Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Nisa melirik ke arah belakang. Dari kaca spion motornya, ia masih bisa melihat sosok Azhar berdiri di teras bersama kedua anaknya, Balqis dan Berlian. Tatapan mereka mengikuti kepergiannya, seolah ada sesuatu yang tertinggal di udara.
Hatinya tercekat, tapi bibirnya berusaha tetap tersenyum.
“Maafkan saya, Mbak Dian,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. “Saya harus kembali melakukan hal itu di dalam rumah kalian. Saya nggak sanggup menahan rasa rinduku pada Mas Azhar… sudah tiga minggu kami nggak melakukannya. Kamu berhak atas dirinya, Mbak, saya pun sama. Tapi saya nggak bakalan menuntut lebih. Hanya meminta hak saya… secuil itu saja.”
Air matanya menetes tanpa ia sadari, terhempas oleh angin pagi yang menampar wajahnya. Namun di balik air mata itu, raut wajahnya berseri-seri, seakan puas karena sudah menunaikan haknya.
“Saya bukan egois… bukan maruk ingin menguasai tubuhnya Mas Azhar,” cicitnya sambil menatap langit biru.
“Saya cuma istri yang ingin merasakan kasihnya. Saya nggak akan pernah meminta status saya berubah dari istri siri jadi istri sah. Itu nggak akan pernah saya lakukan. Saya cukup di sini saja, di tempat yang Allah sudah tetapkan untuk saya.”
Di teras rumah, Azhar masih memandangi motor Nisa yang perlahan menghilang dari pandangan. Senyuman tersungging di bibirnya. Senyuman yang hanya muncul setiap kali ia teringat dengan istri keduanya yaituNisa.
“Entahlah…” Azhar menghela napas panjang. “Kenapa aku merasa Nisa lebih baik dari Dian… dari segala-galanya. Aku tahu mungkin aku salah besar. Tapi… aku nggak bisa memungkiri. Dengan Nisa, aku nggak pernah bisa berhenti meminta sejak awal kami menikah sampai sekarang. Sedangkan dengan Dian hanya manis di awal. Sisanya penuh pertengkaran dan amarah yang nggak jelas.”
Ia mengusap wajahnya, lalu menoleh sekilas ke dalam rumah. Bayangan masa lalunya pun menyeruak kejadian naas yang merubah seluruh jalan hidupnya.
---
Beberapa bulan lalu, sore yang seharusnya tenang malah berakhir dengan malapetaka.
Azhar kala itu berjalan di sebuah kampung kecil, matanya terpaku pada pohon kelapa yang penuh dengan buah lebat. Dorongan egoisnya membuat ia nekad memanjat, meski sudah diperingati warga.
“Pak, jangan panjat sendiri! Bahaya itu,” seru salah seorang warga.
“Tenang saja, saya terbiasa kok,” jawab Azhar penuh percaya diri sambil menenteng parang.
Namun takdir berkata lain. Kakinya terpeleset, tubuhnya terhempas ke aliran kali. Tangannya ikut tersabet parang yang ia genggam. Darah mengalir deras. Ia terguling hingga terbawa arus, tak sadarkan diri.
Dan di situlah takdir mempertemukannya dengan Nisa gadis sederhana yang menolongnya tanpa ragu. Sejak saat itu, rentetan salah paham, desakan Pak Torik dan Pak Daud, serta kondisi Azhar yang tak berdaya membuat ia akhirnya menikah untuk kedua kalinya.
Azhar menatap kosong. “Aku nggak pernah menyesali keputusan malam itu untuk menikahimu, Nisa. Kamu pantas jadi istriku. Tapi sampai kapan kita harus begini? Terjebak dalam pusaran yang nggak mudah…”
Hari-hari berikutnya, Nisa rutin datang membawa makanan untuk Azhar dan anak-anaknya. Anehnya, Balqis dan Berlian justru terlihat semakin akrab dengan Nisa dibanding ibunya sendiri. Dian sering memandang heran.
“Alhamdulillah… masakan kamu itu selalu enak, Nisa,” puji Dian sambil mengunyah.
“Kapan-kapan ajarin aku, ya. Kasihan Mas Azhar, kalau aku pulang ke Makassar pasti selalu beli makanan di luar. Aku… ya kamu tahu sendiri, cuma bisa masak nasi sama mie telur ceplok.”
Nisa tersenyum kecil sambil mengangguk. “Insha Allah, Bu Dian. Kalau saya ada waktu senggang, saya ajarin.”
Hari itu Nisa tak hanya memasak, tapi juga membereskan rumah, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan menyetrika pakaian Dian. Anehnya, ia melakukannya dengan hati ringan, seakan itu adalah bagian dari dirinya.
Dian yang duduk di sofa sambil merapikan kuku memandangnya penuh rasa bersalah.
“Aku itu… bersyukur banget mengenal kamu, Nisa. Jujur, aku ini istri yang nggak bisa apa-apa. Mas Azhar selalu bilang, semua yang aku kerjakan itu nggak pernah beres. Kadang aku sedih banget aku merasa gagal jadi istri.”
Nisa hanya tersenyum, melanjutkan setrikaan tanpa berkomentar panjang.
“Makanya Mas Azhar sering bantu-bantu kerja rumah kalau pulang ke Makassar,” lanjut Dian.
“Aku tuh nggak pernah disuruh kerja berat sama orang tuaku. Katanya fokus kuliah aja. Eh, ujung-ujungnya malah cuma jadi ibu rumah tangga. Padahal aku pengen kerja di kantoran kayak teman-teman kuliahku dulu…”
Nisa berhenti sejenak, menatap Dian dengan lembut. “Bu Dian kadang rezeki kita memang nggak sama. Bukan berarti nggak berharga. Jadi jangan merasa gagal. Mas Azhar mungkin cerewet, tapi saya yakin, di hatinya tetap ada rasa hormat buat Bu Dian.”
Dian terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka perempuan yang madunya tanpa sepengetahuannya justru memberi kekuatan.
---
Pagi itu, Nisa sedang menjemur pakaian di belakang rumah dinas. Azhar baru pulang dari tugas malam, matanya langsung menangkap sosok Nisa.
“Nisa…” suaranya lirih, nyaris bergetar.
Nisa menoleh dan tersenyum. “Mas, baru pulang? Saya cuma menjemur sebentar, nanti langsung pulang.”
Azhar mendekat, nadanya tegas. “Kenapa kamu yang menjemur? Mana Dian? Kamu itu istriku, Nisa. Bukan pembantu.”
Nisa meletakkan jemuran, lalu menatap Azhar lembut. Ia meraih tangan suaminya yang mengepal.
“Mas… saya ikhlas. Saya nggak peduli orang mau bilang apa. Selama saya bisa berbakti, saya bahagia. Jadi jangan marah sama Mbak Dian. Jangan pernah.”
Tatapan Nisa meredakan bara di dada Azhar. Ia akhirnya menghela napas panjang, menyerah pada keteguhan istrinya.
---
Tapi pagi itu, ada saksi lain. Faris seorang perwira muda yang tinggal tak jauh dari rumah dinas itu melihat Nisa. Ia mendekat dengan langkah hati-hati.
“Mbak Nisa… boleh saya tanya sesuatu?”
Nisa menoleh sambil tersenyum. “Iya, Pak Letnan?”
“Kalau boleh… apakah kamu bersedia jadi ART paruh waktu di rumah saya juga? Nanti setelah saya berangkat kerja, kamu bisa datang. Saya akan bayar lebih banyak dari Pak Azhar dan Bu Dian.”
Nisa terdiam, matanya berkedip bingung. Namun sebelum sempat menjawab, suara berat tiba-tiba terdengar dari belakang.
“Alfathunisa Husna… sudah menikah,” ucap Azhar datar, menatap tajam ke arah Faris. “Kalau mau meminta sesuatu… mintalah izin dulu pada suaminya.”
Faris terperangah. “Suaminya?!” Matanya berganti-ganti menatap Nisa dan Azhar.
Nisa menunduk, wajahnya memerah, sementara Azhar berdiri tegak, tegas, sekaligus melindungi.
Faris menatap Nisa dengan tatapan penuh harap. “Mbak Nisa… saya serius. Tolong pertimbangkan. Saya bisa menggaji lebih layak. Lagian kamu kelihatan telaten dan rajin banget. Saya butuh orang seperti kamu di rumah.”
Nisa tersenyum kaku, tangannya masih memegang kain jemuran yang setengah basah. “Pak Letnan, saya… saya harus pikir-pikir dulu. Saya sudah punya banyak kesibukan…”
Belum sempat kalimatnya tuntas, suara langkah berat terdengar dari belakang. Azhar baru saja keluar dari dalam rumah. Tubuhnya tegak, wajahnya dingin, matanya tajam menatap Faris.
Sejenak suasana membeku. Faris langsung berdiri tegak, memberi hormat. “Siap, Pak Mayor!”
Azhar tidak segera membalas. Tatapannya justru jatuh pada Nisa, lalu bergeser pada Faris. Dadanya terasa sesak. Kata-kata yang ingin meluncur dari mulutnya terhenti di kerongkongan.
“Dia istriku, Faris. Istriku, Alfathunisa Husna. Jangan sekali-kali kau berani meminta sesuatu darinya tanpa seizinku.”
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor