NovelToon NovelToon
Istri Hasil Taruhan

Istri Hasil Taruhan

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Kehidupan di Kantor / Pernikahan Kilat / Cerai / CEO / Playboy
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Arandiah

Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dijemput

Tepat ketika bibir mereka hampir bersentuhan, ketika aroma parfum wanita itu menusuk hidung Arjuna, dunia seakan berhenti berputar.

Mata Arjuna, yang semula kabut oleh gairah, mendadak terbelalak. Di bawah remang lampu kamar yang temaram, wajah wanita asing di hadapannya perlahan berubah. Hidung yang mancung itu, bentuk bibir yang sedikit cemberut, dan sorot mata yang polos.

Itu bukan wanita bayaran. Itu Naya.

Untuk sepersekian detik, Arjuna merasa jantungnya berhenti berdetak. Dia melihat Kanaya—istrinya yang lugu dan menyebalkan itu—sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, seolah kecewa melihat apa yang hendak dilakukan suaminya.

Rasa bersalah yang dingin menyiram seluruh tubuhnya, memadamkan api gairah itu dalam sekejap, digantikan oleh kepanikan yang tidak masuk akal.

"Naya?" bisiknya serak.

Wanita itu mengerutkan kening, bingung. "Naya? Siapa Naya? Aku Viona, Sayang..."

Suara itu. Itu bukan suara Naya. Suara itu terlalu dibuat-buat, terlalu manja, tidak memiliki kelembutan yang biasa didengarnya di rumah.

Kesadaran menghantam Arjuna seperti palu godam. Dia sedang berhalusinasi. Sialan. Obat ini benar-benar mengacaukan otaknya. Kenapa dari sekian banyak wanita di dunia ini, wajah istrinya yang muncul di saat-saat seperti ini? Wanita yang seharusnya tidak berarti apa-apa baginya selain objek taruhan?

"Minggir!"

Arjuna mendorong wanita itu dengan kasar hingga terhuyung jatuh kembali ke atas ranjang. Napas Arjuna memburu, bukan lagi karena gairah, tapi karena amarah pada dirinya sendiri. Dia merasa bodoh. Sangat bodoh.

"Arjuna, ada ap—"

"Jangan sentuh aku!" bentak Arjuna. Dia mundur terhuyung-huyung, tangannya memegangi kepala yang terasa mau pecah. Panas di tubuhnya masih ada, merambat liar di pembuluh darahnya, menuntut pelepasan. Tapi bayangan wajah sedih Naya tadi—meski hanya ilusi—telah membunuh seleranya.

Dia tidak bisa melakukannya. Tidak dengan wanita ini. Tidak dengan siapa pun yang bukan...

Ah, sialan! umpatnya dalam hati. Dia menolak menyelesaikan kalimat itu di kepalanya.

Dengan tangan gemetar, Arjuna merogoh saku celananya. Ponselnya terasa licin di tangan yang berkeringat. Dia mengabaikan tatapan bingung dan tersinggung dari wanita di atas ranjang itu. Jemarinya yang kaku berusaha mencari kontak di layar ponsel yang tampak berbayang.

Jay. Asisten pribadinya.

Satu nada sambung. Dua nada sambung.

"Halo, Pak Arjuna?" Suara Jay terdengar tenang dan profesional di seberang sana.

"Jemput aku," geram Arjuna, suaranya terdengar seperti orang yang sedang menahan sakit luar biasa. "Di Sanctum. Ruang VVIP. Sekarang, Jay. Sekarang."

"Baik, Pak. Saya segera ke sana."

Tanpa menunggu jawaban lagi, Arjuna mematikan sambungan telepon. Dia menyambar jasnya yang tergeletak di lantai, lalu berbalik meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh sedikit pun. Dia butuh udara segar. Dia butuh keluar dari tempat terkutuk ini sebelum dia benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Perjalanan pulang terasa seperti penyiksaan abadi. Arjuna duduk di kursi belakang mobil sedan hitamnya, memejamkan mata rapat-rapat. AC mobil yang disetel paling dingin pun tidak mampu meredakan gejolak panas yang membakar kulitnya.

Dia mengerang pelan, melonggarkan dasinya yang sudah berantakan.

"Bapak baik-baik saja? Perlu ke rumah sakit?" tanya Jay dari balik kemudi, matanya melirik cemas lewat kaca spion tengah.

"Rumah," jawab Arjuna pendek. Rahangnya mengeras menahan gejolak aneh di perut bawahnya. "Bawa aku pulang. Jangan banyak tanya."

Jay mengangguk patuh dan mempercepat laju kendaraan.

