Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Kediaman yang Tak Masuk Akal
Perjalanan pulang bagi Li Yun hanya berlangsung beberapa menit. Tapi bagi Ba’al, Kaisar Iblis Agung yang pernah membantai tujuh dunia dalam sehari, perjalanan itu terasa seperti seabad penuh penghinaan.
Ia digendong.
Seperti anak kucing.
Seperti hewan peliharaan.
Tubuh mungilnya terayun-ayun seiring langkah santai Li Yun, sementara pikirannya masih menyusun ribuan ancaman yang akan ia timpakan pada manusia itu begitu ia kembali ke bentuk aslinya.
“Tunggu saja kau, manusia sialan…”
Ia mendesis dalam hati.
“Setelah aku kembali ke wujud sejati, aku akan memakan tengkorakmu hidup-hidup, kurobek jiwamu dan—”
Namun begitu Li Yun membuka pintu kayu sederhana kediamannya…
Semua pikiran Baal lenyap total.
Qi yang menyambutnya…
Bukan Qi biasa.
Bukan Qi murni.
Ini adalah sesuatu yang bahkan dunia atas pun tidak punya — Qi yang begitu bersih, begitu padat, begitu harmoni, hingga napas Baal tercekat seakan paru-parunya tidak layak menghirupnya.
“W… apa… ini…?”
Baal bahkan tak sadar ia bersuara.
Li Yun menginjak jalan setapak batu yang tampak biasa, tapi setiap serpihan jalan itu… memancarkan gelombang Dao yang sempurna.
SEMPURNA.
Tanpa retakan. Tanpa cela.
Baal menatap sekeliling dengan mata membesar.
Sapu tua di sudut halaman— mengandung Dao Angin tingkat tinggi.
Meja kayu — ditopang Dao Tanah yang nyaris suci.
Patung kayu dibeberapa sudut yang tampak seperti ukiran biasa — memancarkan Dao Kehidupan yang bahkan para leluhur kuno tak bisa tiru.
Batu di taman — berdenyut dengan Dao Bumi murni.
Rumput liar di tanah — tiap helainya memancarkan prinsip Dao yang lebih teratur dari hukum dunia atas.
Baal tercekik napasnya sendiri.
Apa…
APAAN…
TEMPAT…
INI!?
Sejak kapan rumah seorang manusia biasa bisa seperti tempat meditasi para dewa kuno? Bahkan tidak—para dewa pun harus bersujud bila melihat ini.
Baal menelan ludah begitu keras hingga leher mungilnya sakit.
“Tempat ini…” ia berbisik ketakutan.
“…ribuan kali… tidak, jutaan kali lebih suci dari istana surgawi…”
Para penjaga realm kuno?
Mereka akan menangis darah jika melihat sapu ini saja sudah mengandung Dao setara dunia leluhur.
Dan Li Yun—manusia aneh itu—tinggal di sini?
Dengan santai!?
Baal membeku total.
Li Yun meletakkan makhluk mungil itu di atas meja taman.
“Oho, akhirnya kau diam juga ya, serigala kecil?”
Serigala kecil.
Baal ingin menangis.
Tapi ia tak bisa membantah karena tubuhnya memang kecil dan bulunya masih lembut seperti anak anjing.
“Baiklah, tunggu di sini dengan baik. Aku mau beres beres sebentar.”
Li Yun lalu masuk ke rumah.
Dan Baal… baru bisa bernapas lagi begitu manusia itu menjauh.
Ia menatap sekeliling…
bola matanya bergetar, bulu-bulunya berdiri.
“Apa… apaan… tempat ini…”
Ia memeluk dirinya sendiri.
“Ini… terlalu suci… ini tidak masuk akal… apakah aku… masuk ke sarang para leluhur Dao?”
Lalu, seperti perubahan cuaca, tatapannya berubah.
Dari ngeri → menjadi rakus → menjadi gila harta.
“Hahahahaha…”
Ia tersenyum lebar, bukan senyum baik-baik.
Senyum iblis.
“Tidak kusangka tempat seperti ini ada di dunia bawah yang menyedihkan ini… setelah pulih, tempat ini akan menjadi milikku! Akan kubersihkan dari manusia itu, dan aku akan—”
“Ekhm.”
Suara itu memotong pikirannya seperti pedang surgawi.
Baal langsung melonjak.
“Siapa itu!?”
Ia menoleh cepat.
Kosong.
Hanya taman, batu, rumput, dan…
Pohon beringin besar di tengah halaman.
Suara itu muncul lagi.
Kali ini langsung di dalam jiwanya.
“Ekhm. Kau bilang apa tadi, anjing kecil?”
Baal membeku.
“…a-anjing… kecil…?”
Jantungnya serasa berhenti.
“SIAPA KAU!? TUNJUKKAN DIRIMU! AKU ADALAH KAISAR IBLIS! BERANI SEKALI—”
Desiran angin muncul.
Tetapi angin itu tidak dingin.
Angin itu membawa aura pembunuhan yang begitu padat hingga ruang sekitarnya bergetar.
Baal langsung tersungkur tanpa sadar.
Bulu-bulunya meremang.
Kakinya gemetar seolah tulangnya berubah bubur.
Kekuatan itu…
Bukan kekuatan dunia atas.
Ini… di atas itu.
Suara itu kembali terdengar, lebih dingin, lebih tua, lebih berbahaya.
“Oh? Kau bilang kau kaisar iblis?”
Nada suaranya seperti sedang menguji mainan baru.
“Sudah lama aku tidak merasakan pupuk yang terbuat dari mayat kaisar iblis.”
Baal langsung pucat pasi sampai bulunya memutih total.
“A-a-anu… Senior… kalau boleh tahu… siapa Anda…?”
Pohon beringin besar itu menjatuhkan satu helai daun.
Hanya satu.
Seperti daun gugur biasa.
Tapi ketika daun itu menyentuh tubuh Baal…
SWEP!
Daun itu menembus tubuhnya seperti pedang surgawi.
Melewati daging, tulang, dan langsung menusuk jiwanya.
Baal memuntahkan darah—padahal tubuh fisiknya tidak terluka.
Ia melihat dadanya…
lubang menembus.
Tapi bukan tubuhnya—itu jiwa aslinya yang baru saja dilubangi.
Pohon itu bergumam dengan datar,
“Tidak perlu tahu aku ini apa. Yang terpenting hanya satu: ini wilayah tuanku. Dan tuanku telah memilihmu sebagai peliharaan.”
Baal terhuyung.
“P… peliharaan…?”
“Ya. Entah kau dewa, kaisar, ataupun leluhur. Jika kau memberontak dan mengganggu kesenangan fana tuanku… bersiaplah menerima akibatnya. Jiwa mu juga tidak akan bisa bereinkarnasi.”
Dunia terasa runtuh.
Baal yang biasanya tak takut apa pun… jatuh terduduk sambil terengah.
Begitu Li Yun pergi, ternyata rumah ini penuh monster berdarah murni yang bahkan para dewa dunia atas akan kabur melihatnya.
Dan mereka…
semua memanggil Li Yun dengan satu kata:
Tuan.
Baal memeluk kepalanya.
“Ini… neraka… aku ingin pulang… aku salah masuk dunia…”
Ia bergetar seperti anak kucing kehujanan.
“Persetan dengan ambisi menaklukkan dunia… aku mau pulang… mama…lebih baik aku dikejar-kejar oleh dewa dunia atas...”
Baru ia sempat menata napasnya…
Tiba-tiba suara jernih terdengar dari arah kolam.
“Kakak besar, kau terlalu keras pada pendatang baru ini.”
Baal menoleh perlahan—sangat perlahan—takut melihat makhluk apalagi yang tinggal di rumah gila ini.
Di kolam kecil, seekor ikan koi raksasa melayang santai.
Ikan itu berbicara lagi, dengan suara yang bijak namun ringan.
“Dengar, nak. Tak peduli statusmu, seberapa agung namamu… di wilayah tuanku, kau bukanlah siapa-siapa.”
Baal tampak lebih tenang.
Setidaknya ikan ini tidak seseram pohon tadi.
“A-a-apa… maksud senior…?”
Ikan itu tersenyum kecil.
“Mari kita bicara di alam sadar.”
CREEEEK—
Seketika jiwa Baal ditarik keluar.
Tubuh kecilnya pingsan di atas meja taman.
Namun jiwanya muncul di ruang hampa luas.
Tapi…
Ia tidak berbentuk anak serigala.
Ia… kembali menjadi dirinya yang asli:
Serigala raksasa dengan tiga ekor api kegelapan, berdiri megah setinggi gunung.
“Ah… akhirnya… bentuk asliku…”
Ia hampir menangis lega.
Namun rasa lega itu lenyap dalam sekejap ketika sebuah bayangan besar menutupi sinar di belakangnya.
Baal perlahan menoleh…
Dan seluruh tubuhnya langsung lumpuh.
Seekor naga.
Tapi bukan naga biasa.
Naga air surgawi, tubuhnya memanjang puluhan kilometer, sisiknya berkilau seperti giok biru, pusaran air abadi melingkari tubuhnya seperti planet kecil.
Naga itu menatapnya dari atas, mata seperti dua bulan biru.
Baal bergetar seperti daun disapu badai.
“K-kau… kau… ikan di kolam tadi…!?”
Naga itu tersenyum.
“Benar. Aku adalah naga air surgawi itu.”
“A-anda naga… tapi… tapi tadi Anda jadi ikan… bagaimana…?”
Naga itu tertawa pelan.
“Seperti yang kukatakan, statusmu tidak berarti apa pun di wilayah tuanku. Bahkan aku… hanyalah ikan koi peliharaan.”
Baal menelan ludah.
“B-bukankah senior… ras naga… tidak pernah tunduk pada siapapun? Bahkan para dewa pun tak bisa—”
“Betul.”
Naga itu tersenyum santai.
Baal gugup setengah mati.
“Lalu… sosok yang kau panggil tuan… manusia itu… dia bahkan tidak terlihat sekuat Anda… bagaimana bisa…?”
Naga itu mengangguk.
“Aku juga awalnya berpikir begitu.”
Ia mendekat, matanya seperti menganalisis.
“Kau ingin tahu, bagaimana makhluk agung seperti aku berakhir menjadi ikan koi di kolam kecil itu?”
Baal mengangguk cepat seperti murid yang takut dimarahi.
Naga itu berkata datar:
“Dipancing.”
Baal mengedip.
“…ha?”
Naga itu mengulangi.
“Aku dipancing.”
Baal merasa otaknya korsleting.
“…d-dipancing? Dengan… kail… pancing?”
“Ya.”
Naga itu tampak kesal sendiri saat mengingatnya.
“Aku waktu itu sedang berenang santai di mata air spiritual dunia atas. Lalu aku mencium aroma yang sangat harum—kupikir itu pil untuk naik ranah.”
Baal tidak berkedip.
“Ketika aku mengikuti bau itu… aku melihat bola cahaya. Kupikir itu harta surgawi.”
“…lalu?”
“Lalu aku menggigitnya.”
Baal makin bingung.
“Lalu Anda… mendapat kekuatan baru?”
Naga itu mendesah, malu.
“Tidak. Aku berubah menjadi koi raksasa.”
“…hah?”
“Dan setelah itu aku ditarik oleh kekuatan yang tidak bisa kulawan. Seperti seorang petani menarik ikan kecil dari sungai.”
Baal:
“….”
Naga:
“Aku tersadar… bahwa itu bukan pil. Itu…”
Ia tertawa pedih.
“…pelet ikan.”
Baal hampir pingsan.
Naga itu melanjutkan.
“Awalnya aku mengira hidupku berakhir. Dipermalukan oleh makhluk fana, ditarik keluar dari realm surgawi. Tetapi setelah beberapa saat tinggal di kediaman tuanku… aku sadar.”
Ia menatap Baal dengan penuh kebijaksanaan dan trauma masa lalu.
“Hidup menjadi ikan koi… tidak buruk.”
“Kau tidak perlu bertarung.”
“Kau tidak perlu menghadapi dewa.”
“Kau tidak perlu memikirkan kehancuran dunia.”
Ia mendesah bahagia.
“Kalau ada kehidupan selanjutnya… aku lebih memilih jadi ikan koi saja.”
Baal kehilangan kata-kata.
Ia, Kaisar Iblis yang ditakuti jutaan dunia…
melihat naga surgawi yang bahkan para dewa tidak berani sentuh…
mengatakan bahwa jadi ikan koi adalah hidup terbaik.
Baal menatap kosong ke depan.
Suaranya lirih, hancur, dan seakan arwahnya sudah terbang.
“…aku…
…masuk ke rumah orang macam apa…?”