Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Sementara di rumah,
Malam ini, Sabrina memutuskan keluar ke Supermarket, untuk membeli kebutuhan bahan makanan. Karena esok ia akan bekerja, jadi setidaknya dirumah masih ada makanan yang dapat Haikal olah.
Wanita cantik itu memakai mantel panjang, dipadukan leging panjang. Rambutnya diikat kuda, sambil membawa tas kecil. Malam itu cuacanya agak dingin.
Sambil menatap layar ponsel untuk melihat apa saja yang ia beli, satu tangan Sabrina sibuk mendorong troli berjalan kearah rak sayuran.
"Cabai, wortel ...." begitu mamastikan tidak ada yang kurang, Sabrina kembali lagi mendorong trolinya.
Sabrina tersenyum puas menatap trolinya. Rencananya, esok ia akan membawa bekal saja. Beberapa hari tidak masak, karena Ambar melarangnya, jemari lentiknya sudah begitu gatal.
Samar-samar Sabrina tampak mendengar suara seseorang tengah berdebat. Suara itu tak asing lagi bagi pendengaran Sabrina.
"Kamu keterlaluan, Aruna! Kemana uang yang setiap bulan aku berikan, ha? Bisa-bisanya Mika sampai nunggak bayar SPP?!" cerca Rangga.
Setelah mengantarkan putrinya keacara ulang tahun tadi, Rangga mendapat telfon dari Aruna, agar segera menjemputnya di bandara. Hingga mereka berakhir di supermarket itu.
"Uang yang kamu berikan itu tidak cukup, Mas?!" sanggah Aruna. Ia saat ini berjalan dengan Rangga menuju tempat bahan dapur.
Rangga mendesah kasar. "Aku tidak mau tahu, Aruna ... Mulai sekarang, jatah setiap bulan untuk Mika, hanya 2 juta saja!"
Aruna menghentikan langkahnya. Manik matnya memprotes ucapan Rangga. Mana cukup satu bulan 2 juta, itulah layangan protes dari batin Aruna. Ia yang hobi menghambur-hamburkan uang bersama Gina, kini sport jantung mendengar kata 1 bulan hanya 2 juta.
"Jabatanku diturunkan, Aruna! Aku sekarang hanya pegawai biasa!" tekan Rangga. Wajahnya sangat frustasi, jika mengingat keputusan Bosnya waktu lalu.
'Jadi, Mas Rangga diturunkan jabatannya?' Sabrina yang berdiri dibalik rak chiki, kini membekap mulutnya tidak menyangka.
Namun tidak apa-apa. Rumah, mobil yang biasanya Rangga pakai, itu semua sudah atas nama Sabrina. Dan suatu saat, Sabrina akan merebut kembali apa yang menjadi miliknya. Bukan ia, lebih tepatnya Haikal.
"Aku tidak menerima protes apapun darimu, Aruna! Mau tidak mau, kamu juga harus berhemat mulai sekarang!" kecam Rangga.
'Menyesal sekali aku, sudah berpuluh tahun hidup dalam bayangan semu. Bahkan masa depan putriku saja tidak jelas!' geram batin Aruna.
Eghem!
Keduanya tersadar, sport jantung dua kali, kala melihat Sabrina ada didepan sambil memegang troli.
"Sabrina?"
Bahkan, panggilan Rangga sekarang sudah berubah. Tidak mau berlarut, Sabrina hanya berkata, "Sangat tidak baik sekali membicarakan rumah tangga kalian ditempat umum seperti ini!" Sabrina melipat tangan didada, menatap remeh keduanya. "Jika terdengar orang tidak menyukai kalian, itu sangat menjadi kebahagian tersendiri untuknya! Maka lain kali, harap hati-hati! Tolong beri jalan," Sabrina tersenyum puas, lalu berjalan melewati tengah.
Rangga berbalik arah, mencoba mengejar istrinya. "Sabrina ... Tolong jangan seperti ini!" Lengan Sabrina berhasil tertarik.
"Tanganmu terlalu kotor memegang lenganku seperti ini, Mas Rangga!" Sabrina menarik lengannya dengan cepat.
"Mau menjelaskan apalagi? Jangan samakan aku dengan selingkuhanmu yang tidak tahu malu! Mendebat keuangan ditempat umum." Sabrina tersenyum getir.
"Kumohon pulanglah, Sayang!" terdengar nada memohon, namun cukup menyakitkan saat dijabarkan.
Desahan lemah keluar dari mulut Sabrina. Rasanya ingin mual sekali dipanggil Sayang. Ia bukan lagi anak muda yang sedang kasmaran. Terlalu menjijikan. Mungkin dulu, ia akan berbunga-bunga, bahkan bisa terbang menembus nirwana.
"Suatu saat pasti aku akan pulang, Mas! Itu rumah putraku! Untuk sementara tempati lah, jika kamu tidak memiliki rasa malu! Rawat sebaik-baiknya, sampai aku dapat merebut kembali hakku!" tekan Sabrina.
"Apa maksudmu, Sabrina? Itu rumahku! Dan aku yang telah membelinya!" Jujur saja, Rangga agak geram mendengar itu.
"Tapi perlu kamu ingat, Mas! Rumah, mobil, itu atas namaku semua! Dan itu semua hak Haikal! Aku tidak akan membiarkan, walau secuil pun kamu membaginya denga orang lain! Meski itu putri dari selingkuhanmu!" Sabrina menekan kalimatnya, namun begitu pelan dan tenang.
Tidak hanya Rangga yang mendengar, Aruna juga dapat mendengarnya. Tanganya terkepal, merasa terkalahkan dengan ucapan Sabrina.
Dimanapun, istri sah lah pemenangnya.
Sabrina akan memperjuangkan apapun itu, demi masa depan putranya.
*
*
*
Pambudi Official
Pagi harinya, Sabrina sudah tiba di perusahaan tempat pertamanya bekerja.
Penampilannya sangat sopan. Celana panjang hitam, dan atasan panjang masuk. Entah mengapa, melahirkan atau tidak, tubuhnya masih sama seperti 15 tahun yang lalu. Itulah yang membuatnya tampak lebih awet muda.
"Mbak Sabrina ... Anda diminta keruangan Tuan Rayhan, untuk mengambil laporan!" Sinta yang bertugas sebagai penanggung jawab data keuangan, kini bangkit sambil mengambil lembaran yang Sabrina serahkan.
"Baik, saya masuk dulu!" Sabrina merapikan sedikit pakaiannya. Lalu berjalan melewati meja sekertaris.
Ekor mata Raisa menatap tak suka. Padahal, umurnya jauh dari Sabrina. Ia masih berusia 30 tahun, sementara Sarina sudah 42 tahun. Lantas, apa yang di irikan pada wanita parubaya itu. Mungkin kecantikan Sabrina.
"Permisi ...." Sabrina berjalan tenang masuk kedalam.
Rayhan Pambudi mengangkat pandanganya. Saking terpananya menatap wajah Sabrina, ia sampai lupa apa yang ingin ia sampaikan. Gejolak cinta yang sudah lama terkubur, kini seakan bangkit kembali. Atau mungkin ini yang dinamakan puber ke 2.
"Pak Rayhan? Anda baik-baik saja?" Sabrina melambaikan tangan didepan wajahnya. Dan barulah parubaya itu tersadar.
Mungkin jika dulu saat masih muda, Sabrina akan gugup, keringat dingin menghadapi seorang yang namanya Bos. Apalagi, Bosnya setampan Rayhan. Namun, untuk saat ini, yang terpenting ia bekerja, mendapatkan gaji dan pulang.
"Oh-em ... Ini! Ambilah!" tangan kekar itu menyodorkan lembaran iklan perusahaan, bukan laporan yang harus Sabrina kerjakan.
Sabrina agar mengernyit menerimanya. "Pak Rayhan, ini lembaran iklan?! Sepertinya anda kurang fokus pagi ini!" Sabrina kembalikan lagi lembaran tadi.
"Oh, apa iya?" Rayhan menatap lembaran itu, dan memang salah. Wajahnya tampak gugup sekali. Seumur-umur bekerja, ia baru kali ini ditegur oleh karyawannya sendiri. Dan ... Secantik itu. Jantung Rayhan benar-benar berdetak lebih kencang.
"Saya rasa ... Sepertinya ini laporannya Pak Rayhan," karena terlalu lama login, Sabrina tidak sabar. Ia langsung mengambil laporan itu sendiri. "Kalau begitu saya permisi!" pamitnya, dan langsung berjalan keluar.
Rayhan masih bleng. Otaknya hari ini sama sekali tida dapat ia ajak kompromi. Demi apa, banyak wanita cantik dikantornya. Namun hanya karyawannya tadi, yang dapat membuat ia berasa terbang. Kembali ke masa muda, bahagia saat melihat wanita incarannya.
Spontan, tanganya memegang dada. Jantungnya berpacu lebih cepat. Dan disaat bersamaan, pintu terbuka dari luar.
Edward memicing. Wajahnya antara cemas dan agak geli.
Jika merasakan sakit, tapi bagaimana bisa wajah Rayhan saat ini tengah tersenyum tidak jelas. Bahkan, kehadirannya saja, Bosnya itu tidak sadar.
"Tuan, anda sakit?" Edward sudah berdiri disamping meja.
"Edward ... Tolong hubungi Damian! Jantung saya sepertinya tidak baik-baik saja." Tanpa menatap sang Asisten, Rayhan terus saja memegangi dadanya.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