bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
akad nikah yang khusyuk
Asap tipis masih mengepul saat Lena, Amir, dan Amar bergegas keluar dari ruang rias dengan wajah kesal. Bau hangus memenuhi lorong.
“Cepat padamkan apinya!” seru Miranda dengan nada panik.
Seorang bodyguard langsung maju, menarik pemadam busa, lalu menyemprotkannya ke sumber asap. Bunyi desisan memenuhi ruangan.
Miranda memegangi dadanya. “Ya ampun… hampir saja aku membakar hotel ini,” gumamnya lirih, wajahnya memucat.
Mili melongo. Miranda sedikit sendiri yang menyuruh membakar gaun pembelian ayahnya, sekarang dia malah panik dengan perintahnya sendiri.
“Aduh, ini pasti ganti ruginya mahal sekali,” keluh Miranda sambil meremas jemarinya gelisah.
Mila dan Mili spontan menepuk jidat bersamaan.
“Astaga, Nyonya… Anda bisa saja membeli hotel ini kalau mau,” ungkap Mila, mencoba menenangkan. “Kebakaran kecil begini tidak seberapa.”
Mili mengangguk cepat. “Anda luar biasa tadi, Nyonya. Serius.”
Miranda menghela napas panjang, pipinya memerah. “Aku semalaman belajar marah. Jantungku sampai sesak tadi,” ucapnya polos.
Mili tertawa kecil. “Pokoknya Anda mantap sekali, Nyonya. Auranya mirip Nyonya Kirana.”
Mila menepuk lembut bahu Miranda. “Mereka pasti menyesal sudah menyia-nyiakan Anda. Sekarang, fokus saja menatap hari esok yang lebih cerah.”
Sementara itu, di luar ruangan, para tamu mulai berdatangan. Acara masih dimulai dua jam lagi, tetapi suasana sudah ramai. Kru hilir mudik, dekorasi diperiksa ulang, dan beberapa tokoh penting tampak memasuki area acara.
Di antara kerumunan, Mang Agus dan Bi Mirna muncul dengan penampilan mencolok. Rambut Pak Agus yang kemarin masih putih kini hitam legam, seolah sepuluh tahun lebih muda. Tuxedo hitamnya membuatnya tampak sangat berwibawa. Bi Mirna mengenakan gamis mewah dan jilbab elegan; mereka berjalan layaknya bangsawan yang baru tiba dari undangan kerajaan.
Lena refleks ingin memanggil mereka, namun beberapa bodyguard langsung menghadang.
“Mereka itu pembantu kami! Kenapa kalian menghalangi?” gerutu Amar dengan wajah masam.
Salah satu bodyguard membuka buku kecilnya, memeriksa daftar nama dengan teliti. “Tidak mungkin. Beliau berdua termasuk tamu penting. Jangan mengganggu mereka,” ujarnya tegas.
Lena mengepalkan tangan. Rasa kesal langsung memenuhi dadanya.
Ia menoleh dan melihat Lusi, kakaknya, sedang sibuk mengecek rangkaian acara. Penampilan Lusi tampak profesional dan elegan dengan pakaian event organizer-nya.
“Ka Lusi…” suara Lena pecah, matanya berkaca-kaca.
Lusi segera menghampiri. “Kenapa kamu menangis, sayang?” tanyanya lembut.
“Miranda, Ka… Miranda mengusir kami dan menghina kami,” adu Amar dengan suara gemetar.
“Mana orangnya? Biar aku hajar dia,” geram Lusi, rahangnya mengeras.
“Dia ada di sana, Ka.” Amar menunjuk ke arah ruang rias tempat Miranda sebelumnya.
Lusi menutup mulutnya, terkejut. “Kalian ngapain ke sana? Itu ruangan tidak boleh dimasuki sembarangan.”
“Tapi itu ruang Miranda, Ka!” protes Lena, nada kesalnya semakin jelas.
“Ya sudah, lebih baik kalian duduk dulu. Sebentar lagi banyak tamu penting datang. Jangan bikin ulah,” ujar Lusi, berusaha menenangkan. “Lagipula Miranda itu cuma numpang nikah. Acara utamanya ya Rian Baskara.”
..
Akhirnya acara utama akan segera dimulai. Handoko duduk berdampingan dengan Miranti di deretan kursi VVIP sebagai perwakilan keluarga mempelai perempuan. Suasana mulai riuh oleh bisik-bisik para tamu yang penasaran.
“Siapa ya calon pengantin wanitanya?” salah satu tamu berbisik sambil mencondongkan tubuh.
“Wanita yang bisa menaklukkan hati Rian Baskara pasti dari keluarga konglomerat,” sahut yang lain.
“Betul. Siapa pun istrinya, kita harus menjalin hubungan baik dengan keluarganya. Satu proyek saja dari keluarga Baskara bisa mengangkat nama perusahaan kita.”
Beberapa tamu diam-diam mengambil foto Handoko. Mereka mengira ia adalah sosok yang tepat untuk dijadikan koneksi menuju keluarga Baskara.
Namun, ketika beberapa dari mereka hendak mendekat, para bodyguard segera menghadang dengan sopan, membuat mereka mundur pelan-pelan.
Lena menyipitkan mata ke arah pintu masuk. “Ayah, kok Pak Reza malah sibuk menyambut tamu di pintu? Harusnya dia di sini.”
“Mungkin dia anjingnya keluarga Baskara, makanya lebih sibuk urus tamu penting daripada mengurus pernikahan,” gumam Amar dengan nada sebal.
Terlihat Reza berlari menuju salah satu kamar, wajahnya tampak serius seolah terjadi sesuatu yang mendesak.
Belum sempat Lena bertanya lebih jauh, suara MC menggema memenuhi ballroom.
“Hadirin sekalian, marilah kita sambut mempelai laki-laki kita, yang terhormat Tuan Rian Baskara.”
Lampu terang mendadak padam, berganti cahaya redup yang menciptakan suasana dramatis. Spotlight perlahan turun dan menyorot satu titik. Dari balik pintu, sosok Rian Baskara muncul dengan langkah tenang namun berwibawa, membuat seluruh ruangan seketika terdiam.
Rian berjalan dengan elegan, dituntun lembut oleh Nyonya Kirana Baskara yang tampak anggun. Di belakang mereka, Reza dan Santi, istrinya, berjalan mengiringi, disusul beberapa tokoh penting yang selama ini dikenal sebagai lingkaran terdekat Rian.
Suasana berubah penuh hormat. Para tamu berdiri serentak, sebagian mengangkat ponsel untuk merekam momen langka itu. Alunan musik romantis mulai mengisi ruangan, menyatu dengan langkah-langkah Rian yang perlahan mendekati meja akad nikah. Setiap tapaknya memancarkan keyakinan dan ketenangan, seolah menegaskan bahwa momen ini adalah babak baru dalam hidupnya.
Rian duduk dengan tenang, ditemani Reza di sisi kanan dan Nyonya Kirana di sisi kiri. Ketiganya tampak anggun dan berwibawa, membuat suasana di sekeliling menjadi semakin khidmat.
MC melangkah maju, menundukkan kepala sedikit. “Hadirin sekalian, sebentar lagi kita akan menyaksikan momen akad nikah Tuan Rian. Mohon tidak merekam momen ini.”
Gerutuan kecil terdengar, tetapi para tamu tetap menurunkan ponsel mereka. Tidak ada yang berani menyinggung atau melanggar aturan keluarga Baskara.
Tak lama kemudian, suara MC kembali menggema. “Kepada Tuan Handoko Aditama, harap menuju meja akad nikah.”
Handoko terpaku di kursinya. Lena, Amar, Amir, dan Miranti sama-sama menoleh dengan wajah bingung.
“Ayah… sebenarnya siapa yang mau menikahi Miranda?” bisik Lena, tampak gelisah.
“Pak Reza. Sesuai perjanjian,” jawab Handoko mantap, tanpa sedikit pun keraguan.
“Tapi kenapa yang duduk di meja akad malah Tuan Rian?” tanya Lena, suaranya bergetar.
“Mungkin ini kejutan untuk kamu, Dek. Siapa tahu kamu yang nikah dengan Rian,” sahut Amar dengan mata berbinar.
“Benarkah, Yah?” Lena hampir berdiri karena saking antusiasnya.
Belum sempat Handoko membuka mulut, dua pria kekar muncul dan berdiri di depan mereka.
“Mari, Tuan,” ucap salah satu pria itu sopan tetapi tegas.
Spotlight langsung menyorot Handoko dan Miranti. Ruangan bergemuruh oleh bisikan kagum. Banyak tamu mulai ingat wajah Handoko, berharap dialah kunci untuk masuk ke jaringan keluarga Baskara.
Dengan langkah agak ragu tetapi wajah dibuat percaya diri, Handoko berjalan menuju meja akad. Ia senang menjadi pusat perhatian hari itu.
Sesampainya di depan meja, Reza menyerahkan secarik kertas.
“Baca ini. Jangan macam-macam,” bisiknya pelan namun tajam.
Handoko menatap tulisan di kertas itu. Wajahnya memucat. Bibirnya bergetar. Matanya bergantian melihat ke arah Nyonya Kirana, lalu ke Rian, kemudian ke Reza. Reza menatap tajam dan menganggukkan kepala perlahan, seolah memberi peringatan terakhir.
“Bagaimana, apakah sudah siap?” tanya penghulu tenang.
“Siap, Pak,” jawab Handoko spontan. Suaranya terdengar serak.
“Baik, silakan.”
Handoko meraih mikrofon dengan tangan sedikit gemetar. Ia menyalami Rian. Di antara kerumunan, Miranti mengerenyit bingung. Lena menahan napas berharap. Amar dan Amir menepuk bahu Lena, yakin mereka sebentar lagi menjadi bagian dari keluarga Baskara.
Dengan suara bergetar, Handoko mulai mengucapkan ijab.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Rian Baskara bin Ronald Baskara, dengan putri kandung saya, Miranda Aditama binti Handoko Aditama, dengan mas kawin berupa cincin berlian serta sepuluh persen saham Baskara Corporation, dibayar tunai.”
Rian menjawab tegas tanpa ragu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Miranda binti Handoko Aditama dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Sejenak ruangan terdiam.
Lalu suara histeris memecah suasana.
“Ayah… ini tidak sah!” teriak Lena, matanya melebar tidak percaya.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya