JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN🙏🏻
Ekonomi membuat Rian yang sudah memiliki istri bernama Elsa, menghalalkan segala cara untuk bisa menafkahi istri dan anaknya yang masih balita.
Rian mengaku memiliki job di luar daerah, dan jarang sekali pulang ke rumah. Pada nyatanya, Rian hanyalah seorang mainan dari seorang wanita kaya, yang memintanya untuk menjadi teman tidurnya.
Apakah Rian akan terus melakukan hal ini, atau kembali kepada istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisyah az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reaksi Elsa
Hakim bersikeras ingin meminta waktu Elsa walau cuma sebentar saja. Namun Elsa enggan bicara berdua saja selama Rian tidak ada di rumah.
Elsa menghindari rumor buruk tentang dirinya lagi. Ia tidak melakukan apa-apa saja selalu kedapatan menjadi korban fitnah jahat tetangga, apa lagi kalau sampai ada yang melihat Elsa berdua saja dengan pria selain Rian, suaminya.
"Tidak masalah bicara di teras." Hakim menunjuk ke luar pintu.
"Ya sudah." Elsa melangkah ke luar pintu lebih dulu sebelum disusul oleh Hakim di belakang.
Elsa duduk di salah satu kursi, ia mencoba tenang biarpun penasaran juga. Biasanya Hakim kemari untuk bertemu dengan Rian. Namun kali ini berbeda, Elsa merasa Hakim semakin kelihatan berbeda beberapa hari terakhir ini.
"Kamu bisa bicara sekarang, Kim." Elsa meletakkan kedua tangan di atas pangkuannya. "Apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?" tanyanya.
Hakim mengambil duduk di kursi—paling dekat dengan pintu. Hakim kelihatan gugup seakan ada hal penting yang akan disampaikan oleh pria itu. "Begini, Sa ... aku ingin mengatakan—tunggu. Aku angkat telepon dulu." Satu tangan Hakim terangkat ke udara, mengisyaratkan bahwa percakapan mereka harus berhenti sejenak karena ponsel di dalam saku Hakim berdering.
Air muka Hakim berubah dalam hitungan detik kala menemukan nomor kontak di ponselnya. Elsa mengamati wajah Hakim, namun pria itu buru-buru beranjak dari kursinya, setengah lari menuju ke arah samping rumah untuk mengangkat telepon dari seseorang.
Langkah Hakim terlalu terburu-buru jika hanya untuk mengangkat panggilan telepon dari Mak Ratih. Lagi pula kalau orang tuanya yang menelpon, untuk apa Hakim sampai sembunyi-sembunyi segala?
Hakim menengok ke sana kemari sebelum menggeser layar ponselnya. Ia memastikan bahwa tidak ada satu orang pun yang akan mendengar obrolannya dengan si penelpon.
Jantung Hakim rasanya jatuh meluncur bebas. Panggilan telepon itu berasal dari kota.
"Aku angkat atau tidak, ya? Jangan-jangan dia sudah tahu tentang keberadaanku." Hakim menggenggam ponsel di tangan kanannya. Sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.
Panggilan telepon tersebut pun mati. Hakim menghela napas panjang. Namun ketenangan Hakim tidak bertahan lama karena sebuah pesan—berasal dari nomor tadi—muncul di layar ponselnya. Menampakan sebuah pesan bernada ancaman.
"Angkat teleponku, atau aku akan mendatangi ke kampungmu—lalu membongkar rahasia kotormu kepada Ibu dan seluruh tetangga?"
Hakim lantas keringat dingin setelah membaca pesan tersebut. Hakim meraup wajahnya kasar, seketika ia terserang rasa panik.
Tidak berselang lama panggilan masuk pun muncul. Lagi-lagi berasal dari nomor yang tadi.
Padahal Hakim telah mengganti nomor berkali-kali demi menghindari orang tersebut. Namun sosok itu selalu berhasil menemukan dirinya, menghantui Hakim setiap hari hingga ia merasa hidupnya sudah tidak tenang lagi.
"Halo," cicit Hakim setelah benda persegi itu menempel ke telinganya.
Sosok itu tertawa penuh kemenangan. Hakim menarik ponselnya menjauh untuk beberapa saat. "Kenapa harus diancam dulu baru diangkat?!" bentaknya.
"Bukan begitu ..." Hakim berkeringat dingin. "Aku sedang sibuk membantu usaha catering ibuku di kampung. Jadi, aku jarang pegang ponsel."
Sosok itu mendengus tanda tidak percaya dengan alasan Hakim. "Jangan banyak alasan kamu, Kim! Kalau kamu tidak segera pulang ke kota menyelesaikan masalah di antara kita, aku akan bongkar semua kebusukan kamu selama ini! Coba bayangkan bagaimana perasaan Ibu kamu kalau tahu anaknya sebenarnya bekerja sebagai—"
"Okay! Okay," sela Hakim cepat. "Aku pulang minggu depan kalau begitu!"