Arjuna menyandarkan kepalanya ke jendela. Lampu-lampu kota Jakarta yang lewat tampak seperti garis-garis cahaya yang abstrak. Pikirannya kembali melayang ke Naya. Kenapa dia harus melihat wajah itu? Apakah karena rasa bersalah karena meninggalkan wanita itu sakit sendirian? Atau karena ejekan Bram dan Ferdi yang, sialnya, mulai merasuk ke alam bawah sadarnya?

Sisi lembutmu akhirnya muncul juga.

Kata-kata Bram terngiang lagi. Arjuna mendengus kasar. Omong kosong. Dia tidak punya sisi lembut. Dia hanya... dia hanya seorang pria yang memegang prinsip. Dia tidak akan tidur dengan wanita sembarangan saat statusnya masih terikat pernikahan, meskipun pernikahan itu hanya di atas kertas. Ya, itu pasti alasannya. Itu hanya soal harga diri, bukan soal perasaan.

Tapi tubuhnya berkhianat. Setiap kali mobil berguncang sedikit, rasa panas itu kembali menyengat, membuatnya mengeratkan cengkeraman pada jok kulit mobil. Dia butuh pelampiasan. Dia butuh sesuatu untuk mendinginkan darahnya. Dan satu-satunya tempat yang dia inginkan sekarang adalah rumahnya sendiri.

Di kediaman Arjuna, jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam.

Kanaya, atau yang akrab disapa Naya, sedang duduk di sofa ruang tengah dengan sebuah buku di pangkuannya. Televisi menyala dengan volume rendah, hanya sebagai teman agar rumah besar itu tidak terasa terlalu sepi. Sejak sore tadi, dia merasa gelisah. Demamnya sudah turun berkat obat dan makanan yang dibawa Arjuna tadi siang—sebuah keajaiban yang masih membuatnya bertanya-tanya—tapi perasaan tidak enak di hatinya belum hilang.

Dia tahu Arjuna bilang akan pulang larut, atau mungkin tidak pulang sama sekali. Itu sudah biasa. Namun, entah kenapa, malam ini Naya tidak bisa tidur.

Ting-tong.

Suara bel pintu memecah keheningan, membuat Naya tersentak kaget.

Dia menoleh ke arah jam dinding. Pukul sepuluh lewat sedikit. Siapa yang bertamu jam segini? Arjuna punya kunci sendiri dan akses kartu, jadi tidak mungkin dia memencet bel. Apa mungkin ada tamu penting? Atau paket?

Dengan ragu, Naya meletakkan bukunya dan berjalan menuju pintu utama. Langkahnya pelan. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang karena waswas. Dia mengintip sedikit lewat jendela samping pintu sebelum akhirnya memberanikan diri membuka pintu kayu jati yang berat itu.

"Selamat malam, Bu Naya."

Naya terbelalak. Di hadapannya berdiri Jay, asisten pribadi suaminya. Namun, yang membuat mata Naya membulat sempurna adalah sosok yang sedang dipapah oleh Jay.

"Mas Juna?" pekik Naya tertahan.

Arjuna tampak kacau. Kemeja putihnya berantakan dengan kancing atas terbuka, jasnya tersampir asal-asalan di bahu, dan rambutnya acak-acakan. Pria itu menunduk, wajahnya tersembunyi, tapi aroma alkohol yang kuat langsung menguar begitu pintu terbuka lebar, bercampur dengan aroma maskulin khas Arjuna dan sesuatu yang manis seperti parfum wanita?

"Maaf mengganggu malam-malam, Bu," kata Jay dengan nada meminta maaf, wajahnya tampak sedikit kewalahan menahan bobot tubuh bosnya yang besar. "Bapak sepertinya terlalu banyak minum. Beliau minta diantar pulang."

Naya terpaku sejenak. Pulang? Arjuna pulang dalam keadaan mabuk? Bukankah biasanya dia akan menginap di hotel atau apartemen pribadinya jika sedang dalam kondisi seperti ini? Kenapa dia memilih pulang ke rumah ini, tempat di mana ada Naya yang selama ini dia anggap pengganggu?

"Bu Naya?" panggil Jay lagi, menyadarkan lamunan wanita itu.

"Eh, iya. Ya ampun, bawa masuk, Mas Jay. Berat ya?" Naya buru-buru membuka pintu lebih lebar, menyingkir agar Jay bisa membawa Arjuna masuk.

Jay memapah Arjuna menuju sofa ruang tamu, tapi Arjuna tiba-tiba mengerang dan mencoba berdiri tegak, melepaskan diri dari rangkulan Jay.

