NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

“Nggak usah, Pak. Cukup istirahat di rumah saja. Saya sudah sangat terbantu. Sekali lagi, saya berterima kasih kepada Pak Anton karena sudah mengerti dan memahami saya. Saya benar-benar nggak enak kepada Bapak.”

Anton hanya tersenyum kepada sekretarisnya tanpa berkata apa-apa. Ia merasa bahwa sekretarisnya memang membutuhkan waktu istirahat itu.

Setelah memberikan cuti, Anton merasa dirinya memerlukan sekretaris pengganti. Namun, ia masih ragu untuk mencari orang baru karena merasa mungkin ia bisa meng-handle semuanya sendiri. Anton takut jika nantinya mendapatkan sekretaris yang baru, sekretaris lamanya malah tersingkir.

Ia mencoba berpikir relevan agar para pegawainya tidak merasa diperlakukan tidak adil.

Anton merasa bosan ketika sendirian di kantor tanpa ada yang menemani, seperti biasanya dengan sekretarisnya. Akhirnya, ia memilih untuk pulang dan bekerja di rumah sambil menunggu anaknya pulang sekolah.

Saat jam pulang sekolah tiba, Anton memutuskan untuk menjemput anaknya. Anak itu tampak kaget saat melihat papanya di gerbang sekolah.

“Loh, kenapa Papa di sini? Kok jemput aku?”

“Iya, emangnya Papa nggak boleh jemput kamu? Kamu kelihatan nggak seneng banget Papa jemput.”

“Nggak juga sih. Cuma tadi guru-guru kayaknya sikapnya agak beda sama aku. Aku jadi bingung.”

“Beda gimana? Papa nggak ngerti maksud kamu. Beda yang baik atau yang buruk?”

“Beda yang baik, sih. Mereka jadi lebih perhatian. Nanyain aku di kelas gimana, terus pelajaran apa aja yang aku dapet. Aku juga nggak ngerti kenapa, tapi aku merasa terbantu.”

Anton yang mendengar itu hanya tersenyum. Dalam hati, ia berpikir kalau guru-guru di sekolah itu mulai takut padanya.

Mungkin langkah selanjutnya, Anton akan menemui kepala sekolah untuk menanyakan hal ini. Ia tidak mau kalau anaknya sampai dibenci oleh guru-guru sampai lulus nanti. Bila memang itu terjadi, Anton berencana memindahkan anaknya ke sekolah lain.

“Ya udah, kalau gitu, kita mau makan apa nih? Kamu belum makan sore kan? Nanti di rumah nggak usah makan lagi berarti.”

“Aku bingung mau makan apa, soalnya nggak lapar. Emangnya Papa lapar? Kalau lapar ya makan aja. Tapi kalau aku sih nggak lapar.”

Anton berpikir sejenak. Memang, ini masih pagi. Kalau makan sekarang, nanti bisa lapar lagi siang-siang.

“Ya udah, kalau gitu, kita jalan-jalan aja dulu. Mau ke toko buku atau ke mal?”

“Ke mal aja lah. Ngapain ke toko buku? Aku nggak suka baca buku.”

“Kenapa? Baca buku itu seru tahu. Kok kamu nggak suka baca buku, sih? Papa juga baru tahu kamu nggak suka baca buku.”

Anaknya hanya tersenyum kecil agar tidak diperpanjang. Ia bingung mau menjawab apa dan takut salah bicara.

“Ya, nggak suka aja. Nggak tahu kenapa.”

“Berarti buku-buku kamu di sekolah nggak pernah dibaca dong? Kamu cuma lihat aja gitu?”

“Nggak juga, sih. Kadang-kadang aku belajar, tapi nggak yang serius banget. Cuma seadanya aja.”

Anton hanya tersenyum. Ia tidak bisa marah, karena anaknya selalu menjadi penyemangat baginya.

Sesampainya di mal, mereka menuju ke parkiran. Setelah parkir, mereka keluar dari mobil dan berjalan masuk.

“Oh iya, teman cowok kamu yang namanya Mario itu masih ganggu kamu?”

“Udah nggak, sih. Kayaknya dia takut sama Papa, makanya nggak berani lagi. Tapi kalau nanti dia macem-macem, aku pasti kasih tahu Papa.”

