Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Keesokan paginya, langit tampak muram, seolah ikut berkabung atas kepergian Paman Kedua.
Embun belum kering di dedaunan ketika halaman depan rumah keluarga Gu dipenuhi warna putih yang sederhana—bukan bendera atau spanduk besar seperti zaman dulu, melainkan kain putih kusam yang disampirkan di depan pintu dan diikatkan di batang bambu seadanya.
Tiada alunan gong atau tangisan profesional, sebab negara melarang praktik-praktik tradisional yang dianggap bagian dari kepercayaan feodal. Dilarang ada perayaan kematian yang terlalu mencolok, dilarang membawa patung-patung atau membakar kertas emas perak terlalu banyak. Namun tetap saja, aroma dupa lembut melayang di udara, memberi nuansa sakral pada pagi yang pilu itu.
Beberapa orang tua duduk bersila di atas bangku kayu rendah, mengenakan pakaian putih lusuh yang dijahit tergesa. Mereka tidak berani mengenakan kain berkabung penuh seperti dulu, takut dicurigai. Tapi wajah-wajah mereka murung, mata sembab, dan satu dua masih menyeka air mata dengan lengan baju.
Di pojok ruangan dalam, jenazah Paman Kedua disemayamkan seadanya. Tidak ada peti mewah, hanya balutan kain putih dan tilam tipis. Di sisinya, Gu Yueqing terus menangis dengan suara serak, duduk di lantai bersama ibunya yang memeluknya erat-erat. Air mata mereka jatuh tanpa suara, tapi kesedihannya lebih terasa ketimbang jeritan.
Orang-orang datang dan pergi diam-diam. Tak ada musik duka, tak ada pelayat dari luar desa. Hanya orang-orang sekitar yang berani datang, memberikan penghormatan terakhir dengan kepala tertunduk dan suara pelan.
Di dekat dapur belakang, Ulan duduk diam dengan pakaian abu-abu pudar. Dia tidak mengenakan putih penuh, karena dia bukan anak kandung dari Paman kedua.
Tapi wajahnya dibuat sesuram mungkin. Bibirnya pucat, tubuhnya tampak lemah, dan dia sesekali memejamkan mata seolah menahan duka yang mendalam.
Dalam hatinya, dia mencatat segalanya. Hari ini, dunia mulai melihat goyahnya keluarga Gu. Hari ini, pintu menuju kehancuran mereka terbuka lebih lebar.
Dia tidak akan pernah melupakan bencana yang dia alami di kehidupan Dia sangat polos waktu itu dan dia mudah dibohongi dan diintimidasi. tapi sekarang dia adalah pribadi yang berbeda.
Jika tidak dikekang oleh peraturan negara dan adat desa, dia lebih suka membantai semuanya dengan racun. habiskan musuh dari akar-akarnya.
Kebencian ini selalu dalam dan tidak bisa dicuci dengan sungai kuning sekalipun.
Di sini ulan menangis mengingat sejarah tenggelamnya di kehidupan sebelum ini.Dia tidak akan lemah hati hanya karena tangisan Kematian untuk Paman kedua.
Meski pemerintah melarang upacara tradisional yang terlalu mencolok, tak ada yang bisa melarang rasa kehilangan. Tak ada yang bisa menahan arus air mata. Dan Ulan tahu, setiap tangisan hari ini,adalah batu loncatan untuk masa depannya yang perlahan akan bangkit.
Tangis pecah tak terkendali di halaman rumah keluarga Gu. Suara tangisan anak-anak Paman Kedua, cucu-cucu lelaki harapan keluarga, paling keras terdengar. Mereka meraung tanpa malu, wajahnya basah oleh air mata dan ingus, sesekali menubruk tubuh ayahnya yang telah kaku.
Di tengah suasana seperti itu, Gu Yueqing, dengan mata bengkak dan wajah penuh kemarahan, tiba-tiba menoleh tajam ke arah Ulan. Tangannya menunjuk penuh kebencian.
"Gu xioulan Itu semua salahmu! Kau ...kau yang mengutuk Ayahku! Kau yang bikin dia mati mudaaaaa!"
Suara itu tajam dan menyayat. Serentak semua mata tertuju pada Ulan.
Nenek gu yang sejak tadi duduk bersimpuh di sisi jenazah langsung bangkit. Mata tuanya membelalak penuh kemarahan, dan tubuhnya bergetar seperti kayu tua yang retak dimakan usia.
"Perempuan sial! Memang kau pembawa celaka! Dari dulu aku tahu tak ada kebaikan dalam dirimu!"
Tanpa ragu dia melangkah ke depan dan memukul Ulan dengan telapak tangannya.
Buk buk buk..
Suara pukulan begitu keras dan berulang-ulang. Pipi Ulan memerah, lalu membiru, tapi gadis itu hanya berdiri diam seperti batu karang di tengah badai. Tidak melawan, tidak menghindar.
Mata Ulan terbuka lebar, namun air mata palsu sudah mengalir tanpa suara, membuatnya tampak seperti gadis malang yang tak bersalah.
Beberapa warga desa yang ikut datang melayat berusaha menenangkan.
"Cukup, cukup sudah nyonya Tua Gu! ini bukan salah dia jika pun kau ingin melampiaskan kemarahanmu kepadanya, Ini bukan saatnya!"
"Dia masih anak-anak!"
Namun nenek malah menjerit histeris, melempar tangan siapa pun yang mencoba menariknya.
"lepaskan aku ...lepaskan aku..Dia ini kutukan! Sudah kubilang dia itu kutukan! Lihat! Baru sehari dia buka suara tentang ‘kematian’ sekarang anakku benar-benar mati!"
"Sial... kau anak yang sial mulutmu begitu bau penuh dengan kematian semoga kau mati tanpa pemakaman..!"
Di sudut halaman, orangtua Ulan hanya terus menangis.Sang ibu mencengkeram baju, mencakar wajah sendiri, sementara ayahnya duduk diam dengan mata kosong. Tak satu pun dari mereka menoleh ke arah anak gadisnya yang sedang dihajar di depan umum.Tidak ada perlindungan, tidak ada pembelaan. Seolah Ulan memang pantas dimaki dan dibenci.
Bibi tua yang tadi malam datang ke rumah, berdiri di dekat pintu, mencoba berkata,
"Tapi... Ulan... semalam sudah memperingatkan kalian, aku mendengar sendiri... dia malah dipukul karena terlalu cerewet... dia bahkan menangis..."
Ucapan itu membuat suasana makin panas.Nenek menoleh padanya dengan mata berapi-api.
"Jadi kalian juga membelanya sekarang? Kalian juga percaya dia gadis baik?"
Ia menggertakkan giginya. "Anakku mati! Mati! Rumah sakit bahkan tak mau bertanggung jawab! Mereka bilang bukan salah mereka! Mereka bilang kami menyuruh orang sakit minum alkohol!"
Tangannya menunjuk ke udara, seolah menantang langit.air mata nya terus jatuh dan dia terlihat sangat menyedihkan sekali.
"Putra kedua ku mati,Kami yang disalahkan! Tapi mereka tetap minta kami bayar! Rp200! Uang itu kami pinjam dari desa! Uang itu hangus! Dan anakku tetap mati! Lalu uang Rp13.000-ku juga hilang!"
Ulan tetap diam di tempatnya.
Ia hanya menangis... dan menunduk. Tangannya gemetar memegangi pipi yang memerah.
"Kami tidak tau, tapi gadis celaka ini mengerti jika Paman nya tidak bisa minum yang di barengi dengan pit penurun darah.Jika saja dia bersikeras...bla bla bla....
Tuduhan terus berhamburan.
Nama Ulan tercemar lebih dalam di hadapan tetangga dan keluarga.
Suasana duka itu berubah hening saat rombongan pejabat desa datang ke halaman rumah keluarga Gu. Kepala desa, Kapten desa dan Sekretaris berjalan pelan mengenakan pakaian sederhana. Beberapa warga yang berkumpul segera memberi jalan dan menunduk sebagai bentuk penghormatan. Suara isak tangis perlahan mereda, bahkan nenek yang sejak tadi menangis histeris kini mendadak diam,menyeka air matanya tergesa-gesa, lalu berdiri membungkuk kecil menyambut.
Kepala desa mengangguk singkat sebelum berbicara,
"Kami turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kepergian Saudara Gu Liang. Desa kehilangan satu orang pekerja keras. Semoga keluarga tabah dan tidak larut dalam amarah maupun dendam, karena kematian adalah urusan surga, bukan manusia."
Semua orang menunduk.
Kapten dan sekretaris ikut menambahkan wejangan singkat tentang pentingnya menjaga persatuan dan tidak saling menyalahkan di masa-masa sulit.
Namun begitu suasana agak tenang, nenek tiba-tiba kembali menangis keras dan dengan suara parau ia mulai mengadu,
"Kepala desa... tolong kami! Rumah sakit kota... mereka ceroboh! Mereka biarkan anakku mati begitu saja!"
Ia menunjuk ke arah jenazah, lalu menoleh tajam ke arah Ulan.
"Dan anak ini! Dia mengutuk! Dia kutukan dalam rumah ini!"
Beberapa warga yang tadi bersimpati mulai bertukar pandang cemas. Suasana menjadi tegang kembali.
Tapi Kepala Desa tak langsung menanggapi. Ia memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas panjang. Setelah itu ia menoleh ke arah dokter desa yang berdiri di belakangnya dan bertanya,
"Apakah benar kemarin gadis ini sempat pingsan karena tidak makan?"
Dokter desa mengangguk pelan.
"Benar, Kepala Desa. kondisinya sangat memprihatin kan. dia sudah lemah dan dipaksa untuk pergi mencuci berendam di sungai. tapi masih diharuskan pergi mencari makanan babi dengan perut kosong,tentu saja ini membuat dia pingsan."terang dokter desa.
"Tadi saya sendiri menerima laporan dari Bibi Zhang, yang melihat langsung. Anak ini bahkan pingsan lagi di dapur semalam , dia jatuh sebelum api menyala. kupikir setelah pulang dari rumah sakit, bukan saja tidak mendapatkan perawatan dia juga tidak mendapatkan makanan seperti yang seharusnya.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah. Itu bukan pura-pura."
Mendengar itu, wajah Kepala Desa berubah. Ia memandangi seluruh keluarga Gu dengan sorot mata dingin.
"Kalian.. membuat anak perempuan mati kelaparan tapi masih meminta dia memasak tanpa makan seharian
Dan itu semua pada saat keluarga kalian bersenang-senang dan minum-minum? Lalu menuduhnya pembawa sial? Menyiksanya di depan umum?"
Tak ada yang menjawab. Bahkan nenek hanya menunduk, bibirnya gemetar.
Kepala Desa melanjutkan, **"Saya malu. Malu sebagai pemimpin. Jika masalah ini sampai terdengar ke luar desa, reputasi kita akan hancur. Negara sudah jelas menyatakan: kesetaraan antara anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak harus dilindungi, bukan diperalat apalagi disiksa!"
Ia menatap tajam ke arah ayah dan ibu Ulan yang berdiri canggung di dekat pintu.
"Saya beri peringatan terakhir. Jika hal seperti ini terulang, saya sendiri yang akan laporkan kalian ke pihak berwajib."
Suara Kepala Desa menjadi lebih dingin.
"Hukumannya tidak berat, mungkin hanya dua hari kurungan. Tapi cukup untuk mempermalukan nama baik keluarga Gu yang kalian jaga mati-matian."
