Update: 12:00 WIB
Chen Sisi, seorang koki terkenal di zaman modern, tiba-tiba saja meninggal karena kelelahan dan jiwanya pindah ke tubuh seorang gadis di zaman Tiongkok kuno. Melalui gelang giok putih warisan keluarga neneknya, Chen Sisi membuka ruang ajaib dan memelihara seekor kucing putih spiritual.
Jago memasak, pandai pengobatan serta memiliki kakek eksentrik, Chen Sisi membuat sang raja perang, Tianlong Heyu yang membenci wanita, langsung memikirnya. Dengan resep-resep andalan zaman modern, Chen Sisi mengguncang dunia kuliner Tiongkok kuno.
Awalnya Tianlong Heyu hanya menyukai masakan Chen Sisi. Tapi semakin lama, dia ingin membiarkan gadis itu memasak untuknya seumur hidup.
Akankah sang raja berhasil mengikat koki cantik itu di sisinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Risa Jey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Plague of the Undead
Berbicara tentang orang-orang yang terinfeksi, Chen Yelang merasa sedih. Bahkan Kakek Yi sekalipun tidak bisa berkata-kata. Chen Yelang memakan paha kelinci panggang sambil memikirkan masa lalu yang penuh kekacauan saat itu.
Walaupun negara berhasil keluar dari krisis kematian tapi bencana lain datang satu persatu. Selain persediaan makanan yang mulai berkurang, ada juga musim dingin ekstrem yang berkepanjangan. Tapi siapa yang mampu mengendalikan musim dingin ini? Para dewa mungkin sedang menguji mereka.
“Lalu, adakah korban yang pernah sembuh?” tanya Chen Sisi.
Mereka menggelengkan kepala. Entah apa yang dipikirkan Tianlong Heyu, ia bicara lebih banyak kali ini.
"Sejauh ini, wabah mayat hidup tidak bisa disembuhkan. Setelah terinfeksi, mereka akan memiliki gejala kehilangan kesadaran, tubuh dingin, darah merah menjadi hitam hingga akhirnya menjadi ganas. Salah satu solusinya adalah membunuh mereka."
Chen Sisi terdiam. Ternyata tidak berbeda jauh dengan apa yang diceritakan di film dan cerita-cerita lainnya. Mungkinkah memang ada mayat hidup di zaman modern juga?
Suasana di meja makan sedikit hening saat ini. Tapi itu tidak membuat Kakek Yi dan Chen Yelang kehilangan nafsu makan. Keduanya makan lebih lahap ketimbang Tianlong Heyu ataupun Chen Sisi.
Mereka tidak mau lagi membicarakan masalah wabah mayat hidup. Namun Chen Sisi memikirkannya. Ia sangat penasaran dengan wabah mayat hidup ini dan ingin menemukan orang yang terinfeksi.
Sayangnya, ia harus pergi ke perbatasan negara hanya untuk melihat orang-orang itu. Terlalu jauh dari tempatnya sekarang.
Tidak tahu apa yang dipikirkan Tianlong Heyu. Ia mengerutkan kening saat melirik Chen Sisi sesaat. Sepertinya gadis itu memiliki pemikiran yang tidak mudah.
Apakah sangat tertarik dengan wabah mayat hidup?
Setelah makan, mereka mengobrol sebentar. Kakek Yi memastikan jika luka Chen Yelang tidak mengalami masalah serius dan segera mengusir mereka. Lagi pula, tidak baik untuk tinggal di luar barak. Keduanya harus kembali ke barak militer saat ini.
"Nona Chen, masakan hari ini sangat enak. Lain kali datanglah ke barak untuk memasak lagi."
Chen Yelang sedikit bersemangat hingga tak sadar kata-katanya membuat Kakek Yi marah.
"Tak tahu malu! Cucuku sendiri, siapa yang berani memintanya? Kamu tidak layak menjadi cucu menantu!" Kakek Yi mencibir.
"..."
Niat Chen Yelang yang terselubung akhirnya dibongkar di tempat. Ia seketika lesu tapi tidak merasa tersinggung.
Chen Sisi tidak peduli dengan kata-katanya. Dia mengambil kotak makanan berisi kelinci panggang yang sebelumnya sengaja ia sisihkan.
"Ambilah ini," katanya.
Chen Yelang berbinar saat mencium aroma kelinci panggang di dalam kotak makanan yang terbungkus kain itu. Ia langsung menepis pikiran sebelumnya.
"Nona Chen sangat perhatian. Terima kasih untuk makanannya hari ini. Benarkan, Yang Mulia?" Ia melirik Tianlong Heyu.
"Ya." Tianlong Heyu menjawab ringan, tidak menganggapnya serius.
Kakek Yi diam-diam memutar bola matanya. Tidak tahu malu! Batinnya.
Keduanya memilih meninggalkan rumah Kakek Yi sebelum hari mulai gelap. Lagi pula, meski awalnya berniat untuk menginap, Tianlong Heyu tidak bisa meninggalkan barak terlalu lama. Ia masih harus mengurus hal lain di sana.
Mau tidak mau, Chen Yelang hanya bisa mengikuti. Keduanya menunggang kuda dan pergi setelah mengucapkan selamat tinggal.
Kakek Yi masih kesal saat ini tapi tidak mau mengeluh di depan Chen Sisi.
"Nak, kenapa kamu begitu baik pada keduanya. Dua pria bau (nakal) itu tidak layak disebut. Lain kali jangan sopan pada mereka. Ada Kakek di sini," katanya.
"Aku tahu itu," ucap Chen Sisi tidak terlalu peduli.
Ia hanya merasa enggan untuk terjerat dengan keduanya. Agar mereka pergi, ia hanya bisa memberikan kelinci panggang yang tersisa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya, Chen Sisi tidak pergi ke mana pun. Hujan salju di laut cukup lebat sehingga ia memilih untuk menghangatkan diri di rumah. Baiyue duduk di sampingnya dan mulai berbicara tentang wabah mayat hidup.
"Tuan, apakah kamu berniat untuk pergi mencari tahu?" tanyanya.
"Tidak bisakah aku mencari tahu?"
"Lalu untuk apa setelah kamu tahu?"
"Hanya ingin tahu saja. Aku penasaran dengan orang-orang atau binatang yang terjangkit wabah ini. Apakah sangat mengerikan?"
Chen Sisi sedang membaca beberapa buku pengobatan yang diambilnya dari ruang perpustakaan kakeknya.
Setelah tiba di zaman ini, ia tidak memiliki banyak kegiatan lain. Tidak ada hiburan yang mencolok atau sesuatu yang bisa mengisi waktu luangnya. Ia merasa bosan.
Di zaman modern, ia seorang koki keturunan berdarah campuran. Tapi setelah tiba di sini, ia sepenuhnya adalah orang kuno yang mengandalkan ruang gelang giok putih.
"Kalau begitu kita bisa pergi setelah hujan salju reda. Jangan jauh-jauh pergi ke perbatasan negara, kita bisa pergi ke tempat yang tak terjamah manusia." Kucing putih itu menggoyangkan ekor berbulu lebatnya.
"Ke tempat yang tak terjamah manusia? Apakah mayat hidup juga tinggal di tempat seperti itu? Apakah ada di negara ini?" Chen Sisi terkejut.
Baiyue memutar bola matanya. "Tentu saja harusnya ada. Walaupun wabah mayat hidup ini ganas, selama orang atau binatang yang terinfeksi terjebak di suatu tempat, mereka tidak akan berani berkeliaran. Pikiran mereka hanya bereaksi setelah melihat gerakan makhluk hidup berdarah panas."
Chen Sisi akhirnya menutup buku. "Kalau begitu, aku harus bersiap."
dan bisa waspada