🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
#22
"Mama … Hilda itu siapa?" Tanya Reva polos.
Apa yang akhirnya Aldy khawatirkan akhirnya terjadi, Reva benar benar menanyakan siapa orang yang baru saja disebut oleh Mamanya.
Disaat Aldy bingung memikirkan jawaban, widya tiba tiba berseloroh.
"Hilda itu, mantan Istri Papa kamu, sekaligus Ibu dari Kakak tirimu." Jawab Widya yang sudah tak mampu lagi menyembunyikan suasana hatinya.
Ckiiiitttt …. mendadak Aldy menginjak rem mobilnya, hingga mobilnya berhenti secara tiba-tiba, dan bunyi klakson mobil-mobil yang ada di barisan belakang pun mulai bersahutan, namun Aldy mengabaikannya.
Ia menatap tajam wajah wajah cemburu istrinya, semakin kesini rasa cemburu Widya semakin tak masuk akal, dan mulai membuatnya gerah.
"Aku tak pernah menyebut-nyebut soal anakku dari Hilda, dari mana kamu mengetahuinya? apa kamu memata-matai ku selama ini?"
Widya membungkam mulutnya sendiri, tanpa sadar ia membuka topeng yang yang selama ini ia tutupi, rasa cemburu dan dengki, membuatnya rela melakukan apa saja, termasuk fakta tentang anak laki-laki Aldy dari mantan istri pertamanya.
Hal yang wajar, jika Widya melakukan hal itu, jika keluarga besar Aldy, terutama kedua mertuanya mengetahui keberadaan anak laki-laki Hilda, maka Reva terancam digeser dari posisi pewaris tunggal, apalagi bayi laki-laki yang Widya dan Aldy nantikan belum kunjung hadir.
Jika sudah demikian, Widya hanya bisa menyalahkan kedua orang tuanya yang dahulu terburu-buru menikahkan dirinya dengan pria lain. Pria yang saat itu terlihat lebih mapan dari sisi finansial ketimbang Aldy, yang mencoba berdiri dengan kedua kakinya sendiri.
"Em … i … tu … aku …" Widya tergagap, tak siap dengan situasi yang tanpa sengaja ia ciptakan sendiri.
"Jawab Wie … darimana kamu tahu, dan sejak kapan?!!" sentak Aldy, ia bahkan lupa bahwa Reva ada di dekatnya, dan pasti merekam semuanya.
"Huaaa … Papa kenapa marah-marah sama mama." Tiba-tiba Reva menangis keras, gadis kecil itu begitu terkejut ketika mendengar Papa yang sangat ia rindukan, membentak Mamanya.
Aldy mengacak rambutnya kesal, ia memukul bundaran setir, karena Widya tak kunjung menjawab, "Nanti kita selesaikan di Hotel." pungas Aldy, karena ia tak ingin kehilangan jejak mobil Irfan, sama sekali tak ingin mencoba menenangkan Reva.
"Mas … Aku …"
"Diam Wie!! tenangkan Reva !! Masalah ini belum selesai, nanti kita bicarakan di hotel, saat ini ada hal yang lebih penting dari masalah kita, yaitu keberadaan Ammar anak kandungku." Dengan wajah merah menahan amarah Aldy memotong perkataan Widya, kemudian kembali melajukan mobilnya, sebelum kehilangan jejak.
Masih dengan hati dongkol luar biasa, Widya menuruti perkataan suaminya, berusaha sebisa mungkin menenangkan Reva, agar gadis itu tak terus-terusan menangis.
Setelah hampir 30 menit mengemudi, mobil Irfan memasuki area perkebunan, ia memarkirkan mobilnya di antara deretan mobil Box yang siap mengantarkan pesanan makan siang, serta ke beberapa tempat tujuan lainnya.
Aldy menatap tulisan HK Catering pada mobil box serta papan nama berada persis di sisi papan nama perkebunan. barulah ia menyadari siapa pemilik HK Catering rupanya adalah Hilda Khairunnisa, mantan istrinya sendiri. Seandainya dulu ia tak melarang Hilda memulai usaha rumahan, tentu … Ah sudahlah, semua sudah berlalu, Aldy hanya bisa beristighfar.
Dari kejauhan, Aldy melihat bagaimana kedatangan Hilda dan Irfan disambut hangat oleh semua orang. mereka bahu membahu menolong Hilda yang tengah kerepotan membawa barang-barang di tangannya, sementara Irfan menggendong Ammar walau ada seorang laki-laki yang -Aldy kenali sebagai sopir yang tempo hari menjemput ammar- membawakan kursi roda kecil.
