Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebencian Maxime
Malam itu, Vanessa berdiri diam di depan jendela besar yang terbuka lebar di kamarnya. Udara malam yang sejuk menyapu lembut wajahnya, membawa aroma samar dari bunga-bunga yang sedang mekar di taman istana.
Pandangan matanya tertuju pada hamparan taman di bawah sana—terang remang diterangi cahaya bulan. Setiap sudutnya tampak teratur dan rapi, seolah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian. Mawar putih menjalin di antara lavender ungu dan bunga lili yang menjulang anggun. Angin malam menggoyangkan kelopak-kelopak itu, membuatnya tampak seperti melambai padanya dari kejauhan.
Indah. Terlalu indah… seperti dunia dalam dongeng.
Suara pintu terbuka pelan memecah kesunyian. Seorang gadis muda masuk dengan langkah hati-hati, membawa baki perak berisi makanan hangat.
“Makan malamnya sudah siap, Yang Mulia,” ucap gadis itu sambil menunduk sopan.
Itu adalah Sera Alwine, putri dari kepala pelayan istana, Eleanor Alwine — seorang wanita bijak dan setia yang telah melayani keluarga bangsawan d’Aurenhart selama bertahun-tahun. Sera adalah pelayan pribadi Vivienne. Meski tampak lugu dan bersahaja, kesetiaannya tidak pernah goyah, bahkan di saat-saat tergelap Vivienne.
Vanessa mengingat sekilas memori yang ia lihat. Tentang bagaimana Vivienne—dengan emosinya yang tidak stabil—pernah bersikap kasar pada Sera. Teriakan, lemparan benda, bahkan…
Luka-luka kecil yang kini tampak samar di lengan Sera… bukanlah hasil dari kecelakaan.
Dan meski demikian, Sera-lah yang tetap berada di sisinya hingga akhir. Satu-satunya orang yang dengan suara lantang mengatakan bahwa Vivienne tidak bersalah atas tuduhan meracuni Selene.
Satu-satunya yang percaya padanya.
Vanessa merasa dadanya sesak. Betapa tulusnya hati seorang Sera… dan betapa hancurnya Vivienne hingga menyakiti satu-satunya orang yang masih peduli padanya.
“Letakkan saja di meja,” ucap Vanessa pelan.
Sera mengangguk, meletakkan baki dengan hati-hati di atas meja bundar dekat tempat tidur. Ia kemudian berdiri tegak dan menatap Vanessa dengan wajah cemas yang tak disembunyikan.
“Kalau begitu, saya pamit undur diri. Saya harap Anda menghabiskan makan malamnya, Yang Mulia. Saya ingin melihat Anda sehat kembali…” katanya lembut, seolah menahan kekhawatiran yang terus menggerogoti pikirannya.
Vanessa hanya mengangguk pelan, menatap punggung Sera yang perlahan menghilang di balik pintu.
Begitu pintu tertutup, pikirannya kembali hanyut.
Desas-desus tentang Kaisar dan pelayan cantik bernama Selene Lysandra Vexmont telah menjadi racun yang perlahan menghancurkan Vivienne. Ditinggalkan, diabaikan, dan dicap sebagai istri yang tak dicintai, Vivienne mulai kehilangan akal sehatnya.
Obsesi pada cinta Maxime berubah menjadi penderitaan yang ditanggung sendirian. Ia bahkan rela menyiksa dirinya sendiri—berhenti makan, menyendiri, mengabaikan kesehatan… semua demi satu hal:
Diperhatikan.
Namun sia-sia.
Bahkan hingga napas terakhirnya, Maxime tak pernah menoleh padanya.
Vanessa menghela napas panjang. Betapa tragisnya nasib seorang wanita yang hanya ingin dicintai. Ia teringat wajah cantik Vivienne yang dilihatnya di cermin tadi. Kecantikan yang agung, memikat, seperti karakter dari lukisan klasik. Dengan wajah seperti itu, dengan gelar dan martabat yang ia punya… Vivienne seharusnya bisa mendapatkan pria mana pun yang ia inginkan.
Tapi tetap saja… ia memilih mengejar cinta yang tak pernah membalas.
Dan tak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang tak terbalas.
——
Sementara itu, jauh dari ibu kota, di sebuah kota perbatasan yang dilanda musim dingin paling kejam dalam dua dekade terakhir, suhu telah turun mendekati titik beku. Angin memekakkan telinga, menggigit kulit bahkan di balik lapisan pakaian tertebal.
Di tengah perkemahan militer yang berdiri kokoh di antara tumpukan salju, sebuah tenda besar berdiri paling mencolok, diterangi cahaya obor dan suara riuh peta yang dibentangkan. Di dalamnya, para komandan dan jenderal berkumpul mengelilingi meja kayu panjang yang dipenuhi dokumen, gulungan strategi, dan peta wilayah musuh.
Seorang pria dengan postur tinggi dan tegap berdiri di ujung meja. Jubah bulu hitam pekat membalut tubuhnya, namun dingin itu tak mampu menyentuh sorot matanya yang tajam dan penuh perhitungan.
Dialah Maxime Théo Leclair d’Aragon. Putra Mahkota. Pewaris takhta Kekaisaran. Dan pemimpin tertinggi pasukan dalam kampanye ini.
“Laporan terakhir dari unit pengintai?” tanya Maxime, suaranya dalam dan tegas, memotong kesunyian di dalam tenda.
Seorang perwira muda, Jenderal Adrien Thorne, melangkah maju dan meletakkan selembar peta bertanda tinta merah.
“Mereka mengonfirmasi bahwa pasukan musuh sedang memperkuat sisi timur Sungai Eravell. Mereka membangun benteng pertahanan dengan persenjataan berat. Jika kita menyerang langsung, korban di pihak kita akan sangat besar.”
Maxime menunduk memandangi peta dengan seksama. Jemarinya bergerak menyusuri garis pertahanan musuh, lalu berhenti di satu titik sempit di sebelah selatan sungai.
“Di sinilah celahnya,” ucap Maxime. “Kita akan mengalihkan perhatian mereka dengan pasukan utama dari utara, dan mengirim unit elit untuk menyusup dari selatan—saat fajar.”
“Dengan segala hormat, Yang Mulia,” sela Jenderal Caldus, veteran yang telah bertempur di puluhan medan perang. “Jalur selatan terlalu sempit dan berbatu. Kita berisiko kehilangan separuh pasukan hanya untuk bisa menyeberang.”
Maxime menoleh padanya, tenang tapi tajam. “Karena itu aku akan memimpin langsung dari jalur selatan. Tidak ada yang lebih efektif dari kekacauan yang datang dari pemimpin pasukan sendiri.”
Hening sejenak. Semua yang ada di tenda terdiam, terkejut oleh keputusan itu. Tapi mereka tahu… itulah Maxime. Selalu berada di garis depan. Dan karena itulah pasukannya menghormatinya lebih dari siapa pun.
“Siapkan seratus orang terbaik. Diam-diam. Tanpa suara. Kita bergerak sebelum matahari menyentuh puncak pegunungan,” lanjut Maxime.
“Perintah diterima,” serempak mereka menjawab.
Maxime lalu mengangkat cangkir logam berisi anggur hangat dan menatap satu per satu wajah komandan di sekelilingnya.
“Besok, kita tidak hanya merebut tanah. Kita merebut kembali martabat yang dirampas dari rakyat kita. Jangan ragukan kemenangan—kita hanya tinggal menjangkaunya.”
Tenda pun dipenuhi anggukan dan suara setuju.
Dan malam pun berlalu, sementara badai salju menggila di luar sana… besok adalah hari penentu.
Setelah rapat berakhir, tenda pusat komando mulai sunyi. Para komandan telah membubarkan diri, menyisakan udara dingin yang menyusup diam-diam melalui sela-sela kanvas tebal. Di sudut utama tenda, sang pemimpin agung duduk di singgasananya — kursi kayu berat berlapis bulu serigala — dengan mata terpejam dan napas berat.
Maxime Théo Leclair d’Aragon.
Wajahnya terlihat lelah, terukir oleh tekanan perang, kelelahan jiwa, dan dendam yang tak kunjung usai. Tubuh tegapnya tak sedikit pun kehilangan wibawa, meski rasa letih tampak mengendap di balik kelopak matanya.
Langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Tak tergesa, tapi pasti.
Jenderal Bastian du Rocher — sahabat sekaligus tangan kanan Maxime — masuk membawa hawa dingin dan aroma salju. Bertahun-tahun berada di sisi Maxime membuatnya tahu, kapan harus bicara… dan kapan harus diam.
Tanpa membuka matanya, Maxime berkata pelan, “Aku tahu kau di sana. Katakan saja langsung, untuk apa kau datang?”
Bastian menghela napas pendek sebelum menjawab, “Akan lebih baik jika kau tidur di tempat tidur, bukan di kursi dingin seperti itu.”
Maxime membuka matanya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata setajam elang.
“Kau tidak ke sini hanya untuk menawariku nasihat basi tentang istirahat, Bastian. Katakan saja tujuanmu, sebelum aku berubah pikiran dan membatalkan semua rencana penyerangan besok.”
Bastian tersenyum miring. Ia sudah terbiasa dengan lidah tajam Maxime. “Baiklah.”
Ia maju selangkah, lalu mengulurkan selembar kertas bersegel yang baru saja dikirim dari ibu kota.
“Laporan dari istana. Tentang… Ratu Vivienne.”
Mata Maxime menyipit, tapi ia tidak bergerak.
“Menurut laporan tabib kerajaan, pagi tadi… Ratu mencoba mengakhiri hidupnya. Racun. Tapi ia berhasil diselamatkan. Zat itu belum sempat menyebar ke seluruh tubuhnya,” ucap Bastian hati-hati.
Sunyi.
Lalu terdengar tawa sinis — dingin, pahit, dan tanpa belas kasih — keluar dari mulut Maxime.
“Rupanya wanita itu belum menyerah memainkan drama murahan.”
Matanya menatap api unggun yang mulai meredup. Tak ada sedikit pun kilatan iba di sana.
“Jika tidak karena peraturan dan statusnya, sudah lama aku membunuhnya dengan tanganku sendiri,” gumamnya dingin.
Bastian menatap Maxime, seperti hendak berkata sesuatu… namun mengurungkannya. Ia tahu, luka yang satu ini terlalu dalam, terlalu tua untuk disembuhkan dengan kata-kata.
Ingatan Maxime kembali melayang ke masa kelam bertahun lalu.
Hari di mana ia dijebak.
Ayah Vivienne — Adelric d’Aurenhart — bangsawan ambisius yang rela melakukan apa pun demi memperkuat kedudukan keluarga mereka, sengaja mencampurkan ramuan perangsang ke dalam anggur Maxime. Malam itu, Maxime nyaris kehilangan kesadaran penuh.
Dan di saat terlemah itulah, Vivienne muncul. Manis, lembut, berpura-pura menjadi penyelamat.
Pagi harinya, semuanya sudah terlambat.
Kaisar Alaric d’Aragon, ayah Maxime, murka saat mendengar skandal memalukan itu. Demi menjaga martabat keluarga kekaisaran, pernikahan diputuskan tanpa negosiasi. Tidak ada yang peduli apakah Maxime menginginkannya atau tidak.
Sejak hari itu, Maxime menolak menyentuh Vivienne.
Baginya, wanita itu tidak lebih dari simbol pengkhianatan dan permainan kotor.
“Kalaupun dia mati… aku tidak akan kehilangan apa-apa,” ujar Maxime datar, seperti berbicara tentang musuh, bukan tentang istri sahnya.
Namun Bastian, yang memperhatikan dengan seksama, menyadari sesuatu yang tak diucapkan oleh sahabatnya. Ada jeda kecil… terlalu kecil… sebelum Maxime mengucap kata “mati.”
Dan itu, bagi Bastian, cukup untuk membuatnya curiga bahwa… mungkin, hanya mungkin… kebencian itu tak seutuhnya murni.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa