Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Maaf dari Seorang Arnold
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Rasanya seperti dicambuk.
Sejak Remy membuatku ketakutan waktu itu, dia malah berubah jadi baik. Aku bisa merasakan tatapan matanya waktu aku lagi menuang saus di atas dimsum dan ayam.
Setelah membiarkan piring itu selama lima menitan, aku menengok ke dia. “Kamu mau makan di ruang makan?”
Sebelumnya, aku sudah mengenali semua ruangan di rumah besar ini. Juwiie, asisten rumah tangga, kinerjanya terlalu bagus sampai aku enggak perlu ngapa-ngapain.
Remy menggeleng. “Kita makan di ruang tamu aja.”
Aku mengangguk, ambil dua piring, terus menyajikan makanan buat kami berdua. Aku pastikan pinggirannya bersih dari saus sebelum Aku taburi keju Parmesan parut di atasnya.
Saat aku ambil sendok garpu dari laci, aku melihat ke arah Remy. “Makanannya udah siap.”
Dia berdiri, dan mataku langsung memperhatikan celana olahraga sama kaus yang dia pakai. Harus ku akui, dia kelihatan enggak semenakutkan biasanya kalau tampil santai begitu.
Aku kasih dia pisau sama garpu, tapi dia malah taruh pisaunya di meja, ambil piringnya, terus jalan ke ruang tamu.
Aku mengekor dari belakang sambil bawa piringku sendiri. Begitu dia duduk, aku memilih tempat paling jauh darinya.
Tapi aku enggak bisa berhenti memperhatikan dia waktu dia mulai makan. Rahangnya yang bergerak saat mengunyah, mengapa bisa kelihatan semenarik itu, sih?
Dia sempat melirik ke arahku dan jelas banget dia sadar kalau aku lagi memperhatikan dia sambil bengong.
“Enak banget,” gumamnya. “Kamu belajar masak di mana?”
Aku menunduk, lihat piring di pangkuan. “Di perpustakaan daerah.”
“Perpustakaan ada kelas masak?” tanyanya datar.
Aku cekikikan, spontan banget, sampai kaget sendiri. “Enggak lah. Dulu aku cuma sering baca buku resep buat aku praktik di rumah.”
Dia angkat sebelah alis, mukanya kelihatan seperti terkesan. “Jadi kamu belajar masak sendiri?”
Aku mengangguk, agak kikuk. “Iya.”
Aku lanjut makan sambil memperhatikan bayangan ranting pohon tua yang jatuh ke tanah lewat jendela. Kepalaku miring sedikit, mataku ke langit-langit kaca. “Pohonnya cantik banget.”
“Aku juga suka,” katanya santai. “Makanya rumah ini aku desain biar pohon itu jadi bagian dari pemandangannya.”
Kami makan dalam diam setelah itu.
Nyaman tapi cukup aneh.
Begitu selesai, aku berdiri, ambil piring kosong dari tangannya, terus bawa ke dapur. Waktu kembali, aku menemukan Remy lagi makan sisa makanan langsung dari panci.
“Ya ampun, maaf. Lain kali aku bakal kasih kamu porsi lebih banyak.”
Dia menggeleng, “Yang tadi udah pas. Cuma, ini enak banget, aku pingin nambah.”
Entah kenapa, dadaku hangat dengar dia bicara gitu. Remy lagi memuji makanan buatanku. Amilio dari dulu enggak pernah sekalipun bicara seperti itu.
Dia taruh panci di meja, jalan ke arahku, merapatkan jarak di antara kami. Tangannya menyentuh pinggulku, lalu dia kecup keningku. “Makasih, Sayang.”
Terus begitu saja, tiba-tiba dia lepas, buka kulkas. “Kamu mau minum apa?”
Aku bengong.
“Soda,” bisikku.
Dia melirik isi kulkas. “Ada jus jeruk, jus Cranberry, sama Bir. Mau yang mana?”
“Cranberry aja, makasih.”
Dia kasih botol itu ke aku, terus bilang, “Ayo duduk di ruang tamu, ngobrol bentar.”
Aku tarik napas panjang dan mengikuti dia, hatiku aneh banget rasanya.
Begitu aku mau duduk di tempat tadi, dia bilang, “Enggak! Kamu duduk di sebelahku.”
Sial.
Aku pindah, tapi tetap jaga jarak sedikit waktu duduk. Aku buka botol jus, menyeruput pelan sambil menunggu dia mau bicara apa.
“Hadap ke aku,” katanya pelan.
Aku nurut, sandarkan bahu ke sandaran sofa, dan mata kami pun bertemu.
Remy menyandarkan tangannya di bantal belakangku, jari-jarinya menyentuh rambutku. “Maaf soal tadi.”
Aku terkejut. Kata maaf itu benar-benar keluar dari mulutnya.
“Aku lagi berurusan sama ... Hemm ... customer waktu dapat telepon itu,” katanya lagi.
Alisku langsung naik, refleks. Dia malah tertawa kecil. “Oke, customer bukan kata yang tepat.”
Aku menceletuk, “Aku dengar suara cowok.”
Remy mengendus napas pelan. “Karyawanku. Dia nyolong uang aku.”
“Berapa banyak?”
“Tiga puluh juta.”
Karena dia kelihatan lebih manusiawi dari biasanya, jadi aku lanjut bertanya. “Dan kamu bunuh dia gara-gara itu? Kenapa enggak kasih dia kesempatan buat balikin?”
Tatapan matanya langsung gelap lagi. Aku pun langsung menyesal sudah buka mulut.
“Orang yang mencuri satu perak atau semiliar pun tetap sama aja. Aku enggak bakal kasih kesempatan kedua.”
Aku gigit bibir, memandangi TV buat menghindari matanya.
“Soal telepon itu ...” lanjutnya, matanya pun balik ke aku, “... aku enggak peduli berapa pun biayanya.”
“Aku enggak ngerti,” kataku pelan. “Kamu bunuh orang cuma gara-gara tiga puluh juta, tapi sekarang kamu santai aja tahu aku keluarin duit lebih dari itu cuma buat ganti HP?”
Begitu kalimat itu keluar, aku langsung menyesal lagi.
Nada suaranya berat banget saat dia menjawab, “Dia nyolong uangku, Rainn. Kamu tuh istri aku. Bedanya jauh banget.”
“Aku ngerti,” bisikku. “Aku enggak bermaksud bikin kamu emosi.”
“Aku cuma enggak terbiasa ditanyain.” Tangannya tiba-tiba menyentuh bagian belakang leherku, membuat napasku tertahan. “Tapi itu bukan berarti aku enggak mau kamu tanya.”
"Kamu bikin aku bingung, Remy,” gumamku, pelan.
Sudut bibirnya pun naik, dan wajahnya langsung kelihatan lebih lembut. “Makanya kita harus saling kenal lebih dalam.”
Aku cuma mengangguk sambil menyeruput jusku lagi.
“Tapi ngomong-ngomong, soal isi lemari kamu?” katanya tiba-tiba. Alisku langsung naik.
“Sebagai istriku, kamu mewakili aku. Jadi kamu harus beli baju baru. Barang kamu yang dikit itu enggak bisa diterima!” Jari-jarinya menyentuh kulitku, membuat bulu kudukku bergoyang.
“Dan satu lagi, enggak ada batasan pengeluaran,” lanjutnya santai. “Aku orang kaya, Rainn dan karena kamu istriku, jadi yang aku punya itu juga punya kamu.”
“Uh, oke. Aku bakal urus secepatnya,” jawabku pelan, cuma buat menenangkan dia. “Kamu mau aku pakai baju yang kayak gimana? Atau kamu punya selera khusus?”
Dia menggeleng. “Cuma pastiin aja bajunya enggak terlalu terbuka!”
“Oke.”
Dia memperhatikanku beberapa detik, lalu tiba-tiba bertanya, “Kenapa kamu enggak kerja?”
Aku langsung menurunkan pandangan, mainkan label di botol jus pakai jempol. “Aku udah enggak diizinin kerja lagi di tempat itu. Tapi aku bakal nyari tempat kerja yang baru mulai besok.”
“Bukan itu maksudku.” Dia hembuskan napas. “Aku cuma penasaran, kamu emang mau kerja, atau kamu lebih nyaman di rumah? Aku kasih kamu pilihan, tapi aku sih lebih suka kamu di rumah, ngurus semuanya.” Sudut bibirnya naik tipis. “Apalagi abis ngerasain masakan kamu, kayaknya aku bakal senang banget kalau kamu masak buat aku sesekali.”
Aku senyum kecil. “Makanan favorit kamu apa?”
Dia berpikir sebentar. “Enggak tahu, enggak ada yang spesifik, sih.”
Beberapa detik berlalu tanpa suara, sampai akhirnya aku mendongak dan sadar dia masih menatapku. Tangannya turun, tarik Cardigan yang aku pakai. “Kamu enggak perlu nutupin memar itu kalau lagi sama aku.”
Aku taruh botol di meja, terus pelan-pelan lepas cardiganku. Begitu saja, suasananya langsung berubah lebih tenang, lebih hangat. Remy terlihat santai banget, sampai aku hampir lupa kalau dia itu salah satu Boss Marunda. Aku malah mulai melihat sisi lain dari dia, sisi yang membuat bahayanya lebih manusiawi.
Tangan Remy turun ke pahaku, meremas lembut. “Gimana perasaan kamu hari ini?”
“Cuma agak sakit dikit,” jawabku pelan.
Mata Remy turun ke bibirku. “Menurut kamu, butuh berapa lama sampai aku bisa cium kamu?”
Aku tertawa canggung. “Entahlah.”
Dia langsung tarik aku, dan sebelum aku sempat berpikir, aku sudah duduk di pangkuannya. Tangannya naik, pegang wajahku lembut. “Kalau gitu, aku harus improvisasi.”
Dia makin dekat, rahangnya menyentuh pipiku, napasnya hangat di kulitku sampai membuat bulu kudukku berdisko. Aku enggak bisa menahannya, mataku terpejam sendiri.
Tawanya kecil, tapi aku bisa merasakan getarannya dekat banget di telinga.
Ya, Tuhan.
Perlahan, kulitnya pun menyentuh kulitku. Dia memutar kepala, bibirnya menyenggol bibirku, nyaris saja berciuman, tapi belum. Aku bisa merasakan tongkatnya yang menegang di bawahku, dan sekilas, memori tentang malam sebelumnya berkelebat.
Aku kewalahan sama sensasinya, sama seperti nano-nano, ramai rasanya. Napasku sampai gemetar.
Gila.
“Kamu cantik banget,” geramnya pelan, suaranya serak tapi lembut, membuatku hampir mengeluarkan erangan kecil tanpa disadari. “Begitu polos.” Rahangnya menyentuh rahangku lagi, janggut tipis yang tumbuh menggores halus kulitku, dan rasanya ...
Oh.
My.
God
Belum pernah aku merasakan hal seperti ini. Tubuhku mulai gemetar, antara kaget, ingin, dan terbawa suasana.
“Milikku,” desahnya pelan.
Ya, Tuhan.
Sekali lagi, bibirnya makin dekat ke bibirku, dan ada dorongan kuat buatku untuk kembali menghadap dia. Begitu mataku terbuka, aku lihat wajahnya tegang, lapar, haus, dan terlalu menggoda untuk diabaikan.
Dan baru di detik itu, aku sadar. Dia benar-benar berhasil membuatku rileks sampai sebegitunya, sampai aku merasakan gairah yang enggak seharusnya aku rasakan.