Sungguh keluarga yang hangat, membuat Aldy iri, karena selama ini tak ada kehangatan semacam itu di dalam keluarganya.
Hingga beberapa menit Aldy hanya mampu mengeratkan genggaman tangannya di bundaran setir, ia iri, sungguh iri karena tak bisa memeluk anaknya sendiri.
Irfan kembali keluar seorang diri, ia menghampiri mobil yang Aldy tumpangi.
Widya tercengang menatap Irfan, yang baru ia tahu sebagai suami Hilda kini, wajah teduh dan kalem Irfan sungguh jauh dari kata cemburu, ia bahkan terlihat memasang aura kebapakan yang membuat siapa saja tergoda.
"Mari silahkan, aku sudah bilang pada Hilda bahwa kamu akan ikut kami kesini." Irfan menyambut kedatangan Aldy dan keluarganya dengan ramah.
"Terima kasih Fan, ini sangat berarti untukku." jawab Aldy, "Oh iya … ini Widya istriku, dan ini Reva putri kami." Aldy mengenalkan istri dan anaknya pada Irfan.
Irfan mengangguk dan segera melipat kedua tangannya di dada, agar Widya tidak salah paham karena dirinya yang tak mau bersalaman dengan yang bukan mahrom.
Dan benar saja Widya tercengang karena Irfan menolak bersalaman dengannya, 'Sombong' Widya membatin.
Irfan memimpin di depan, sepanjang perjalanan menuju rumah utama, mereka disuguhi dengan ragam warna warni sayuran yang menyejukkan mata, serta puluhan pekerja yang sibuk mengurus tanaman.
"Fan … kata mereka cucu Ibu sudah datang." Bu Ratih tergopoh-gopoh datang dari rumah kaca, tempat bibit sayuran di semai.
"Iya, Bu … sudah di dalam sama Bundanya." jawab Irfan santun seperti biasa, "Oh iya Bu … kenalkan, Ini Pak Aldy … " Irfan melanjutkan kalimatnya dengan berbisik, agar tak terdengar oleh putri dari Aldy dan Widya.
Mendengar bisikan Irfan, membuat air muka Bu Ratih berubah, ia berbalik dan diluar dugaan mengambil seember air bekas mencuci sayuran kemudian menyiramkannya ke kepala Aldy.
"Hei … nenek tua!! baju mahal nih?!" Widya segera bereaksi keras ketika cipratan air tersebut juga mengenai pakaian barunya.
Mendengar reaksi sang istri Aldy pun cukup terkejut, pasalnya mereka sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, dan seharusnya mereka hormati. "Wie … jaga bicaramu." bisik Aldy.
"Wanita tua itu yang mulai duluan Mas." jawab Widya.
"Ya tapi kan aku yang disiram, bukannya kamu." Aldy masih terus membela Bu Ratih, membuat Widya semakin kesal.
"Mas kok malah belain dia sih? aku tuh istri kamu, Mas."
"Iya, Aku tahu, tapi beliau orang tua yang harus dihormati, tak mungkin beliau melakukan itu jika Mas tak dianggap bersalah."
Sementara Irfan yang juga tak siap dengan sikap Bu Ratih, segera memeluk Ibundanya, "Bu … sabar Bu, Pak Aldy tamu kita, seharusnya kita memuliakannya, bukan memberinya sambutan semacam ini."
"Biar saja, kalau dia anak Ibu, sampai kapanpun Ibu tak akan memaafkan anak seperti dia." Jawab Bu Ratih yang juga masih emosional.
"Tapi kita tak berhak menghakimi nya, Ada Allah yang sudah tahu takaran hukuman bagi setiap hambanya."
"Astaghfirullah …" ucap Bu Ratih beberapa kali.
Kendati demikian, Bu Ratih tetap tak bisa memaksakan senyum di wajahnya. Ia sudah teramat kesal kala mendengar kisah masa kelam rumah tangga Aldy dan Hilda.
"Om …" tiba tiba terdengar suara Ammar dari dalam rumah, ia duduk di kursi roda yang saat ini didorong oleh sang Bunda.
Aldy yang tengah mengeringkan kepala dan tubuhnya, segera menoleh, dan tersenyum lebar menatap wajah Ammar yang juga tengah tersenyum ke arahnya.
Ia berlutut di hadapan Ammar, tak peduli dengan keberadaan keberadaan Widya dan Reva. "hallo jagoan kecil, maaf Om datang terlambat." sapa Aldy dengan hati perih menahan tangis, kala menyebut dirinya Om, padahal seharusnya Ammar memanggilnya Papa.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg