Kenapa Harus dia?

Malik dan Lastri kompak tertawa melihat anak nya berubah jadi merajuk saat membahas tentang dirinya yang juga sama seperti Nisa, gagal menikah.

“Gimana cerita nya mas?”

“Sudahlah.. kamu gak perlu tahu Nis.. nanti sepanjang jalan kamu ngeledek mas terus!”

“Ya ampun.. ya gak lah mas.. aku tahu rasanya gimana.. mana mungkin aku meledek kamu!”

“Pacar mas mu ini nikah sama orang lain Nis, karena waktu itu Gibran belum kerja, realistis sih dia.. cari suami yang jauh lebih kaya,” jawab Malik yang langsung di hadiahi tatapan maut putra nya.

“Bapak.. bapak itu sebenarnya bapak ku atau bapak nya Nisa?” dengus Gibran kesal.

“Ya elah Gibran.. udah besar gitu masih ngambek aja.. udah lah, perempuan itu masih banyak yang lain, kamu tahu gak, kalau misal ni kita udah yakin banget kalau orang itu lah yang cocok mendampingi kita seumur hidup, lantas yang kuasa memilih orang lain? kita bisa apa?” kata-kata Malik barusan bukan hanya membungkam mulut Gibran, tapi juga Nisa.. benar juga.. selama ini ia merasa Allah gak adil, tapi disisi lain.. Allah juga baik kan, membuka tabir kepalsuan Yudi selama ini, tabir kepalsuan??? kok jadi teringat sama lagu Haji Rhoma irama🙄

“Tuh dengerin.. Jadi buat kalian berdua, jangan menganggap dunia itu berhenti kalau orang yang kita pikir selama ini jodoh kita ternyata mengkhianati kita.. dunia gak sesimple itu nak.. bangkit, tata hidup kalian lagi.. Ibuk yakin..Allah itu sudah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik untuk mendampingi kalian..” sahut Lastri dengan bijak dan tenang.

Nisa hanya mengangguk, dia sendiri belum yakin apa yang akan terjadi selanjutnya, begitu juga dengan Gibran.

*

Pagi hari..

Nisa sudah tiba di cafe pagi-lagi.. bahkan cafe juga belum mulai buka, ia sengaja datang cepat hari ini.. Karena semalam Naima mengiriminya pesan kalau hari ini ia berhalangan hadir, adik nya masuk rumah sakit, jadi ia menemani ibunya menjaga adiknya dirumah sakit. Ini juga menjadi hari pertama Nisa menghandle kasir sendirian tanpa Naima.

“Pagi Nis..” Sapa koki cafe tersebut, Johan.

“Pagi kak..”

“Semalam belum sempat kenalan loh, kamu anak baru itu kan?”

“Iya kak, baru kemarin aku masuk!”

“Oh.. aku Johan!” ucap Johan seraya mengulurkan tangannya pada Nisa.

“Nisa..” jawab Nisa menerima uluran tangan dari Johan. Rupanya perkenalan itu di lihat oleh Ilyas yang sudah memperhatikan interaksi kedua nya sejak tadi, entah kenapa hatinya sedikit terusik dengan keramahan Johan pada Nisa, padahal selama ini ia tak peduli jika ada karyawan baru, ia juga masa bodoh jika ada yang terlibat cinta lokasi dengan sesama karyawan, asal tak melewati batas dan tahu norma , semua nya masih bisa di anggap biasa oleh Ilyas.

“Saya permisi dulu kak mau siap-siap!”

“Iya silahkan,” Saat Nisa berbalik badan , ia terkejut karena Ilyas sudah ada dibelakang mereka, Nisa menundukkan pandangan nya dan memberikan senyum canggung pada atasannya tersebut.

“Mari pak..” Ilyas hanya menjawabnya dengan anggukan kepala nya.

Hari itu dilewati dengan lumayan ramai pengunjung, apalagi saat jam makan siang, bisa dibilang cafe begitu penuh, tak salah jika Ilyas membuka cafe yang letaknya sangat pas itu, selain tempat yang nyaman, rasa masakan nya juga sangat enak. Joha selaku koki sangat pandai mengolah masakannya.

