Seorang duda tampan bernama Arya Wiraguna, 29 tahun pengusaha real estate dan kontraktor terlibat cinta segitiga karena menyelamatkan 2 wanita.
Irene Handibrata, 33 tahun, anak pengusaha Amerika keturunan Indonesia China, berusaha menyelamatkan pria pujaannya, Chris dari penembakan oleh kakak Irene sendiri yaitu Daniel Handibrata.
Mariko Matsushita, 23 tahun wanita Jepang yang kabur dari negaranya karena di kejar-kejar oleh seorang penguasa yang sangat kejam yang jatuh cinta padanya. Sebelum koma, ia menyerahkan bayinya pada Chris. Setelah 3 tahun, ia bangun dan mencari bayinya. Arya membantunya agar bisa bertemu dengan anaknya dengan membuatnya menyamar menjadi laki-laki. Dalam perjalanannya, mereka saling jatuh cinta.
Chris dan Reina setelah menikah dan melangsungkan pesta pernikahan, berniat bulan madu di kampung halaman Reina, tapi bulan madu itu menjadi bencana saat Reina hilang dalam sebuah kecelakaan. Ia di culik dan saat ia ditemukan, ia hidup dengan identitas lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saingan 2
"Apa kabar?" Ia mendekati dapur terbuka di mana Arya sedang melakukan interview dengan Touru.
Kenapa dengan pria ini? Apa dia tipe playboy hingga banyak wanita yang mendekatinya. Huh, aku telah salah menilainya.
Irenepun tersulut cemburu. Siapa wanita ini? Pacarnyakah?
"Kau, ada apa ke sini?"
"Rindu padamu. Apa tidak boleh?" Hanum tertawa kecil.
Aduh, orang ini. Bercanda tidak tahu tempat. "Hanum ... aku sedang menginterview orang. Bisa tidak, jangan menggangguku hari ini." Arya protes.
"Iya, iya. Aku tunggu. Silahkan di teruskan." Hanum berbalik dan mengedarkan pandangannya pada ruangan itu lalu memutuskan duduk di meja dekat dinding tak jauh dari Irene.
Karena duduk bersebelahan, Irene bisa menatap wanita itu lebih jelas. Seorang wanita cantik berjilbab panjang. Ia menggunakan baju pendek yang longgar dengan rok mekar ke bawah. Ia juga memakai sarung tangan setengah terbuka sehingga jari-jarinya kelihatan.
Hanum sadar di perhatikan tapi ia tak peduli. Ia menggerak-gerakkan jari tangannya yang indah yang menjadi ciri khasnya.
Arya mengambil kursi di dekatnya dan mulai duduk. "Coba kau buat yang tanpa soda. Aku ingin coba."
Touru mengerjakannya. Ia bahkan mengulang atraksinya dengan melempar ke depan. Hanum bertepuk tangan. Irenepun tak mau kalah. Iapun bertepuk tangan.
Pegawai Arya di belakang hanya melihat saja. Pegawai wanita sibuk dengan persiapan untuk membuka toko, sedang yang pria sibuk dengan kiriman bahan makanan yang datang.
"Enak jadi orang ganteng ya? Banyak yang naksir." Rakas berceloteh pada Padi.
"Tapi kalau tidak punya uang ya sama saja." Padi menyanggahnya.
"Memangnya kamu, tidak punya dua-duanya." Dina yang baru selesai mengisi botol sambal ikut bicara. Ia bicara pada Rakas.
"Eits, biar begini aku sudah punya pacar lho. Jangan salah."
"Wah, hebat Rakas." Dewi memberi jempol. "Dapat di mana?"
"Yang pasti tidak di pungut di jalan lah."
"Hu ...." Teman-temannya beramai-ramai mendorong tubuh Rakas hingga hampir terjatuh, tapi ia malah tertawa.