“Bagus. Jangan pernah nyembunyiin hal-hal penting dari Papa, ya. Soalnya Papa harus tahu semuanya tentang kamu, biar kamu nggak dimacem-macemin sama orang.”

“Emang Papa kira aku masih anak kecil, ya? Aku udah gede, kali, Pa. Bukan anak kecil lagi.”

Anton hanya tersenyum, tidak bisa membalas. Saking sayangnya, ia memang selalu menganggap anaknya masih kecil.

“Walaupun kamu udah gede, Papa tetap nganggep kamu anak kecilnya Papa. Papa nggak peduli kamu mau dibilang dewasa atau nggak.”

Sopir yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum. Ia tahu betapa besar kasih sayang Anton kepada anaknya.

Namun, si anak justru merasa malu karena percakapan mereka didengar sopir.

“Papa jangan ngomong gitu, dong. Aku jadi malu. Padahal kan nggak kayak gitu. Papa mah ada-ada aja.”

Setelah selesai jalan-jalan, mereka pulang ke rumah. Carol terlihat marah karena papanya selalu menganggapnya seperti anak kecil.

Anton hanya diam sambil melonggarkan dasinya. Ia tahu, kalau anaknya sedang marah, biasanya nanti akan membuat popcorn untuk menenangkan diri. Tapi kali ini, Anton memutuskan membuatkannya duluan agar bisa jadi bahan obrolan.

Benar saja, setelah selesai bersih-bersih, Carol turun ke dapur dan mencoba membuat popcorn sendiri. Namun, popcorn-nya gosong.

“Pa, aku buat popcorn, tapi gosong. Kenapa, ya?”

“Karena apinya kegedean. Harusnya apinya sedang aja, jangan besar-besar.”

Carol mulai mengerti cara membuat popcorn yang benar. Walau kelihatannya mudah, ternyata tidak semudah itu baginya.

Setelah diajarin Anton, Carol akhirnya berhasil membuat popcorn yang enak. Mereka lalu duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Rumah sudah sepi karena para pembantu sudah tidur.

“Papa, nanti di sekolah jangan kayak gitu, ya, sama aku. Aku malu kalau ketemu teman-teman.”

“Kenapa harus malu, sih? Kan kamu anak Papa, dan kamu cantik. Jadi nggak usah malu.”

“Pokoknya aku nggak mau. Aku males, tahu nggak sih? Aku udah gede!”

Anton hanya tersenyum mendengar itu.

Keesokan harinya, ia tetap mengantar anaknya ke sekolah. Di sana, mereka bertemu dengan Ibu Fitri. Fitri hanya tersenyum melihat keduanya. Ia bisa melihat betapa besar kasih sayang Anton pada anaknya. Dalam hati, Fitri bertanya-tanya apakah Carol bisa menerimanya jika suatu saat ia bersama Anton.

Fitri kemudian menghampiri mereka. Anton hanya diam dan tidak bereaksi karena mengira Fitri sedang sibuk atau kurang enak badan.

Fitri merasa dicueki, tapi ia tetap berusaha mendekat. Carol bisa membaca gesture Fitri — terlihat jelas kalau wanita itu sedang berusaha mendekatkan diri kepada papanya.

Namun, Carol tidak berkata apa-apa. Ia tahu bahwa Fitri orang yang baik dan banyak membantu dirinya, walaupun tidak terlalu sering.

“Pagi, Pak Anton dan Carol.”

“Pagi, Bu Fitri. Ada apa, Ibu?”

Fitri merasa senang. Dalam hatinya, ia sudah menganggap Carol seperti anak sendiri, walau Carol belum tentu menganggapnya begitu.

Anton tidak menanggapi lebih jauh dan segera pergi setelah mengantar anaknya. Ia memang tidak ingin terlalu banyak berhubungan dengan guru-guru di sekolah itu. Menurutnya, sebagian guru di sana bertindak tidak adil kepada anaknya.

Anton berpikir, sekolah itu sebenarnya tidak sebaik yang ia kira. Ia bahkan menyesal sudah berinvestasi cukup besar di sekolah tersebut, padahal masih banyak sekolah lain yang lebih baik untuk anaknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!