Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Between Us
Xavier berjalan perlahan, menyesuaikan langkahnya dengan Luna yang masih sedikit pincang. Sesekali ia melirik ke arah gadis itu, memastikan setiap gerakannya tidak membuat lukanya bertambah parah.
Mereka tiba di depan sebuah ruangan bertuliskan Dr. Xavier Aldrean - OB/GYN Specialist. Dengan satu tangan, Xavier mendorong pintu, lalu menuntun Luna masuk.
Ruangan itu bersih dan nyaman, didominasi warna netral yang menenangkan. Sebuah sofa empuk berada di sudut, dikelilingi rak penuh buku kedokteran dan piala penghargaan yang berkilau di bawah cahaya lampu.
"Berbaringlah di sofa itu," perintah Xavier, suaranya lembut namun tegas. "Aku akan segera kembali."
Luna menurut, melepaskan sepatunya lalu merebahkan diri dengan hati-hati. Sofa itu menyambutnya hangat, empuk dan nyaman, seolah mendekap tubuh lelahnya. Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan denyutan sakit di lengan dan lututnya.
Xavier mengambil sebuah selimut tipis dari lemari, lalu membentangkannya dengan gerakan cepat namun penuh perhatian. Ia menutupi tubuh Luna dengan lembut, merapikannya sampai ke bawah dagu gadis itu.
Luna menatapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang masih pucat. "Kau seperti babysitter yang terlalu protektif."
Xavier hanya menggelengkan kepala kecil, menahan tawa. "Tutup mata dan istirahat. Aku tidak akan lama."
Dengan berat hati, ia beranjak mundur, menatap Luna sekali lagi untuk memastikan semuanya baik-baik saja, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangannya.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Xavier berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit menuju ruang ganti dokter. Operasi berikutnya sudah menunggu—seorang ibu yang harus segera menjalani operasi caesar darurat.
Di ruang steril yang bercahaya terang itu, Xavier berganti pakaian dengan gerakan cekatan. Ia mengenakan scrub hijau, menutupi rambutnya dengan penutup kepala, dan mengenakan sarung tangan steril.
Ketika ia masuk ke ruang operasi, para perawat dan asistennya sudah siap di posisi masing-masing. Monitor berbunyi perlahan, memperlihatkan tanda-tanda vital sang ibu dan janin kecil yang berjuang di dalam perutnya.
Xavier berdiri di samping meja operasi, tatapannya fokus, tubuhnya tegak sempurna. Semua kekhawatiran tentang Luna ia simpan sementara di sudut pikirannya. Saat ini, ada nyawa yang harus ia selamatkan.
Ia menarik napas dalam, lalu memberi aba-aba.
"Scalpel," katanya.
Pisau bedah diletakkan di tangannya. Dengan ketelitian seorang maestro, Xavier mulai membelah lapisan demi lapisan kulit dan otot, mencari jalan menuju kehidupan baru yang menunggu untuk dilahirkan.
Semua rasa lelah, semua emosi bercampur di dada Xavier—tetapi tangannya tetap stabil. Tak sedikit pun gemetar.
Untuk semua orang yang menaruh harapan padanya. Ia harus kuat.
Dan di suatu tempat, hanya beberapa lorong dari ruang operasi itu, Luna tidur dengan damai, tanpa tahu bahwa pria yang baru saja bersumpah untuk selalu menjaganya kini bertarung di antara hidup dan mati seseorang, demi melahirkan keajaiban-keajaiban kecil ke dunia.
*
Xavier melepaskan sarung tangan sterilnya dengan gerakan cepat, membuangnya ke tempat limbah medis sambil menghela napas panjang. Operasi itu sukses. Bayi itu lahir dengan tangis pertama yang memenuhi ruang operasi, membuat semua orang tersenyum lega.
Namun, tidak ada waktu untuk berlama-lama. Pikirannya segera kembali ke Luna.
Dengan langkah panjang, ia meninggalkan ruang operasi, berganti pakaian secepat kilat, lalu setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dadanya berdegup kencang, ada rasa tidak sabar untuk memastikan Luna baik-baik saja.
Saat ia mendorong pintu ruangannya, pemandangan di dalam membuatnya terhenti sejenak.
Di sana, bukan hanya ada Luna, tetapi ada sosok lain—Zora.
Zora duduk berhadapan dengan Luna di dalam ruangan yang sunyi. Obrolan ringan mereka perlahan memudar, berganti keheningan canggung saat pintu terbuka perlahan.
Xavier berdiri di ambang pintu, mengenakan seragam medis yang sedikit kusut. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap tajam, langsung mencari sosok Luna.
Zora refleks berdiri, membenarkan letak tas di pundaknya. "Aku datang begitu dengar kabar tentang kecelakaan itu," katanya cepat, suaranya sedikit bergetar. "Aku... aku khawatir."
Xavier hanya mengangguk singkat. Ia melangkah masuk, tatapannya berpindah dari Zora ke Luna, lalu kembali ke Zora lagi, menjaga ekspresinya tetap tenang.
"Dia baik-baik saja sekarang," ujar Xavier, suaranya pelan, seolah lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada untuk meyakinkan Zora. "Tapi sekarang biarkan dia beristirahat."
Zora menatapnya sejenak, seolah mencari sesuatu—izin untuk tetap tinggal, atau alasan untuk tetap berada di dekat pria itu. Tapi yang ia temukan hanya ketegasan halus di mata Xavier.
Dengan enggan, Zora mengalihkan pandangan ke Luna. Ia tersenyum kecil, senyum yang tidak sepenuhnya mencapai matanya. "Baiklah," katanya akhirnya, nyaris berbisik. "Kalau begitu aku pulang dulu. Kabari aku kalau ada apa-apa."
Tanpa menunggu jawaban, Zora melangkah pergi. Pintu menutup perlahan di belakangnya, menyisakan keheningan yang terasa lebih berat daripada sebelumnya.
Xavier menghela napas dalam-dalam, sebelum berbalik menghampiri Luna.
Luna masih duduk di sofa, ekspresinya sulit ditebak. Ada sesuatu di raut wajahnya—sebuah kegalauan samar yang membuat Xavier nyaris membuka mulut untuk bertanya.
Namun, ia mengurungkan niatnya.
Bukan sekarang, batinnya berkata. Luna butuh ketenangan, bukan interogasi.
Ia berjongkok di depannya, matanya sejajar dengan mata Luna.
"Kau siap pulang?" tanyanya, suaranya lembut.
Luna tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan sesuatu. "Aku sudah siap dari tadi. Kau saja yang kelamaan," candanya, dengan nada ringan.
Xavier menghela napas lega mendengar nada cerianya, walau ia tahu betul, itu hanya tameng.
Ia mengulurkan tangan. "Ayo, aku antar."
Dengan bantuan lembut dari Xavier, Luna berdiri. Meski ia mencoba tampak kuat, Xavier tetap menahan lengannya, seolah takut gadis itu jatuh kapan saja.
Tanpa banyak kata, mereka keluar dari ruang itu, berjalan beriringan di lorong rumah sakit yang mulai sepi.
*
Mobil Xavier melaju perlahan menembus langit malam yang berkilauan, meninggalkan gedung rumah sakit yang kini hanya tampak seperti bayangan samar di kaca spion. Di dalam mobil, suasana awalnya dipenuhi keheningan nyaman. Luna duduk di kursi penumpang, tubuhnya disandarkan santai, tapi sesekali ia melirik Xavier yang fokus menyetir.
Cahaya lampu jalan menyorotkan bayangan halus di wajah pria itu—garis rahangnya tegas, matanya serius, bibirnya mengatup rapat.
Luna mengulum senyum. Ia tidak bisa menahan godaan untuk sedikit mengusili Xavier.
"Kalau aku pingsan di sini," katanya tiba-tiba, suaranya dibuat setengah bercanda, "kau bakal pasang infus darurat sambil nyetir?"
Xavier meliriknya cepat, lalu kembali fokus ke jalan. "Kalau perlu, aku akan parkir di pinggir jalan, dan menggendongmu balik ke rumah sakit," balasnya serius.
Luna tertawa kecil, geli melihat betapa tulusnya ancaman itu.
"Wow, dramatis sekali," godanya. "Kau yakin nggak mau sekalian panggil ambulans dan pasang sirine?"
Xavier menghela napas panjang, seolah benar-benar mempertimbangkan ide itu. "Kalau itu membuatmu aman, aku bahkan mau memblokir seluruh jalanan."
Mendengar itu, Luna tertawa lebih keras, lalu meringis kecil saat gerakan itu menarik lukanya.
Seketika, Xavier melirik khawatir. "Luna?"
"Aku baik-baik saja," jawab Luna cepat, melambaikan tangan meyakinkan. "Hanya... mungkin aku harus menahan diri untuk tidak terlalu lucu malam ini."
Xavier menggeleng pelan, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. Itu pertama kalinya sejak kecelakaan ia benar-benar tersenyum.
"Kau memang berbahaya," gumam Xavier, setengah kepada dirinya sendiri.
Luna memiringkan kepala, pura-pura bingung. "Berbahaya?"
"Ya," kata Xavier, dengan suara sedikit lebih pelan. "Bahkan saat kau terluka... kau masih bisa membuat jantungku berdegup tidak karuan."
Luna terdiam, matanya membelalak, tidak menduga akan mendapat serangan frontal seperti itu.
"Ah... siapa yang sekarang berbahaya," gumamnya, memalingkan wajah ke jendela untuk menyembunyikan senyumnya.
Xavier tertawa pelan, suara rendahnya mengisi ruang mobil yang terasa semakin hangat.
Tak butuh banyak kata di antara mereka malam itu. Cukup dengan keberadaan satu sama lain, perjalanan pulang terasa seperti perjalanan kembali ke sesuatu yang lebih dalam—sebuah tempat di mana hati mereka perlahan-lahan mulai menemukan rumahnya.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor