Gadis, sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan di rumah keluarga angkatnya yang kaya. Dia dianggap sebagai anak pembawa sial dan diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Puncaknya, ia dijebak dan difitnah atas pencurian uang yang tidak pernah ia lakukan oleh Elena dan ibu angkatnya, Nyonya Isabella. Gadis tak hanya kehilangan nama baiknya, tetapi juga dicampakkan ke penjara dalam keadaan hancur, menyaksikan masa depannya direnggut paksa.
Bertahun-tahun berlalu, Gadis menghilang dari Jakarta, ditempa oleh kerasnya kehidupan dan didukung oleh sosok misterius yang melihat potensi di dalam dirinya. Ia kembali dengan identitas baru—Alena.. Sosok yang pintar dan sukses.. Alena kembali untuk membalas perbuatan keluarga angkatnya yang pernah menyakitinya. Tapi siapa sangka misinya itu mulai goyah ketika seseorang yang mencintainya ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIBALIK KEDAMAIAN YANG DIPALSUKAN
Sinar matahari pagi menyinari atap mobil yang akan membawa mereka jauh dari Malang ke Jakarta.
Di dalamnya, Ferdo duduk dengan posisi sedikit miring, tangan kanannya menopang kepala Gadis yang sedang menyusui Luna, anak perempuan mereka yang baru lahir seminggu lalu.
Di depan mereka, Tuan Antonio duduk dengan wajah yang selalu tampak ramah, sambil membaca koran, sementara Nyonya Isabella berbicara riang dengan Rafael dan Renata, kedua adik Ferdo yang masih remaja.
Mobil yang mereka tumpangi cukup mewah dan besar, hingga di dalamnya terdiri dari tiga baris kursi penumpang. Ferdo dan Gadis di jok paling belakang agar tak terganggu. Sementara di jok tengah, Renata dan Rafael. Jok belakang supir, tuan Antonio dan nyonya Isabella.
“Wah, esok pagi kita udah nyampe Jakarta deh, kak Fer!” ujar Renata dengan senyum ceria, memandang Ferdo yang sedang membelai rambut Gadis lembut. “Rumah baru kita udah lebih gede loh, ada taman yang luas buat Luna nanti main.”
Ferdo tersenyum. “Betul, Ren. Semoga Gadis dan Luna nyaman di sana.”
Dia menoleh ke Gadis, melihat bayi yang sudah selesai menyusui dan mulai tidur di gendongan istrinya.
“Lelah ya, sayang? Ini kita istirahat sebentar ya di rest area depan, biar kamu bisa mandi dan ganti baju.” kata Ferdo pada Gadis.
Gadis mengangguk, matanya terasa berat karena kurang tidur. Ini pertama kalinya dia punya bayi, dan Luna ternyata cukup rewel, selalu menangis kalau lapar, basah, atau hanya ingin dipeluk.
Kemarin malam, dia bangun tiga kali cuma buat ganti popok dan menyusui. Beruntung Ferdo selalu ada di sampingnya, bahkan kadang dia yang mengambil Luna dari gendongan agar Gadis bisa tidur sebentar.
“Terima kasih, Mas,” ucap Gadis dengan bisikan lembut. “Kamu benar-benar suami yang baik. Tanpa kamu, aku pasti kewalahan.”
Kini Gadis sudah mengganti panggilan pada Ferdo dengan sebutan 'Mas'. Ia merasa tak sopan jika harus terus memanggil suaminya dengan sebutan nama, berhubung mereka kini sudah menginjak dewasa dan punya buah hati.
Ferdo mencium dahi Gadis. “Itu tugasku, sayang. Kita sama-sama merawat Luna, kan? Kita keluarga sekarang.”
Nyonya Isabella yang melihat sekilas ke belakang dimana Ferdo dan Gadis duduk, melihat jelas ketika Ferdo mencium dahi Gadis.
"Cih! Mesra-mesraan.. Mual aku lihatnya! Awas aja kamu Gadis! Akan aku buat Ferdo menjauhi kamu." Hati nyonya Isabella berkecamuk amarah.
Tidak lama kemudian, mobil berhenti di rest area terbesar di tengah jalan. Semua turun untuk makan dan istirahat. Tuan Antonio memesan makanan untuk semuanya, sementara Ferdo membawa Gadis ke kamar mandi yang bersih.
"Sayang, kamu cuci muka dulu biar seger. Biar Luna sama aku." Ferdo meraih Luna dari gandongan Gadis sebelum istrinya itu masuk ke kamar mandi.
Ferdo menunggu di luar, menyimpan tas yang berisi popok, baju bayi, dan botol susu cadangan. Ketika Gadis keluar, dia langsung menawarkan air minum dingin.
“Mau makan apa, sayang? Ayah pesan nasi goreng dan sup ikan,” kata Ferdo.
“Yang sup aja deh, mas. Perutku masih sedikit tidak enak,” jawab Gadis, menyandarkan diri pada tubuh suaminya.
"Mesra-mesraan lagi! kenapa sih gadis itu inginnya nempel terus sama Ferdo! Mau dilihat orang dia bisa mesra gitu sama orang?!" Nyonya Isabella yang kebetulan ke kamar mandi, sekilas melihat kearah Gadis dan Ferdo.
Selama perjalanan yang memakan waktu sehari penuh, mereka berhenti tiga kali di rest area. Setiap kali, Ferdo selalu yang paling sibuk. Membawa air, membantu ganti popok Luna yang sering basah, dan menenangkan bayi yang kadang menangis karena bosan duduk di gendongan.
Rafael dan Renata juga kadang membantu memegang Luna, membuat Gadis sedikit lega. Nyonya Isabella bahkan membawakan baju bayi baru yang dia beli di Malang, membuat Gadis terharu.
“Kamu jangan khawatir, sayang. Di Jakarta, aku akan beli lebih banyak baju untuk Luna. Dia perempuan, harus dipakai baju yang lucu-lucu,” ucap Nyonya Isabella dengan senyum ramah.
Nyonya Isabella pintar bersandiwara, menyembunyikan rasa bencinya demi ambisinya.
Gadis menangis sedikit. “Terima kasih, Bu. Aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan keluarga yang begitu baik seperti ini.”
"Iya, Gadis.. Udah, kamu jangan nangis. Kita sekarang udah jadi keluarga," kata Nyonya Isabella, walau dalam hatinya dia berkata, "Haha.. Tertipu kamu! Dasar lebay!"
Tuan Antonio menepuk bahu Gadis.. “Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kita, Gadis. Ferdo mencintaimu, dan itu yang paling penting.”
Tak terasa, matahari sudah mulai terbenam ketika bis mereka memasuki kawasan Jakarta. Setelah beberapa menit lagi, mereka akhirnya tiba di depan rumah keluarga Antonio.
Suatu bangunan tiga lantai dengan arsitektur modern, dikelilingi taman yang rapi dan taman bermain kecil. Pintu gerbang otomatis terbuka, dan mobil memasuki halaman yang luas.
“Wah, ini rumahnya sungguh mewah,” bisik Gadis, mata penuh kagum.
Ferdo memeluknya. “Iya, sayang. Tapi yang paling penting, kita ada di sini bersama-sama.”
Mereka turun dari mobil dan seorang pembantu langsung mendekat untuk mengambil koper mereka.
Tuan Antonio membimbing mereka ke dalam rumah, menuju lantai dua. Dia membuka pintu sebuah kamar yang sangat luas dan nyaman. Dinding berwarna putih muda, kasur raksasa dengan sprei yang lembut.
Di sudut kamar tersebut ada box bayi yang cantik dengan selimut berwarna pink. Di sekitar box bayi, ada banyak pernak-pernik bayi yang lucu. Mainan boneka, baju yang berwarna pink, dan alas tidur yang bergambar bunga.
“Ini kamar untukmu dan Ferdo, Gadis,” ucap Nyonya Isabella. “Kita persiapkan semua yang Luna butuhkan. Semoga kamu nyaman di sini.”
Gadis langsung menangis. Semua yang dia lihat itu terlalu indah, terlalu sempurna. Dia tidak pernah membayangkan akan tinggal di rumah yang begitu mewah, apalagi dengan segala fasilitas yang disediakan untuk Luna. Dia berbalik ke Ferdo, memeluknya erat, dan tangisnya semakin deras.
“Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak,” ucapnya dengan terisak-isak. “Aku tidak tahu harus bagaimana membayar semua ini.”
Ferdo menenangkannya dengan membelai rambut Gadis. “Jangan khawatir, sayang. Papa dan Mama mau begitu. Mereka suka kamu dan Luna.”
Kemudian, Gadis mendekati Tuan Antonio dan Nyonya Isabella, memeluk keduanya secara bergantian. “Terima kasih, Pa, Bu. Aku sangat senang dan terharu. Aku akan selalu berusaha menjadi istri yang baik untuk Ferdo dan ibu yang baik untuk Luna.”
Nyonya Isabella tersenyum, tapi di mata dia ada sesuatu yang tidak terlihat oleh Gadis. “Kita tahu, sayang. Kamu pasti akan menjadi ibu yang hebat. Panggil aku 'Mama', dan panggil 'Papa' pada suamiku, ya?!"
" Makasih.. Ma.. Pa.." Gadis menjawab terbata-bata, ia tak biasa dan malu, secara tiba-tiba harus merubah panggilan kepada dua orang yang dia takuti.
Malam itu, setelah Luna tidur, Ferdo dan Gadis duduk di teras kamar, melihat pemandangan kota Jakarta yang terang benderang.
Gadis merasa sangat bahagia, dia punya suami yang mencintainya, anak yang cantik, dan keluarga yang ramah.
Dia berpikir bahwa ini adalah awal dari kehidupannya yang bahagia. Tapi dia tidak tahu, di balik semua kebaikan yang ditunjukkan oleh orang tua Ferdo, tersembunyi niat yang jahat.