpikir kau bisa menghindar hanya karena kau lemah!" Suara itu diiringi tawa kecil sebelum akhirnya langkah itu menjauh.
Li Shen mengepalkan tangannya. Kalung di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. Di dalam kegelapan, ia hanya bisa menatap jauh ke luar jendela kecil di kamarnya, berusaha menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya.
Namun di kedalaman matanya, tersimpan secercah harapan yang tidak pernah benar-benar padam. Meski tubuhnya lemah, dan dantian rusaknya membuatnya tampak tidak berdaya, Li Shen bersumpah pada dirinya sendiri. Suatu hari, dunia akan berhenti memandang rendah dirinya. Suatu hari, ia akan membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar pemuda cacat yang menjadi bahan ejekan.
Keesokan Harinya....
Mentari pagi baru saja menembus kabut yang menyelimuti Sekte Naga Langit. Li Shen sudah berdiri di depan aula utama dengan sapu di tangan. Aula megah itu, tempat para tetua sering berkumpul untuk membahas hal-hal penting, kini tampak kosong, namun tetap memancarkan keagungan yang membuat siapa pun merasa kecil.
Li Shen mulai menyapu dengan gerakan lambat, tangannya terasa berat karena memar-memar dari kemarin. Suara sapu bergesekan dengan lantai marmer menjadi satu-satunya suara yang menemani keheningan pagi.
Tak lama, suara langkah berat menggema di aula. Li Shen menoleh dan melihat Tetua Bai, seorang pria tua dengan janggut putih panjang, berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar, namun matanya memancarkan kewibawaan yang membuat Li Shen segera menunduk.
“Li Shen,” suara Tetua Bai terdengar pelan namun tegas. “Kau di sini pagi-pagi sekali.”
“Saya diberi tugas untuk membersihkan aula utama, Tetua Bai,” jawab Li Shen, suaranya kecil namun cukup jelas.
Tetua Bai melangkah masuk, memeriksa sekeliling aula sebelum berhenti di dekat Li Shen. “Hmph. Kau tahu, anak sepertimu hanya memiliki satu kegunaan di sini.”
Li Shen terdiam, tetapi tangannya mengepal erat di gagang sapu.
“Kau hanya berguna sebagai pelayan,” lanjut Tetua Bai tanpa ragu. “Membersihkan aula, mencuci pakaian, membawa makanan. Itu satu-satunya alasan mengapa kau masih berada di sini.”
Li Shen menggigit bibirnya, menahan amarah yang bergolak di dadanya. Namun, ia tahu bahwa membalas hanya akan memperburuk keadaannya. Ia menundukkan kepala lebih dalam. “Saya mengerti, Tetua.”
Tetua Bai mendengus. “Bagus kalau kau sadar. Kau tahu, bukan? Dantianmu yang rusak itu membuatmu tidak akan pernah bisa berkultivasi seperti murid lain. Kau hanya beban di sini. Satu-satunya alasan kau tetap tinggal adalah karena Tetua Yuan bersikeras membawamu ke sini dulu.”
Mendengar nama Tetua Yuan, mata Li Shen sedikit melembut. Dia adalah satu-satunya orang di sekte ini yang memperlakukannya dengan kebaikan. Empat tahun lalu, saat usianya baru 13 tahun, Tetua Yuan menemukannya di desa kecil yang dilanda kelaparan. Kala itu, tubuh Li Shen begitu kurus dan hampir tak bernyawa, hanya bergantung pada kalung hitam yang tergantung di lehernya.
Tetua Yuan membawanya ke Sekte Naga Langit, memberinya makanan, tempat tinggal, dan sedikit rasa aman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, Tetua Yuan sudah tidak ada lagi di sekte ini, dia sudah meninggal satu tahun yang lalu.
Tetua Bai melangkah mendekat, menatap Li Shen dengan dingin. “Ingatlah ini, anak muda. Kau tidak akan pernah menjadi bagian dari para kultivator hebat. Terimalah kenyataan dan lakukan tugas-tugasmu dengan baik. Hanya itu yang bisa kau lakukan untuk membayar kebaikan Tetua Feng.”
Li Shen tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk. Ia menunduk lebih dalam, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa melihat ke arah Tetua Bai lagi.
Tetua Bai mendengus sekali lagi sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan Li Shen sendiri di aula yang kembali sunyi.
Li Shen berdiri di tengah aula, sapu di tangannya berhenti bergerak. Matanya menatap ke lantai yang mengilap, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia mengepalkan kalung hitam yang tergantung di lehernya, jari-jarinya menelusuri ukiran halus di permukaannya.
"Ayah, Ibu... Apakah aku benar-benar tidak berarti? Apakah aku hanya beban di dunia ini?" pikirnya dalam hati.
Namun, di sudut hatinya, ada suara kecil yang terus berbisik, menolak menyerah pada nasib. Li Shen menghela napas dalam, lalu kembali membersihkan aula. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak akan menyerah begitu saja.
"Jika aku hanya memiliki kalung ini, maka aku akan menjaga dan mencari kebenarannya. Suatu hari, aku akan membuktikan bahwa aku bukan hanya seorang pelayan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Cang Yue
Umm ... Menarik~
Meninggalkan Jejak /Plusone/
2025-01-27
2
Mazz Tama
menarik alur cerita nya
2025-01-30
0