Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan sayang
Sejak kejadian handuk melorot kemarin,sekarang hubungan Raka dan Reva lebih dekat
Reva tersenyum sendiri mengingat kejadian saat Raka dan dirinya untuk pertama kalinya bersentuhan secara fisik ,karena insiden yang tidak terduga ,Reva tidak menyadari kalau Raka masuk kedalam kamar ,saat dia belum memakai baju dan hanya menggunakan handuk yang sangat pendek .
"Ternyata rasanya begitu ya ,kalau di sentuh seorang cowok ?”Reva berbicara sendiri ,sambil tersenyum sendiri dengan membayangkan bagaiman Dia dan Raka untuk pertama kalinya bermesraan ."
saat dia sedang asik dalam lamunannya tiba tiba suara Raka terdengar dari balik pintu kamar.
"Reva ,kamu sudah selesai belum !?"
“Sudah ,Masuk aja! Pintunya nggak dikunci,” balas Reva, masih tersenyum.
Pintu terbuka perlahan, dan Raka muncul dengan kaus putih bersih, celana chino, rambutnya agak berantakan tapi tetap tampan—atau mungkin justru karena itu. Di tangannya ada dua gelas kopi takeaway.
“Kopi susu favoritmu. Tanpa gula berlebihan,” katanya, menyerahkan satu gelas.
Reva menerimanya, lalu menyesap pelan. “Enak. Kamu belajar bikin kopi sekarang?”
“Belajar jadi pacar yang baik,” jawabnya santai, lalu duduk di tepi tempat tidur. “Siap hari pertama, Sayang?”
Reva tersedak kecil. “Jangan panggil aku ‘Sayang’ pas lagi minum! Aku belum siap!”
Raka tertawa, lalu mengelus punggungnya. “Kenapa? Kamu malu sama panggilan itu?”
“Bukan malu… cuma… aneh. Kayak tiba-tiba jadi sinetron,” jawab Reva, menatapnya. “Tapi… aku suka.”
Raka tersenyum lebar. “Kalau suka, aku panggil terus. Sayang.”
Reva menggeleng, tapi pipinya memerah. “Dasar,Baiklah ! kalau begitu aku panggil kamu MAS biar enak di dengar juga ."
“Mas?” Raka pura-pura terkejut. “Aku kan cowok!”
"Karena kamu cowok aku panggil mas ,bukan Nimas ?" Reva tertawa,Raka juga ikut tertawa .
Raka mendekat, menatapnya dengan tatapan yang membuat napas Reva tertahan. “Baiklah… kamu panggil aku MAS dan aku panggil kamu sayang ,bukan begitu kan sayang ?” katanya pelan,dan mendayu dengan senyumnya
Reva langsung meleleh. “Jangan pakai suara itu! Nggak adil!”
“Siapa bilang cinta harus adil?” balas Raka, lalu mencium pipinya cepat sebelum Reva sempat protes lagi.
"Hari ini kamu terlihat sangat cantik ,aku takut di kampus nanti ,kamu ditaksir cowok cowok di kampus ." ucap Raka lirih dengan nada sedih ,Mendengar ucapan Raka ,Reva nampak tersenyum .
"Mas ,kamu percaya padaku ,aku tidak akan menghianatimu ,aku akan selalu setia padamu ." Reva memeluk Raka .
"Aku percaya padamu ,sayang ,baiklah sekarang aku antar kamu kekampus ." Raka segera mencium Reva .
Mereka berangkat bersama setengah jam kemudian. Raka mengemudikan mobil kesayangannya yang sudah diperbaiki—ban bocornya diganti, AC-nya kini tak lagi mengeluarkan suara aneh, dan jok penumpang sengaja dibersihkan khusus untuk Reva.
Di perjalanan, mereka ngobrol tentang jadwal kuliah, dosen baru, dan rencana nongkrong akhir pekan. Tapi ketika mobil berhenti di depan gerbang kampus, suasana berubah.
Kampus sudah ramai. Mahasiswa berlalu-lalang, berpakaian rapi, membawa tas dan semangat baru. Tapi Reva tak buru-buru turun. Ia menoleh ke Raka, yang sedang mematikan mesin.
“Kenapa nggak turun?” tanya Raka, menatapnya.
“Aku belum… pamit,” jawab Reva pelan, matanya menatap bibir Raka.
Raka tersenyum. “Oh, jadi sekarang kamu minta dicium sebelum turun?”
“Bukan minta. Itu aturan baru,” jawab Reva sok serius. “Kalau nggak dicium, aku nggak turun.”
Raka tertawa pelan, lalu mengunci pintu mobil. “Kalau begitu, kamu nggak akan pergi hari ini.”
Sebelum Reva sempat berkata apa-apa, Raka sudah menariknya perlahan ke arahnya. Tangannya menyentuh dagunya, mengangkat wajah Reva perlahan. Matanya menatap dalam—hangat, penuh kasih, dan sedikit nakal.
“Selamat hari pertama, Sayang,” bisiknya.
Lalu ia menciumnya.
Ciuman itu lembut di awal, seperti embun pagi—tapi perlahan menjadi lebih dalam, lebih penuh hasrat. Reva menutup mata, tangannya mencengkeram kaus Raka, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh orang ini.
Raka menciumnya dengan perlahan, seolah ingin mengingat setiap detik. Bibirnya bergerak pelan di atas bibir Reva, lalu turun sebentar ke lehernya, membuat Reva mendesah pelan.
“Mas … kita di depan kampus,” protesnya lemah.
“Tapi pintunya terkunci,” jawabnya, lalu menciumnya lagi—kali ini lebih cepat, lebih berapi, tapi tetap penuh kasih. “Aku cuma ingin pastikan kamu ingat siapa yang nungguin kamu pulang nanti.”
Reva tersenyum di antara ciuman. “Aku nggak akan lupa. Tapi… jangan berlebihan. Nanti aku nggak fokus kuliah.”
“Kalau kamu nggak fokus, aku yang disalahin?” tanya Raka, menatapnya dengan mata berbinar.
“Tentu saja. Siapa lagi?”
Raka tertawa, lalu mengecup ujung hidungnya. “Baiklah, Sayang. Turunlah. Tapi jangan lupa… aku cinta kamu.”
Reva terdiam sejenak. Itu pertama kalinya Raka mengucapkan kalimat itu secara langsung—tanpa canda, tanpa sindiran. Hanya kejujuran murni.
“…Aku juga,” jawabnya pelan, lalu membuka pintu mobil.
Tapi sebelum ia benar-benar keluar, Raka menarik tangannya. “Eh, satu lagi.”
“Lagi?!” Reva tertawa.
“Cuma pelukan. Janji.”
Reva kembali masuk sebentar, memeluknya erat. “Jangan lupa jemput aku jam tiga. Kalau telat, aku akan marah ,dan aku akan mendiamkan kamu ."
“Duh, itu hukuman berat,” keluh Raka, tapi memeluknya lebih erat. “Aku nggak akan telat, sayang ."
Reva tertawa, lalu turun dari mobil dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Sepanjang hari, Reva merasa seperti melayang. Setiap kali ia melewati lorong kampus, ia tersenyum sendiri. Saat dosen memanggil namanya, ia menjawab dengan percaya diri—karena tahu ada seseorang yang menunggunya dengan sabar di luar sana.
Dan benar saja, tepat jam tiga sore, mobil Raka sudah parkir di tempat yang sama. Reva berlari kecil ke arahnya, rambutnya sedikit berantakan karena angin, tapi matanya bersinar.
“Kamu telat tiga menit!” serunya saat masuk ke mobil.
“Karena aku beli boba favoritmu,” jawab Raka, menyerahkan cup berwarna ungu.
Reva meleleh lagi. “Dasar…”
“Tapi kamu tetap cantik, Sayang,” ujarnya, lalu mencium keningnya.
Dalam perjalanan pulang, mereka kembali bercanda. Reva menceritakan dosen baru yang bicaranya terlalu cepat, dan Raka menertawakan cara Reva menirukan gaya bicaranya.
“Tapi serius, kamu hebat hari ini,” kata Raka tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Karena kamu jadi pacar sekaligus istrikuku, dan tetap jadi dirimu sendiri. Nggak lebay, nggak berubah. Cuma… lebih bahagia.”
Reva menatapnya, lalu menggenggam tangannya yang sedang memegang stir. “Karena kamu bikin aku merasa aman jadi diri sendiri.”
Raka menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Kalau begitu, misi hari ini sukses.”
Malam itu, mereka makan malam bersama di dapur kecil mereka—nasi goreng sisa kemarin yang dipanaskan ulang, ditambah telur mata sapi dan acar. Sederhana, tapi terasa seperti pesta.
“Jadi… mulai besok, kita resmi pacaran bila perlu kita tunjukan kita ini sepasang suami istri di depan umum?” tanya Reva.
“Kalau kamu siap,” jawab Raka. “Tapi aku nggak akan genggam tangan kamu pas lewat depan kantin kalau kamu malu.”
“Aku nggak malu,” ujar Reva tegas. “Asal kamu nggak nyanyi lagu cinta pas di antrean kantin.”
“Janji. Cuma nyanyi pas di kamar mandi bareng,” godanya.
“Mas Raka!”
Tapi ia tertawa, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Raka. Di luar, langit mulai gelap. Tapi di dalam kamar kecil itu, semuanya terasa hangat—karena cinta mereka tak butuh sorotan, cukup dengan panggilan manis, ciuman selamat pagi, dan kepastian bahwa di akhir hari, mereka selalu punya tempat untuk pulang.
Dan untuk pertama kalinya, “Mas” dan “Sayang” terasa seperti doa—pelan, tulus, dan penuh harapan.