Ivy Cecilia, seorang perawat yang bertugas di salah satu rumah sakit harus rela kehilangan sang suami dalam kecelakaan tunggal saat pulang dari rumah sakit. Pesan terakhir suaminya adalah jasadnya harus dikebumikan di tanah kelahirannya, Tondo, di negara Filipina. Demi rasa cintanya, Ivy pun menyanggupi. Dengan membawa dua anak mereka yang masih kecil, Ivy mengurus keberangkatannya membawa jenazah suaminya ke Filipina. Karena belum pernah bertemu sebelumnya, Ivi berniat tindak lama di sana. Selesai misa pemakaman Ivi akan kembali ke Indonesia.
Namun, yang menanti Ivy di sana bukanlah sesuatu yang mudah. Bukanlah pertemuan dengan keluarga mertua yang seperti biasa. Kegelapan, darah, amarah, dan jebakan paling menyiksa sepanjang hidupnya sudah menanti Ivy di Tondo, Filipina.
Apakah Ivy berhasil melalui itu semua dan kembali ke Indonesia?
ataukah Ivy terjebak di sana seumur hidupnya?
Ayo, temani Ivy berpetualang di negeri seberang, Filipina, melaksanakan pesan terakhir mendiang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ericka Kano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Hari terakhir di Cebu
"Lukas.. Lukas," suara teriakan Ivy seperti petir yang membangunkan Lukas. Tubuhnya langsung beranjak dari sofa tempat dia tidur dan sekejap saja sudah tiba di dalam kamar.
"Ada apa?," wajah Lukas sangat khawatir. Dia melihat Ivy sedang berdiri.
"Aku bisa berdiri dan berjalan. Lihat ini," Ivy mulai melangkahkan kakinya perlahan, "Memang belum bisa cepat dan lutut ku masih gemetar tapi setidaknya sudah bisa digunakan," Ivy tersenyum lebar.
Lukas mengatur napasnya. Lalu berusaha tersenyum.
"Aku bisa menggunakannya lagi, Lukas," mata Ivy berkaca-kaca. Dia terus berjalan ke arah Lukas perlahan. Karena baru digunakan kembali untuk berjalan, kakinya belum bisa menopang tubuhnya dengan stabil. Akhirnya tubuh Ivy oleng dan hampir jatuh. Ivy merasakan sebuah tangan menopang pinggangnya dan memegang tangannya sehingga dia tidak jadi jatuh.
Kini tubuh mereka saling menempel dan jarak wajah keduanya sangat dekat. Sekilas tatapan mereka beradu. Ivy mengedipkan matanya beberapa kali untuk mengatasi jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang. Dengan bertumpu pada lengan Lukas, Ivy menegakkan tubuhnya. Lukas pun menjadi salah tingkah.
"Maaf," Ivy memalingkan wajahnya.
Lukas berdehem, mengembalikan wibawanya,
"Jangan terlalu memaksakan. Satu dua langkah saja dulu,"
Ivy mengangguk dengan tetap memalingkan wajahnya.
"Aku mau keluar sebentar melihat matahari pagi," ujar Lukas tanpa menunggu jawaban Ivy dia langsung menuju ke luar.
**
"Selamat pagi, Tuan," sapa Damon yang saat itu sedang berada di depan ruangannya sambil duduk menatap kolam dan menikmati secangkir kopi.
"Hmm," jawab Lukas. Damon memperhatikan raut wajah Tuannya.
"Ada yang tidak beres, Tuan?," tanya Damon
Lukas menggeleng kan kepalanya.
"Damon, kau lihat ini," Lukas mengeluarkan hp nya, membuka galeri dan menunjukan foto-foto Ivy semalam.
Damon memperhatikan foto-foto itu.
"Madame cantik," ujar Damon
"Jangan katakan pujian itu di depannya. Nanti aku saja yang memujinya," Lukas menarik kembali hp nya.
Astaga, apalagi ini, masih pagi sudah berhadapan dengan kebucinan, kan dia yang menyodorkan foto-foto itu (Damon).
Lukas masih membuka file foto itu. Dia memperhatikannya bolak balik.
Lukas tersenyum sinis,
"Damon,"
"Ya Tuan?,"
"Menurut mu apa arti memiliki seutuhnya," tanya Lukas sambil terus memandangi foto
Damon berpikir sejenak sebelum menjawab. Berhadapan dengan orang bucin tidak boleh sampai salah menjawab,
"Menurut saya, memiliki seutuhnya itu berarti memiliki hati dan...,"
Lukas sontak menatapnya,
"Dan apa?,"
"Dan..tubuhnya tentunya, Tuan," Damon tersenyum kaku.
Lukas mendengus.
"Kau tahu Damon," Lukas menaruh hp nya di meja kecil di depan mereka berdua. Layarnya masih menampilkan foto Ivy yang tersenyum sambil menopang dagu, "Ada yang tidak bisa kita beli dengan harta,"
"Apa itu, Tuan?,"
Lukas mencondongkan wajahnya dan berkata dengan suara rendah,
"Cinta,"
Damon mengernyitkan keningnya,
"Tuan sedang membicarakan siapa? Bukankah Tuan dan Madame sudah menikah. Itu artinya Tuan sudah mendapatkan cintanya,"
Lukas mengangkat pundaknya,
"Semoga,"
Damon tidak mengerti apa yang sedang dirasakan tuannya itu tapi dia terlihat menyimpan sesuatu di hati dan pikirannya.
Apa pernikahan nya tidak membuatnya bahagia? (Damon)
"Selamat pagi Tuan Vergara, Tuan Damon," sapa Maria. Kali ini dengan blazer warna pink fusia dan rok mini ketat dan rambut yang tergerai bergelombang.
"Selamat pagi," jawab Damon
"Tuan Vergara, kali ini mau sarapan di mana?," tanya Maria sambil tersenyum ke arah Lukas, memamerkan lipstik yang dilapisi lip gloss merah menyala.
Lukas kembali fokus melihat layar hp nya,
"Di ruangan saja,"
"Hmm baik," Maria mengintip layar hp Lukas dan melihat pria itu membolak-balik foto istrinya di galeri.
Benar-benar mencintai istrinya secara ugal-ugalan. Apa kelebihan wanita itu, batin Maria.
Karena respon Lukas yang dingin seperti biasa, Maria segera memutar tubuhnya meninggalkan Lukas dan Damon.
"Tunggu,"
Ah, apa itu? Dia memanggilku?( Maria)
Maria menghentikan langkahnya.
"Bisa aturkan aku mau berkuda dengan istriku sebentar sore,"
Huffft, aku pikir apa. Istri lagi. Istri lagi. (Maria)
Maria membalikan badannya,
"Bisa sekali Tuan. Akan kami aturkan agenda berkuda Anda dan istri sebentar," jawab Maria sambil tersenyum.
Lukas mengangguk dan kembali sibuk dengan hp nya.
Astaga, tak ada ucapan terima kasih atau sekadar basa-basi. Dasar pria freezer. (Maria)
Lukas menyetel foto Ivy menjadi wallpaper layar utama nya.
Mungkin tidak bisa memiliki seutuhnya dan hanya sementara tapi setidaknya aku bisa menikmati apa yang bisa aku nikmati. Senyumannya. (Lukas)
**
"Jadi, kamu menghilang tadi untuk membeli tongkat ini?," ujar Ivy sambil tersenyum gembira memegang tongkat yang baru saja diberikan Lukas.
Lukas mengangguk sambil memperhatikan wajah kegirangan Ivy.
"Kenapa tidak minta Damon saja yang belikan kenapa harus kamu? Katanya tadi kamu sedang banyak pekerjaan di laptop," lanjut Ivy
"Damon tidak pandai memilih barang untuk wanita," kata Lukas asal saja mencari alasan.
Sejak kapan membeli tongkat jalan harus mengerti fashion wanita dulu. (Ivy)
Lukas memperhatikan arlojinya.
"Ikut aku ke pantai. Ada yang akan ku tunjukkan,"
Mata Ivy berbinar. Ia mengiyakan ajakan Lukas.
Ivy berjalan menggunakan tongkatnya. Awalnya kaku, tapi Lukas membantunya hingga dia sudah bisa merasa nyaman dengan tongkatnya.
Setiba di tepi pantai, Ivy melihat Maria datang ditemani seorang pemuda menggunakan seragam hotel sambil memegang kekang kuda, menuntun seekor kuda berwarna putih.
"Selamat sore Tuan dan Nyonya Vergara, kami mohon maaf, kuda yang tersedia untuk berkuda hanya satu untuk hari ini. Kuda yang satunya dalam perawatan," tandas Maria begitu tiba di hadapan Lukas dan Ivy.
"Berkuda?," Ivy bingung.
"Iya, Nyonya. Tadi pagi Tuan ingin berkuda bersama Anda sore ini," jawab Maria.
Ivy gantian menatap Lukas. Lukas mengerti kebingungan Ivy,
"Tidak apa-apa kudanya hanya satu. Aku dan istriku akan naik bersama. Lagi pula, kalau dia naik sendiri aku takut dia jatuh," Lukas memeluk pundak Ivy.
Apa-apaan pria aneh ini.(Ivy)
Mungkin pria ini dalam pengaruh dukun cinta. Terlalu bucin untuk seorang pria dingin. (Maria)
Pemuda berseragam hotel membantu Lukas dan Ivy untuk naik ke atas kuda.
"Lukas, aku tidak pernah berkuda. Aku takut," Ivy seperti tidak nyaman dengan posisinya yang berada di depan dan tubuh Lukas menempel di belakang tubuhnya.
"Ada aku. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh," Lukas berbisik tepat di telinga Ivy. Ivy bergidik.
"Selamat berkuda tuan dan nyonya," ucap Maria. Kedua orang itu tidak membalas. Lukas sudah menjalankan kudanya dan Ivy sibuk mencari posisi duduk yang nyaman.
"Apa aku bisa mendapatkan suami yang mencintaiku ugal-ugalan seperti Tuan Vergara mencintai istrinya?," gumam Maria.
**
Kuda berjalan dengan perlahan sesuai arahan yang Lukas berikan. Menunggangi kuda bukan hal baru bagi Lukas. Mereka punya peternakan kuda di pinggiran kota. Saat masih remaja, dia dan Rafael sering berkunjung ke sana dan menunggang kuda. Hal itu diceritakan Lukas pada Ivy sore itu sambil menikmati pemandangan senja.
"Pantas saja kamu tahu cara mengendalikan kuda ini," kata Ivy setelah mendengar cerita Lukas.
Dia dan Rafael punya banyak kesamaan. Bagaimana aku bisa melupakan Rafael kalau bayangannya terlihat jelas pada Lukas. (Ivy)
Waktu berjalan begitu pelan sore itu. Setidaknya itu yang menjadi harapan Lukas. Momen berkuda bersama Ivy sepertinya akan sangat membekas di hati Lukas. Sementara lembayung senja terlihat di langit sore itu. Mereka terus berbincang ringan sambil sesekali tertawa.
Lukas menarik kekang dan kuda itu berhenti.
Lukas turun lebih dulu lalu membantu Ivy turun.
"Lukas, terima kasih telah memberi pengalaman baru hari ini," Ivy tersenyum.
Dug. Senyuman itu lagi (Lukas)
Kali ini Lukas membalas senyuman Ivy.
"Setidaknya ceritamu tentang Rafael tadi mampu mengobati kerinduanku padanya,"
Praangg. Harapan secuil yang tadi sempat muncul kini pecah seperti piring yang dilempar ke lantai.
Raut wajah Lukas seketika berubah.
**
"Tuan, ada apa? Tuan belum tidur?," tanya Damon begitu dia melihat Lukas yang mengetuk pintu.
"Aku ingin kau menemaniku minum malam ini," Lukas masuk membawa gelas sebotol minuman alkohol.
"Madame?,"
"Sudah tidur,"
Lukas duduk di sofa dekat jendela, meletakan botol dan gelasnya di atas meja. Damon mengambil gelasnya dan duduk di seberang Lukas. Lukas menuang minuman di gelasnya lalu di gelas Damon.
"Ehmm..Tuan, saya lihat akhir-akhir ini Anda sering minum. Ada apa?," Damon bertanya dengan wajah khawatir.
Lukas meneguk minuman nya langsung habis.
"Tuan, saya sudah belasan tahun ikut keluarga Vergara. Saya juga melihat bagaimana perubahan Tuan dari seorang anak laki-laki kecil menjadi pria dewasa seperti sekarang ini. Aku tahu ada yang tidak beres yang terjadi. Ada apa?,"
Lukas menuang lagi minuman ke gelasnya dan meminumnya lagi.
"Tuan, bicaralah. Jika seperti ini sangat tidak baik untuk Anda. jangan menyimpan masalah sendiri. Anda satu-satunya putra Vergara yang tersisa. Jangan sia-siakan hidup Anda karena masalah,"
Raut wajah Lukas seketika berubah. Wajahnya memerah. Antara menahan tangisan atau amarah.
"Damon, kau tahu kan, aku pernah kena tembak, tapi aku tetap hidup,"
"Iya, Tuan," Damon menyimak
"Kau tahu juga, aku pernah terluka karena samurai, tapi aku juga tetap hidup,"
"Iya, Tuan,"
"Aku bahkan pernah ada di gudang yang dibom dan aku tetap hidup,"
"Iya, Tuan,"
"Tapi saat ini, aku sedang tidak terluka atau menghadapi bahaya, aku hidup tapi serasa mati," wajah Lukas semakin memerah. Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.
Damon berpikir sejenak.
"Tuan, aku pikir datang honeymoon ke sini membuat mu bahagia. Tapi kenapa malah jadi begini,"
Lukas menuang minumannya lagi dan meminumnya sampai habis lagi.
"Aku mencintainya Damon. Sangat mencintainya. Baru kali ini aku merasakan cinta yang membuatku hampir gila," Lukas memegang dahinya.
"Tunggu Tuan. Aku masih tidak mengerti. Tuan dan Madame sudah menikah. Aku lihat Tuan dan Madame juga bahagia. Tapi kenapa Tuan....,"
"Karena aku tidak bisa memilikinya, Damon. Tidak bisa memilikinya," suara Lukas mulai serak. Alkohol mulai menguasai dirinya.
Damon menatap Lukas dengan wajah penuh tanda tanya.
Lukas menggelengkan kepalanya.
"Hatinya masih milik Rafael. Aku tidak ada tempat di hatinya,"
Damon masih mendengarkan curahan hati Lukas.
"Kami menikah tapi dia tidak mencintai ku, Damon. Sama sekali," suara Lukas semakin serak.
"Tapi bukankah kalian sudah...,"
"Tidur bersama? Jangan berharap kami menikmati malam bersama, Damon. Dia di tempat tidur dan aku di sofa,"
Damon terkejut.
"Bagaimana bisa, Tuan?,"
"Bisa, Damon. Asalkan kami menikah dan Ibu senang,"
Perlahan Damon mulai mengerti masalahnya.
"Aku laki-laki normal, Damon. Kami berada di ruangan yang sama. Hanya kami. Dia memintaku membantu nya berganti baju. Dia juga memintaku menemaninya ke toilet. Dia tersenyum manis setiap saat. Dia berkata lembut setiap kali berbicara padaku. Tapi aku hanya bisa jadi penonton. Aku tidak bisa mengatakan dan membuktikan bahwa aku sangat mencintai dia,"
Lukas mengepalkan tangannya lebih keras hingga buku-buku tangannya memerah.
Damon membuang napas kasar.
"Kalau Tuan tahu seperti ini akan menyiksa, kenapa harus Tuan jalani. Tuan punya kekuasaan untuk menolak yang Tuan tidak inginkan,"
Lukas minum lagi.
"Itu dia Damon. Ivy bagiku seperti bandul hipnotis. Aku hanya bisa mengiyakan apapun yang dia katakan. Tidak ada kata "tidak" atas kemauannya. Aku merasa tidak berguna jika tidak mampu mengabulkan keinginannya. Bahkan kalau dia minta nyawaku aku akan mati untuknya dengan senyuman," ujar Lukas setelah menegak habis minumannya. Alkohol semakin menguasainya.
Lukas menuang lagi dan hendak minum.
"Tuan berhentilah minum. Sudah cukup. Anda sudah banyak minum. Aku takut Anda tidak bisa bangun pagi-pagi karena penerbangan kita siang. Kita harus pagi-pagi ke bandara,"
"Aku harus bagaimana, Damon. Mengapa jatuh cinta bisa sesakit ini," mata Lukas sudah mulai layu.
"Aku tidak kalah hebat dari Rafael. Aku juga akan mampu mencintai nya melebihi Rafael. Tolong katakan itu padanya Damon. Biar dia melihat aku sangat mencintainya dan ingin memilikinya seutuhnya," Lukas semakin mabuk, "Senyumannya, hatinya, tubuhnya, bibirnya, semuanya,"
"Ehm Tuan, sebaiknya saya antarkan ke sebelah ya. Anda harus tidur,"
"Aku tidur di sini saja," Lukas sudah mengambil ancang-ancang untuk tidur di sofa.
"Jangan tidur di sini, Tuan. Apa Anda tega membiarkan Madame sendirian malam ini?,"
Mendengar itu, Lukas langsung beranjak. Dengan sempoyongan dia berdiri,
"Tidak. Aku takut ada yang menculiknya Damon. Aku akan membunuh siapapun yang menyentuhnya. Aku punya banyak senjata Damon,"
Damon menghampiri Lukas yang berbicara semakin tidak karuan, menopangnya untuk berjalan.
Damon membawa Lukas masuk dan mendudukkannya di sofa.
"Tuan, tidurlah. Jangan sampai kita terlambat ke bandara besok..,"
"Aku tidak mau un..,"
"Kalau terlambat ke bandara pasti sangat mengecewakan Madame," Damon menyala sebelum tuannya berbicara banyak lagi.
Lukas melirik ke arah kamar.
"Hustt! Jangan sampai dia kecewa Damon. Hatiku sakit melihat dia kecewa. Baiklah, aku tidur,"
Lukas membaringkan tubuhnya di sofa.
Tak butuh waktu lama, dia tertidur. Damon membetulkan kakinya. Dia juga mengambil bantal sofa menjadi bantal untuk kepala Lukas.
Damon menggelengkan kepala,
"Baru kali ini melihatmu seperti ini, Tuan. Ternyata cinta bisa lebih melukai dari pistol ataupun Samurai,"
**
"Apakah ini sudah semua, Madame?," tanya Damon sambil menarik koper ke arah pintu keluar
"Sudah semua," ujar Ivy sambil berjalan pelan menggunakan tongkatnya.
"Nyonya, apa sebaiknya Anda yang membangunkan Tuan? Saya sudah 3 kali membangunkannya. Kita akan telat,"
"Dasar laki-laki. Suka sekali mabuk-mabukan," Ivy kesal.
Andai Anda tahu Tuan mabuk-mabukan karena galau pada Anda, Madame. (Damon)
Ivy mendekati Lukas yang tidur telungkup di sofa.
"Lukas..Lukas.. bangunlah," Ivy menggoyangkan punggung Lukas
"Lukas, kita akan ketinggalan pesawat. Aku tidak mau kita tertahan di sini. Aku rindu Aiden," Ivy menggoyangkan punggung Lukas lebih keras.
Lukas menggeliat. Dia membalikan badannya. Matanya menyipit. Dia masih menyesuaikan dengan cahaya.
"Bangunlah. Tidak usah mandi. Kita sudah telat," Ivy menunjukan kekesalannya.
Lukas tidak berkata apa-apa. Dia menggoyangkan kepalanya, menyesuaikan matanya dengan cahaya, dan berusaha menemukan keseimbangan untuk berdiri.
Ivy sudah menuju keluar ruangan.
"Barang-barang Anda sudah saya packing, Tuan," ujar Damon karena melihat Lukas sedang mengedarkan pandangannya mencari kopernya.
Lukas berjalan ke luar ruangan diikuti Damon. Penampilannya sangat berantakan. Rambutnya masih acak-acakan.
Damon menyerahkan kunci pada Maria yang mengantar kan mereka hingga ke pintu depan hotel. Bato membantu memasukan barang-barang.
"Lukas, sebaiknya kamu hentikan minum-minum mu itu. Tidak baik untuk kesehatan mu. Aku tidak suka lelaki yang suka minum," ujar Ivy setengah berbisik saat hendak naik ke mobil. Kakinya sudah bisa digerakkan leluasa jadi dia tidak butuh bantuan lagi untuk naik ke mobil.
Lukas terhenti. Dia menunggu Damon yang berpamitan dengan Maria dan kru hotel.
Damon menuju Lukas untuk menutup pintu tuannya itu.
Sebelum masuk ke mobil, Lukas berujar,
"Damon,"
"Ya Tuan?,"
"Buang semua minuman alkohol yang ada di rumah ku nanti. Jangan ada lagi minuman alkohol di rumah,"
"Tapi bagaimana bi..",
"Ivy melarangku minum-minum," Lukas masuk ke mobil dan Damon terdiam sejenak. Berusaha menelaah perubahan tuannya yang begitu tiba-tiba.