"Tidak! Tapi tiga hari dari sekarang," timpal si pria.
Tiga hari terlalu singkat untuk mengumpulkan keberanian bagi Hakim. Pria itu sangat menakutkan, kejam, tidak segan-segan melukai siapa saja yang telah berkhianat. Salah satunya adalah Hakim.
"Kamu tahu kan Kim, kalau aku tidak pernah main-main dengan ancamanku?" gumamnya.
"Iya, aku tahu. Aku akan pikirkan lagi untuk pulang cepat. Aku harus menbujuk ibuku dulu, karena aku terlanjur bilang akan pulang bulan depan ..." Di akhir kalimat, Hakim mengembuskan napas panjang. Kedua bahu Hakim turun dengan lesu.
Hakim segera mengakhiri panggilan dari pria itu. Ia sudah kenyang diancam oleh orang itu. Alasan Hakim pulang ke kampung selain merindukan ibunya, tempat ia dilahirkan, Hakim juga tengah dalam pelarian dari seseorang yang ada di kota. Hakim sulit mencari jalan keluar. Otaknya buntu. Maka dari itu ia kabur diam-diam.
"Sa, maaf ya aku harus pulang sekarang. Tadi ibuku yang menelpon." Hakim kembali ke teras rumah Elsa. Di sana perempuan itu masih setia menunggu dirinya.
"Iya, Kim. Salam buat Mak Ratih, ya."
"Okay, Sa." Hakim melambaikan tangannya ke udara. "Aku pamit pulang ya."
***
Di zaman sekarang sangat susah mencari pekerjaan. Hal itu dirasakan oleh Rian. Ia telah berkeliling mencari pekerjaan—terserah apa saja asal Rian bisa memberi makan untuk anak dan istrinya.
Lelah mencari pekerjaan namun tidak kunjung dapat, Rian iseng-iseng pergi ke pasar di dekat rumahnya. Kebetulan ada salah satu toko beras yang tengah mencari karyawan baru.
"Saya bisa kerja apa pun, Ko! Saya kuat angkat-angkat barang," terang Rian penuh harap.
"Ya sudah. Besok kamu bisa mulai kerja," kata pemilik toko beras.
"Sungguhan, Ko?" pekik Rian senang.
"Iya," jawabnya. "Datangnya jangan sampai telah!" peringatnya kepada Rian.
"Baik, Ko! Terima kasih banyak," tutur Rian senang bukan main.
Rian pamit kepada Ko Rio, selaku pemilik toko yang akan memperkerjakan Rian di tokonya.
Upah yang akan diterima Rian tidak bisa dibilang besar atau kecil. Ia akan menerima gajian setiap harinya. Rian bersyukur dalam hatinya. Walau upah yang diberikan Ko Rio tidak banyak, hanya cukup untuk makan sehari-hari sedangkan Rian masih memiliki tanggungan utang kepada rentenir.
Rian pulang dengan perasaan tidak sabar memberitahukan hal ini kepada Elsa di rumah, Rian segera pulang. Mendengar Rian telah diterima bekerja, istrinya pasti akan sangat senang.
Namun, realita selalu menghancurkan ekspetasi. Dikira Rian, Elsa akan senang, memberinya ucapan selamat karena akhirnya Rian mendapat pekerjaan tetap.
Elsa menunjukkan gerak-gerik biasa. Bahkan ekspresi wajahnya cenderung kecewa.
Dari sudut pandang Elsa, ia bukannya tidak bersyukur. Tapi apa Rian tidak mencari pekerjaan yang lebih bagus dari sekadar mencari tukang kuli panggul di pasar? Elsa bisa menebak bahwa mereka akan hidup serba kekurangan walau Rian telah memiliki pekerjaan.
"Ada apa sama wajah kamu, Sa?" tanya Rian mengamati air muka Elsa.
"Tidak apa-apa!" sahut Elsa ketus. "Sudah, Mas Minggir. Aku mau buat susu untuk Faqih."
Harapan Elsa, Rian mendapat pekerjaan yang lebih kayak daripada sekadar kuli panggul. Kalau Rian hidup sendiri, tidak masalah. Tapi Rian kan sudah berkeluarga. Bahkan putra mereka berusia tiga bulan.
Apa upah menjadi kuli panggul cukup untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari? Elsa pikir tidak. Tidak akan cukup. Pada akhirnya mereka akan tetap miskin, dan dipandang sebelah mata oleh tetangga.
BERSAMBUNG....
Tambahan extra part kak👍👍☺️☺️