Arya menoleh mendengar sedikit keributan dari arah dapur belakang tapi kemudian ia fokus lagi dengan Touru. "Kau bisa bikin resep baru?" Ia melipat tangannya di depan.
"Bisa pak."
Arya menarik kursinya mendekat. "Tolong kau ambil kursi itu dan bawa kemari. Ada yang aku ingin diskusikan denganmu." Ia menunjuk kursi yang terletak tak jauh darinya.
Touru menurut. Ia duduk di kursi itu di samping Arya.
"Eh, sebentar." Arya berdiri. Ia kemudian pergi ke belakang dapur dan kembali dengan membawa selembar kertas. Ia memberikannya pada Touru.
"Ini daftar menu makanan di sini. Aku minta kamu buatkan 2 minuman baru pendamping makanan ini. Kalau kamu sedikit ragu, kami akan buatkan makan di daftar menu yang ingin jadi inspirasimu untuk membuat minuman itu agar kamu bisa mendapat bayangan yang jelas minuman apa yang cocok untuk makanan tersebut."
"Maksud bapak, saya mencicipinya?"
"Iya, betul. Kalau cocok, akan saya masukkan ke dalam daftar menu."
"Jadi, saya belum di terima ya?"
"Kamu bisa membuat minuman baru kan?"
"Bisa. Tapi tidak bisa buru-buru pak."
"Ok. Saya percaya. Kamu saya terima."
"Oh, terimakasih pak." Touru setengah berdiri menyalami tangan Arya.
"Tidak apa-apa. Mmh, kalau ada bahan yang kurang kita bisa beli ke pasar dulu, kebetulan pasar tidak jauh dari sini."
"Oh, iya pak. Saya pelajari dulu menunya."
"Ok, saya tinggal dulu." Arya segera ke dapur belakang.
Ia mengecek persiapan dan bahan-bahan yang masuk.
Hanum terlihat penasaran dengan minuman yang di racik Touru. Ia datang mendekat. Dilihatnya 2 gelas moktail yang ada di meja dapur yang sempat di cicipi Arya sedikit. "Kamu kalau bisa buat ini berarti bisa kerja di bar dong ya?" Ia menyentuh salah satu gelas moktail itu.
Touru menoleh. "Oh, iya Bu."
"Aku ingin coba boleh ya?" Hanum mengambil salah satu gelas di hadapannya.
Touru bingung, tidak tahu harus menjawab apa.
"Berarti aku juga boleh coba ya?" Tiba-tiba Irene berdiri dan mendatangi meja dapur.
"Kamu siapa?" Hanum mengerutkan dahinya menatap Irene.
"Memangnya kamu pemilik? Kalau kamu boleh, kenapa aku tidak?" Irene memegang gelas moktail yang satu lagi.
Hanum menatap Irene sebal. Pasti Arya sedang terlibat lagi dengan seorang wanita, pikir Hanum kesal. Tanpa berkomentar ia mencicipi minuman yang di pegangnya. Rasanya ternyata memang enak.
Irene juga mencobanya. Tapi hanya sedikit. Ia seperti punya tujuan lain di situ. Ia meletakan kembali gelas itu dengan sedikit keras dan agak miring ke kiri hingga waktu berdiri tegak airnya ikut bergoyang dan menyiprati lengan baju Hanum yang berada di sebelah kanan. "Ah, maaf."
"Hei ...!" Walaupun sedikit tapi Hanum bisa merasakan dingin dan basah yang menjalari tangannya.
Touru tidak bisa berkonsentrasi karena persaingan para wanita yang sedikit mengusiknya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena ia masih baru di sana.
"Aku tidak sengaja." Irene menutup mulutnya. Padahal di balik tangannya itu Irene menyeringai senang.
"Kamu itu ya ...." Hanum mengangkat tangan kirinya memeriksa bekas cipratan air tadi.
Di saat bersamaan Arya datang. Irene yang melihat kesempatan itu langsung berteriak. "Arya ... di mau menamparku." Ia berlari mendekati Arya dan memegang lengannya.
Arya menatap bingung pada Hanum. "Ada apa ini? Kalian bertengkar?"
"Apa? Aku tidak melakukan apa-apa. Dia itu yang menumpahkan minuman ke bajuku!" Hanum berusaha menerangkan.
"Dan kau ingin menamparnya?" Suara Arya terdengar sedikit memojokkan Hanum.
Di saat-saat seperti itu, Irene malah bisa menikmati bersanding di samping Arya dengan memeluk lengannya dan menyandarkan kepalanya pada bahu Arya.
"Arya, bagaimana mungkin aku melakukannya? Aku tidak mengenalnya sama sekali." Hanum melihat Arya bergeming. "Tanya saja pada pegawaimu itu." Ia menunjuk Touru.
Semua orang melihat ke arah Touru. Yang dilihat malah terlihat gelagapan karena tidak tahu harus berpihak pada siapa. "A a aku sungguh tidak tahu. Aku hanya mendengar mereka meributkan masalah minuman dan itu membuatku tidak konsentrasi membaca. Dan saat aku melihatnya, mereka sudah begini." Ia dengan gagap menerangkan kronologis ceritanya.
Arya berpikir sejenak. Ia kemudian baru menyadari Irene bersandar di bahunya. Dengan segera ia melepaskan genggaman tangan Irene dan berusaha menenangkan suasana. "Begini saja. Lupakan hal tadi. Aku akan buat nasi goreng buat kalian semua. Sudah, akur saja." Ia sedikit mendorong Irene menjauh dari dirinya.
"Setuju ...!" Sahut Hanum senang dengan kepalan tangan kanan ke atas. Ia kembali ke tempat duduknya.
Demikian pula Irene.
Arya menyentuh bahu Touru. "Hei, kau juga."
"Ah, terimakasih pak." Touru menganggukkan kepala. Mmh, pria ini tidak seburuk yang aku kira.
Arya segera mengenakan celemek dan mempersiapkan bahan-bahannya. Sosis, telur, nasi. Dengan cekatan ia membuat nasi goreng itu sendiri. Lima belas menit kemudian nasi goreng itu terhidang.
"Bagaimana?" Arya meletakkan kedua tangannya di belakang pinggangnya.
"Enak pak." Touru yang pertama kali memberi komentar.
"Mmh." Hanum bergumam.
"Lumayan." Irene mengangkat alisnya senang.
"Ok. Aku pergi sebentar."
Arya melihat jam di dinding. Sudah waktunya menjemput Mariko dan Tama. Tama sekolah hanya 2 jam sehari, jadi ia harus segera menjemputnya. Baru saja ia akan keluar, seorang tamu lagi datang.
"Kau mau ke mana Arya?"
"Ah, kak Puput ..." Arya bingung harus bagaimana. "Aku ada urusan sebentar. Nanti aku kembali lagi."
"Tidak bisa. Kamu harus cerita dulu ke kakak. Katanya kamu punya pacar?"
Astaga. Bagaimana ini? Bisa panjang urusannya. Arya menoleh ke belakang. Ketiga orang yang sedang memakan nasi goreng Arya kini menatap Arya dengan pandangan penuh rasa penasaran.
Ketiga orang ini tidak boleh mendengar sisi cerita yang sama. Apalagi Irene. Ia malas menceritakannya.
Tapi kak Puput? Ini bisa jadi sebuah introgasi di banding sebuah percakapan. Padahal ia sudah janji pada Mariko akan menjemputnya.
"Kak, sekali ini saja kak. Ini penting. Aku sudah janji dengan orang." Arya memohon.
"Dengan pakaian seperti ini? Pertemuan penting macam apa yang bisa kamu lakukan dengan celana pendek seperti ini? Tidak. Kamu pasti mau kabur lagi. Ayo sekarang cerita." Puput mencengkram tangan Arya dan menariknya ke meja Hanum. Mereka duduk di sana.
Ah, Mariko. Maafkan aku. Aku tak bisa segera menjemputmu, batin Arya dengan badan lemas.
Mariko berdiri di pagar sekolah. Ia bingung kenapa Arya belum juga menjemputnya. Padahal ia sedang menggendong Tama yang sedari tadi tak bisa diam jadi ia tak bisa menelepon Arya untuk menanyakan keberadaannya.
"Mama, panas." Sahut Tama memegangi kerah baju Mariko.
Dilihatnya keringat mulai mengucur dari bawah topi Tama yang membasahi dahi dan keningnya. Mariko merapikan topi anaknya yang mulai berantakan karena bocah itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak tahan dengan udara panas saat itu. Ia merasa kasihan.
"Maaf ya, panas ya sayang." Mariko memeluk dan menggoyangkan tubuh Tama.
Tama yang di peluk tetap gelisah. Sebenarnya tadi ia ingin menunggu di dalam, tapi ia sedikit tidak nyaman dengan keberadaan papanya Natasha yang selalu berusaha mendekatinya. Ia memilih untuk menanti Arya di luar pagar. Tapi yang terjadi malah mereka harus merasakan kepanasan yang sangat karena udara panas yang sangat ekstrim saat itu.
"Mama ...." Tama kembali menggaruk-garuk kepalanya yang basah. Ia gelisah
"Iya sayang, sebentar ya." Ia sebenarnya ingin menangis menanti Arya yang tak kunjung datang.
Tin tin ....
Mariko menoleh. Pria itu lagi. Mobilnya datang menghampiri. Kaca di kursi depan terbuka secara otomatis. Pria itu sedikit menunduk agar Mariko bisa melihat wajahnya. "Bu, mari saya antar. Udara panas lho Bu, di luar. Kasihan anaknya kepanasan."
Marikopun sedikit menunduk. "Tidak apa-apa pak. Saya sedang menunggu yang jemput."
"Tapi sepertinya orangnya tidak bisa datang Bu. Kasihan anaknya nanti sakit."
Mariko berpikir ulang saat pria itu menyebut kata sakit. Ia hampir saja mengiyakan kalau tidak karena seseorang yang dia kenal menegurnya.
"Ah, Ricky. Eh, bukan. Siapa namanya ya?" Sebuah motor berhenti tepat di depan mobil pria itu.
"Ferdi? Ah, maaf pak. Teman saya sudah jemput saya." Mariko bergegas mendatangi motor Ferdi dan menaikinya.
"Eh, kamu mau ke mana?" Ferdi terlihat bingung karena tiba-tiba Mariko naik motornya.
"Antarkan aku ke rumah pak Chris." Bisik Mariko pada Ferdi.
"Tapi aku tak punya helm cadangan."
"Tak apa. Cepat. Anakku sudah kepanasan."
"Oh, iya iya." Ferdi segera menjalankan motornya.
Dalam perjalanan, Tama menikmati angin semilir dalam pelukan Mariko. Ia tertidur dengan cepat di pangkuan ibunya.
Di restoran Arya, orang-orang masih menatap Arya dengan ragu. Pria itu hanya menatap balik pada Puput dan Hanum berharap pengertiannya.
Ya Allah, aku hanya melakukan white lie(bohong demi kebaikan) hari ini. Tolong maafkan hambamu ini. "Tolong kakak mengerti. Aku masih taraf mendekati, tapi kami belum pacaran. Kalau semua orang ikut campur nanti malah tidak jadi karena dia terlanjut takut padaku. Tolong kak. Kalaupun nanti aku benar-benar pacaran dengannya, aku janji aku akan beritahu kakak dan keluarga."
"Aku dengar dia bukan Indonesia?" Tanya Puput lagi.
Sekilas Arya melihat Irene. Sebenarnya ia enggan untuk mengakui ini karena takut Irene akan berusaha mencaritahu keberadaan Mariko, tapi ia tak bisa terus-terusan berbohong. "Bisa di bilang begitu karena bahasa Indonesianya sangat fasih."
Kenapa ia melirik padaku? Apa yang dia maksudkan itu aku, pikir Irene lagi. Langsung saja senyumnya mengembang.
Touru tak habis pikir, kenapa arya tidak mengakui hubungannya dengan Mariko. Tapi ia berusaha berpikir positif, mungkin hubungan Arya dan Mariko ditentang orangtua. Karena itu Arya berusaha mencari restu dengan cara yang lain.
"Mengerti kan? Ok? Maaf aku harus pergi dulu." Arya segera berdiri. Sepertinya tidak ada yang protes mengenai hal ini sehingga Arya dengan aman bisa melangkah jauh hingga ke tempat motornya di parkir.
Dengan cepat ia naik motor dan menggunakan helm. Secepat kilat ia menuju ke sekolah Tama. Di sana ternyata gedung sekolahnya telah sepi. Satpampun mengatakan semua anak sekolah telah pulang.
Arya segera menjalankan motornya menuju rumah Chris. Ia ingin tahu bagaimana caranya Mariko pulang.
Di teras depan rumah Chris, Ferdi dan Mariko tengah duduk berdua. Ferdi menunduk dan sedikit takut. "Aku takut kak Arya marah dan berpikir aku mendekatimu."
Mariko mengambil tangan Ferdi dan menepuk-nepuk lengannya. "Tidak, kau sangat baik. Kalau bukan karena kamu, aku pasti ikut mobil pria genit papanya Natasha yang sangat menyebalkan itu. Apalagi tadi panasnya bukan main, aku hampir menangis melihat Tama yang kepanasan di jalan."
Ferdi mengangkat kepalanya. "Kenapa kamu tidak menunggu di dalam?"
"Karena pria itu."
"Oh." Ferdi menatap Mariko. "Tapi benar, kau sangat cantik. Malah lebih cantik dari fotomu yang ada di hp kak Arya."
"Jangan bercanda ah." Mariko memukul bahu Ferdi.
"Aduh, tapi benar kok." Ferdi tertawa.
Di saat bersamaan motor Arya masuk hingga depan garasi. Ia segera turun dan menghampiri mereka. Ferdi dan Mariko berdiri.
"Arya ...." Tapi Mariko kaget melihat wajah Arya yang terlihat marah.
"Berani-beraninya kamu berselingkuh di belakangku!"
"Apa?"
"Kau tahu aku sangat mencintaimu. Tapi bukan begini caranya kalau kau ingin putus dariku ... Kau telah menyakitiku Mariko. Benar-benar menghancurkanku!"
"Apa? Putus?" Mata Mariko mulai memerah.
"Kak, bukan begitu." Ferdi berusaha menerangkan.
"Diam kau!" Arya menunjuk wajah Ferdi.
Ferdi terlihat putus asa. Ia tak tahu bagaimana cara menerangkannya. Aryapun hanya sanggup menatap wajah Mariko yang kecewa. Iapun membalik tubuhnya dan meninggalkan mereka berdua.
"Baik, kita putus!" Mariko melepas satu sepatunya dan melemparnya ke arah Arya. Sepatu itu mengenai punggung pria itu membuat Arya berhenti melangkah.
Setetes air mata jatuh dari sudut mata Arya yang sedang menahan amarah dan kecewa. Ia menggigit bibirnya menahan sesak di dada.
______________________________________
Makasih reader yang sudah baca novel ini sampai di sini. Author senang mendapatkan like, komen, vote dan coin😍 dari reader semua. Ini ada foto Arya yang mengantar sekolah Tama, author selipkan. Semoga suka. Salam, Ingflora 💋
Arya dan Tama
gak nyaman..
bosan ...rasanya gak.kreatif ah...maaf ya ....