“Nis.. sudah makan siang belum?” tanya Johan dengan sedikit berbisik disela-sela waktunya, sejak tadi ia memperhatikan Nisa yang sepertinya begitu sibuk karena hari ini ia sendirian berada disana.

“Belum kak, rame banget soal nya.. gak berani buat ninggalin nya!”

“Ya ampun Nisa.. kalau kamu mikirnya gitu, kamu mau gak makan seharian, ayo makan dulu.. aku udah bikinin kamu soto.. biar seger!”

“Wah.. makasih loh kak.. tapi ini gimana kasir nya?” Ilyas yang mendengar itu sebenarnya ingin menawarkan bantuan, tapi ia bingung harus bicara apa? sebab kemarin sore Nisa sudah menolak dirinya untuk mengantar kan nya pulang.

“Pak Ilyas...Bisa tolong gantikan Nisa sebentar, kasihan dia pak belum makan siang?”

“Oh...kamu belum makan siang Nis?” tanya Ilyas basa basi, padahal sejak tadi ia tahu kalau Nisa memang belum makan.

“Belum pak! soal nya kan dari tadi rame banget.. saya takut ninggalin nya!” jawab Nisa jujur.

“Kenapa kamu gak bilang, udah makan dulu sana.. minta aja sama Johan...makan siang disini free, kamu gak harus beli dari luar.. kecuali kalau kamu memang pengen makanan dari luar,”

“Iya pak, kebetulan tadi kak Johan udah nyiapin soto, saya izin makan dulu ya pak?”

‘Pak... pak... giliran manggil aku aja bapak! sama Johan kakak! gak adil banget sih kamu Nis!’ gerutu Ilyas dalam hati. Entah kenapa hatinya merasa kesal.

*

*

“Mas, baju ini bagus gak buat aku?” tanya Desi yang menunjukan sebuah gamis panjang lengkap dengan hijab nya, karena hari ini mereka akan ada acara pulang kerumah mertua atau orang tua Yudi, jadi Desi disuruh menggunakan baju yang tertutup.

Yudi melirik Desi sekilas, dalam bayangan nya kini ,Nisa lah yang menggunakan baju itu. Namun secepat kilat wajah itu kembali berubah menjadi Desi lagi.

“Bagus!” jawab Yudi akhir nya dengan acuh.

“Kamu ini kenapa sih!”

“Udahlah Des, lama-lama aku muak sama kamu tahu gak! kalau mau cepetan, ibu sama bapak ku udah nunggu!” jawab Yudi lagi, ia keluar kamar dan membanting pintu dengan kuat, membuat Desi terduduk di kasur nya.

‘Kenapa sih mas! kamu tidak melihat ku sama sekali...hanya Nisa, Nisa dan Nisa saja Yang ada didalam otak mu!’

beberapa saat kemudian keluarga Nuriah dan Yudi sudah tiba di rumah Ahmad dan Santi. Begitu mereka sampai, sudah ada bisik-bisik yang mengusik telinga mereka.

“Jadi ini menantu nya Santi itu.. jauh banget lah sama neng Nisa kan? ini mau dibalut baju tertutup pun, tetap aja kelihatan murahan!” Desi merasa geram, ingin saja ia menampar mulut yang sudah berani mengumpat nya secara terang-terangan seperti itu.

“Aku heran sama Yudi, apa sih yang dilihat dari perempuan ini,?”

“Kamu gak lihat body nya itu.. woow loh.. pantes lah Yudi klepek-klepek dibuatnya, dan langsung melupakan Nisa!” ucap salah satunya lagi.

“Kalian berani sekali ya? mengumpat menantu nya pak Ahmad, punya stok uang banyak kalian untuk hidup tanpa garapan sawah milik besan ku itu?” tantang Nuriah dengan pongah.

“Sudah lah Nur! jangan besar-besarkan masalah, malu..” bisik Adi ditelinga istrinya, ia tak mau jika sampai Nuriah membuatnya malu untuk yang kesekian kali nya.

“Kenapa rupanya?”