"Aku bisa sendiri," gumam Arjuna, meski kakinya jelas-jelas tidak setuju. Dia terhuyung ke samping.

Naya secara refleks maju, menangkap lengan suaminya sebelum pria itu menabrak meja hias. "Hati-hati!"

Saat kulit mereka bersentuhan, Naya merasakan panas yang tidak wajar dari tubuh Arjuna. Kulit pria itu seperti terbakar demam, tapi keringat dingin membasahi pelipisnya. Ini bukan sekadar mabuk biasa.

"Terima kasih, Jay. Kamu boleh pulang," usir Arjuna tanpa menatap asistennya. Suaranya berat, serak, dan mengandung perintah mutlak yang tidak bisa dibantah.

Jay menatap Naya dengan pandangan ragu sejenak. "Ibu yakin bisa menanganinya sendiri?"

Naya menelan ludah, melihat kondisi suaminya yang tampak tidak stabil. Tapi dia mengangguk pelan, berusaha tersenyum meyakinkan. "Nggak apa-apa, Mas Jay. Biar saya yang urus Mas Juna. Terima kasih sudah mengantarnya."

Setelah Jay pamit dan pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Namun kali ini, keheningan itu terasa berat dan mencekam.

Arjuna masih berdiri di sana, sedikit membungkuk, napasnya terdengar kasar dan memburu. Naya memberanikan diri menyentuh bahu suaminya.

"Mas Juna? Mas mau minum air putih? Atau mau langsung istirahat?" tanya Naya lembut, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Dia belum pernah melihat Arjuna sekacau ini. Biasanya pria itu selalu tampil sempurna, dingin, dan tak tersentuh.

Arjuna tidak menjawab. Perlahan, dia mengangkat wajahnya.

Naya menahan napas saat melihat mata suaminya. Mata itu merah, gelap, dan menatapnya dengan intensitas yang belum pernah Naya lihat sebelumnya. Itu bukan tatapan marah, bukan juga tatapan jijik yang biasa dia terima. Itu tatapan... lapar. Seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya di tengah hutan.

"Mas?" Naya mundur selangkah, instingnya berteriak bahaya.

Tiba-tiba, Arjuna bergerak cepat. Dia menarik pinggang Naya, membawanya menabrak tubuh kokohnya. Naya terpekik kaget, kedua tangannya refleks menahan dada bidang Arjuna.

"Mas Juna, kamu mabuk."

"Diam," bisik Arjuna.

Detik berikutnya, Arjuna membenamkan wajahnya di ceruk leher Naya. Napasnya yang panas menerpa kulit sensitif di sana, membuat bulu kuduk Naya meremang seketika.

"Mas..." Suara Naya bergetar. Dia mencoba mendorong tubuh suaminya, tapi tenaga Arjuna jauh lebih besar. Lengan pria itu melingkar erat di pinggangnya seperti besi, mengunci pergerakannya.

Arjuna menghirup aroma tubuh Naya dalam-dalam. Aroma sabun mandi yang lembut, aroma vanila, aroma... rumah. Ini jauh lebih memabukkan daripada parfum murahan wanita di klub tadi. Ini menenangkan sekaligus membakar sisa-sisa kewarasannya.

Tanpa sadar, lidah Arjuna menyapu kulit leher Naya, menjilat pelan di sana, merasakan denyut nadi istrinya yang berpacu cepat.

"Akh!" Naya tersentak, tubuhnya menegang. Sensasi basah dan hangat itu mengirimkan kejutan listrik ke seluruh sarafnya. Wajahnya memanas seketika. "Mas Juna, ja—jangan... kamu sadar nggak sih?"

Arjuna tidak peduli. Logikanya sudah lumpuh total. Yang dia tahu hanyalah rasa sakit di tubuhnya yang menuntut obat, dan obat itu ada di dalam pelukannya sekarang. Dia butuh Naya. Dia butuh menyentuh, merasakan, dan memiliki wanita ini untuk menghilangkan rasa sakit yang menyiksanya.

Tanpa peringatan, Arjuna menarik tubuh Naya, memaksanya berjalan mundur.

"Mas! Kita mau ke mana? Mas Juna, lepasin!" Naya panik, kakinya tersandung-sandung mengikuti langkah lebar Arjuna yang menyeretnya menuju kamar utama.

Arjuna tidak menjawab sepatah kata pun. Dia membuka pintu kamar dengan tendangan kakinya, lalu menarik Naya masuk ke dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi lampu tidur.

Naya merasa dunianya berputar ketika Arjuna mendorongnya ke arah tempat tidur. Tubuh mungilnya jatuh terjerembab di atas kasur empuk. Sebelum dia sempat bangun atau melarikan diri, Arjuna sudah berada di atasnya, mengukungnya dengan kedua tangan kekar yang bertumpu di sisi kepala Naya.

Naya mendongak, menatap wajah suaminya yang kini berada tepat di atasnya. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga rasanya sakit. Dia takut. Malam ini Arjuna terlihat sangat berbeda. Penuh gairah, liar, dan tak terkendali. Tidak ada jejak Arjuna yang dingin dan penuh perhitungan. Yang ada hanya seorang pria yang dikuasai hasrat purba.

"Mas Juna... tolong, jangan begini," cicit Naya, suaranya nyaris menangis. "Kamu nggak sadar."

"Aku sadar," geram Arjuna. Suaranya rendah, bergetar menahan diri. Matanya menyisir wajah Naya, dari mata yang ketakutan itu turun ke bibir merah muda yang sedikit terbuka. "Aku sangat sadar siapa yang ada di bawahku sekarang."

Naya terdiam, terpaku oleh pengakuan itu. Dia tak yakin harus mempercayainya atau tidak. Apakah ini pengaruh alkohol? Atau obat?

Arjuna tidak memberinya waktu untuk berpikir. Dia menundukkan kepalanya, menghilangkan jarak di antara mereka.

Bibir kenyal Arjuna langsung membungkam bibir mungil Naya dengan rakus. Ciuman itu bukan ciuman manis sepasang kekasih, melainkan ciuman yang menuntut, kasar, dan penuh keputusasaan. Arjuna melumat bibir istrinya, menyesap rasa manis yang selama ini dia hindari mati-matian, seolah Naya adalah satu-satunya sumber oksigen yang tersisa di dunia ini.

Naya memejamkan mata, tangannya mencengkeram kemeja Arjuna dengan erat. Dia bingung, takut, tapi di sudut hatinya yang paling dalam, ada desir aneh yang menyambut sentuhan itu.

1
Amelia Kesya
hadir thor,filingku mengatakan klu dua temannya juna ingin menghancurkannya melalui taruhan sialan itu.
Arandiah: hmm bisa jadi 😄
total 1 replies
partini
OMG gila kamu Jun anak sendiri loh jadi taruhan ,,kemenangmu awal kehancuran mu Jun
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
partini
lah kan. nya dah bilang ga pakai pengaman aduh tuan Juna ini
Arandiah: udah kebelet 😌
total 1 replies
Apis
dari dan ia ko gant Kanaya thor
Arandiah: lupa ka😭
total 1 replies
partini
good story
partini
maksih ya Thor udah mau melanjutkan di sini biarpun Tidak ada reward alias gratis
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin
Arandiah: sama-sama kak 💕
total 1 replies
partini
aihhhhh kenapa dari awal nulis disini Thor kalau Endingnya pindah
partini: ohh iya kah ,wah so happy Thankyou Thor 🙏
total 3 replies
partini
yakin bisa berbagi peluh Dengan wanita lain,,Naya menghantui mu loh rasa bersalah mu
Ayu Putri
bagus lah nay,sukur2, lgsung hamil😄😄🤭🤭
Ayu Putri: bisa jadi seneng bahagia dia mba😄😄
total 2 replies
partini
selamat ya jun kamu dah menang taruhannya,,
partini
itu belum seberapa nanti kalau kamu tau cuma buat taruhan
Ayu Putri
aahhhh akhirnya ehem ehem😄😄🤭🤭
Ayu Putri
uuhhuuuyy sebentar LG Naya ehem ehem🤣🤣🤣🤣
partini
bentar lagi kemenangmu jun ,semoga di hari itu jg hari penyesalan mu
partini
dan di saat itu jg kau kehilangan Naya wanita yg sudah masuk di hatimu tanpa kau sadari ,,hemmmmm Naya ihhh gumusnm kenapa kamu ikut gang 1/2 ons
partini
semoga Kanaya tau kalau di itu cuma baut taruhan saja,di kala hadiah taruhannya udah dapat kamu pergi dengan hati lega nay,cukup selembar surat perpisahan untuk suamimu EGEB mu itu
partini
bisa menari nari terus tuh bayangkan body sexsoy istri nya
Ayu Putri
udh bagus Dania sempetin bikinin sarapan buat km loh arjuna
partini
sekarang benci nanti bucin kalau orang dah pergi ,, upgrade Thor jangan terlalu polos ini terlalu polos Ampe mendekati OON 😂
Arandiah: siap kak 😄
total 1 replies
partini
hemmm Casanova toh,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!