"Kalian semua warga desa, termasuk dengan keluarga gu. menyebut seseorang itu pembawa sial adalah kepercayaan feodal dan memiliki kepercayaan feodal bisa dihukum berat. jika tidak percaya cobalah!!"
Beberapa warga berbisik pelan. Nenek yang tadinya hendak membuka mulut lagi kini menutupnya rapat, wajahnya memucat. Ibu Ulan menunduk, tak berani berkata sepatah pun, sementara ayahnya menggertakkan gigi menahan malu.
Ulan yang duduk di pinggir ruangan dengan wajah masih lebam, hanya menatap lantai. Tapi di balik pandangan kosong itu, hati kecilnya menyimpan kepuasan kecil.
Setelah memberi peringatan keras kepada keluarga Gu, Kepala Desa menarik napas dalam-dalam lalu menyampaikan satu pengumuman lagi.
"Karena situasi saat ini ketat, dan negara menuntut kita semua wajib bekerja , maka prosesi pemakaman harus disederhanakan dan dipercepat."
Semua tahu, Setiap orang wajib bekerja dan setiap tetes keringat dihitung dalam poin kerja.poin yang akan dikonversi menjadi biji-bijian, uang, atau barang kebutuhan dasar di akhir musim panen
"Saya tahu kalian berduka. Tapi ini bukan alasan untuk meninggalkan ladang. Jika ladang kosong, kalian akan kehilangan jatah panen. Keluarga Gu harus tetap menjalankan tugasnya. Pagi besok sudah harus kembali bekerja!"**
Dengan kalimat yang tegas itu, Kepala Desa mengakhiri kunjungannya. Beberapa perangkat desa ikut mengangguk setuju, lalu mereka pergi tanpa memberi kesempatan keluarga menjawab lebih jauh.
Sore itu, prosesi pemakaman dipercepat,Mayat Paman kedua dibalut kain putih lusuh, dibaringkan dalam tandu sederhana dari bambu. Kuburan keluarga Gu terletak di lereng gunung belakang desa, sebuah tempat sunyi yang ditumbuhi semak belukar dan ilalang panjang.
Ulan tidak ikut.
Ia terbaring di rumah, dengan alasan sakit. Wajahnya pucat dan tubuhnya lemas, membuat beberapa bibi yang datang sempat mengangguk kasihan.
Di luar, rombongan pengantar jenazah bergerak lambat menuju gunung. Di depan, terdengar jeritan anak-anak Paman kedua yang meraung tanpa henti, meneriakkan nama ayah mereka di antara tangis dan isakan,
"Ayah... jangan tinggalkan kami!"
"Ayah... kenapa pergi secepat ini!"
Istri Paman kedua,mengenakan pakaian putih sederhana, berjalan sambil memegangi pinggir tandu dan terus menangis, air matanya membanjiri wajahnya yang tampak semakin tua hanya dalam semalam.
Dia sempat roboh dua kali di jalan, tapi tidak ada yang sempat mengangkatnya lama-lama,semua harus terus berjalan karena waktu tidak berpihak.
Nenek Gu duduk di atas batu kecil di dekat jalur gunung, menepuk-nepuk dadanya sambil menangis keras
"Anakku... anakku mati sia-sia! Meninggalkan hutang dan beban! Apa salahku sebagai ibu!""
Beberapa kerabat berusaha menenangkannya, namun kata-katanya tak henti mengalun dalam jeritan yang memekakkan telinga. Warga desa yang ikut mengangkat jenazah tampak lelah, tapi tak berani mengeluh.
Setelah prosesi ini, mereka masih harus mengejar kerja di ladang,menggali, menanam, atau mengangkut air—agar poin kerja mereka tidak menurun.
Di sepanjang lereng, matahari sore menyinari tanah merah yang basah dan lembek.Ketika liang kubur selesai digali, tubuh Paman kedua diturunkan dengan pelan. Tak ada doa panjang, tak ada dupa atau ritual ,semuanya berlangsung cepat, sunyi, dan penuh tekanan.