Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.22 Kehancuran Tengkorak Merah & Pertemuan Sesaat
Di tengah lautan puing itu, Xio Lun berdiri diam, tubuhnya diselimuti aura kelelahan dan bekas luka pertempuran.
Tatapan matanya yang tajam kini sedikit redup, tapi di kedalaman pupil hitamnya masih berkobar semangat yang tak akan padam.
“Sudah berakhir…” gumamnya lirih, menatap reruntuhan yang dulu menjadi sarang klan tengkorak merah
“Klan Tengkorak Merah… telah tiada.”
Di bawah tumpukan batu besar, ada cahaya samar berwarna biru keunguan, seperti hembusan aura sihir kuno,
Xio Lun menyipitkan mata.
Ia mengangkat tangannya, dan dengan satu gerakan lembut, energi spiritualnya mendorong reruntuhan menjauh. Batu-batu besar itu terangkat melayang, pecah, dan beterbangan ke udara sebelum jatuh ratusan meter dari tempatnya berdiri.
Di bawahnya—
terpampang lingkaran rune kuno, terukir dalam pola yang rumit seperti bunga dengan sepuluh kelopak, menyebar dari satu titik pusat.
Dari celah-celah rune itu mengalir aliran energi seperti darah bercahaya, berdenyut perlahan seolah hidup.
Dan di tengah segel itu—
terbaring seorang gadis.
Rambutnya yang panjang berwarna hitam kebiruan tersebar di sekitar tubuhnya, wajahnya pucat namun damai. Pakaian putihnya sudah lusuh dan robek di beberapa bagian, tapi bahkan dalam keadaan begitu, auranya memancarkan keanggunan yang lembut.
Xin Shi.
Napas Xio Lun tercekat.
“Xin Shi…?”
Ia segera mendekat, lututnya tertekuk di samping segel itu.
Ia menatap rune itu dengan saksama—garis-garisnya , bukan sekadar segel biasa, tapi gabungan dari segel dewa dan kutukan darah iblis.
Sebuah teknik yang hanya bisa diciptakan oleh klan besar,
“Sial,” desis Xio Lun. “Segel jenis ini bukan dari Klan Tengkorak Merah. Ini… jauh lebih tua.”
Ia menekan telapak tangannya ke permukaan tanah, mencoba menyalurkan energi spiritualnya ke dalam rune itu.
Cahaya biru bergetar, namun tak terbuka.
Sebaliknya, semburan balik energi menampar dada Xio Lun, membuatnya tersentak mundur beberapa langkah.
“Kuat sekali segelnya,” gumamnya sambil menggenggam dadanya. “Ini bukan segel biasa. Ini… penyegelan jiwa.”
Lalu, suara lembut terdengar.
“Xio… Lun?”
Xio Lun terkejut. Ia segera menatap ke arah segel.
Mata gadis itu terbuka perlahan, menatapnya dari balik lapisan cahaya biru.
“Xin Shi!” serunya nyaris berteriak.
Gadis itu tersenyum lemah, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Kau… datang juga.”
Xio Lun mendekat lagi, kedua tangannya menempel pada permukaan segel transparan.
“Tentu saja aku datang!
Xin Shi tersenyum tipis.
“Aku tahu… kau akan datang. Sama seperti dulu.”
Xio Lun menatapnya dengan mata yang basah, menahan gejolak yang menghantam dadanya.
Gadis itu memejamkan mata sejenak, lalu membuka lagi dengan tatapan yang menyiratkan luka masa lalu yang dalam.
“Klan Bunga Persik… sudah tidak ada lagi.”
Xin Shi menatap ke langit yang redup di atasnya.
“Mereka datang… malam itu. Klan Tengkorak Merah menyerang bersama orang-orang berjubah hitam yang tak kukenal. Ayahku—mengorbankan dirinya untuk membuka gerbang pelindung dan menahannya sesaat.”
“Tapi… mereka terlalu kuat. Dalam satu malam, seluruh klan dibakar.…”
Matanya bergetar, air mata mengalir di pipinya, membentuk titik cahaya kecil di dalam segel.
Xio Lun menunduk.
“Mereka menginginkan peta itu?”
Xin Shi mengangguk perlahan.
Ya peta itu“. Adalah Mutiara Teratai Ilahi. Artefak peninggalan leluhur kami. Mereka menyebutnya ‘penunjuk jalan menuju artefak kuno’.”
Xio Lun membeku sesaat, dada terasa sesak.
Artefak Dewa Perang gumam xio lun pelan—yang selama ini hanya disebut dalam legenda kuno—adalah sumber kekuatan sejati milik entitas yang kini tertidur di dalam dirinya.
Xin Shi memandang Xio Lun dalam-dalam.
“Xio Lun… di mana kau ketika Klan Bunga Persik diserang?”
“Mengapa… kau tidak ada?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang menembus dadanya.
Xio Lun tak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, mengepalkan tangan, hingga darah menetes dari genggamannya.
“Aku… terlambat,” ucapnya lirih.
“Aku baru tahu setelah mereka sudah membakar semuanya.”
Xin Shi tersenyum lembut, walau matanya berkaca-kaca.
“Tidak apa-apa… aku tahu, kalau pun kau datang, mereka pasti akan tetap memburuku.”
Namun tiba-tiba—
Rune di sekitar tubuhnya mulai bersinar lebih terang.
Xio Lun menatap kaget.
“Apa yang terjadi?”
Cahaya biru berubah menjadi ungu pekat, berputar membentuk pusaran di udara di atas segel.
Angin spiritual mengamuk, merobek puing-puing bangunan di sekitar mereka.
Xin Shi menatap pusaran itu dengan wajah pucat.
“Tidak… bukan sekarang…”
Dari dalam pusaran itu muncul bayangan seorang pria berjubah bermotif bintang samar, wajahnya tertutup kabut kelam. Ia mengangkat tangan, dan tali cahaya hitam keluar dari pusaran, melilit tubuh Xin Shi dengan cepat.
“Tidak!!” Xio Lun berteriak, mencoba menebas tali itu, namun pedang kegelapannya memantul dari dinding pusaran seolah menebas cermin besi.
Gadis itu menatapnya panik.
“Xio Lun! Jangan dekati aku!”
“Diam! Aku akan menarikmu keluar!” teriak Xio Lun, menekan semua energi spiritualnya ke pedang.
Namun pusaran itu menolak semua kekuatannya.
Dunia di sekeliling mereka bergetar hebat, dan cahaya semakin kuat.
Xin Shi menatapnya dengan air mata menetes deras.
“Xio Lun… dengarkan aku!”
Ia menggigit bibirnya, dan cahaya aneh mulai muncul di dadanya. Sebuah mutiara kristal bening perlahan keluar dari tubuhnya—bercahaya lembut seperti kelopak teratai yang mekar di tengah malam.
“Ini…” Xio Lun menatap terkejut. “Mutiara itu?!”
Xin Shi mengangguk lemah.
“Ambillah! Hanya kau… yang bisa menjaganya. Karena kau… adalah orang yang dinantikan oleh artefak itu.”
Xio Lun menatapnya tak percaya.
“Apa yang kau katakan…?”
“Aku sudah tahu sejak pertama kali bertemu denganmu… aura Dewa Perang ada di dalam tubuhmu. Mutiara ini… mencari pemiliknya. Dan pemiliknya adalah kau!”
Cahaya dari mutiara itu menyilaukan, lalu dengan lembut melayang ke arah Xio Lun dan masuk ke dalam dadanya. Tubuh Xio Lun bergetar hebat, seolah dua kekuatan besar bertemu di dalam dirinya.
“Xin Shi! Jangan lakukan ini!”
“Aku… percaya padamu, Xio Lun…”
“Suatu hari nanti… ketika kau menemukan artefak itu… datanglah menjemputku.”
Tangannya terulur dari balik pusaran, tapi cahaya menyilaukan menariknya dengan paksa.
“Xin Shi!!”
“Xin—!”
Suara teriakannya terputus oleh dentuman besar.
Pusaran itu meledak menjadi hujan cahaya, dan kemudian—sunyi.
Hanya debu yang tertinggal di udara.
Xio Lun terdiam, matanya kosong menatap ruang hampa di hadapannya.
Tubuhnya gemetar. Nafasnya berat.
Lalu ia berteriak—
terdengar seperti auman hewan buas yang kehilangan segalanya.
“AAAAAAAAAAHHHHH!!!”
Tanah di bawah kakinya retak, langit kembali bergetar, dan badai energi spiritual menyapu lembah itu hingga membentuk kawah baru.
Namun tak ada yang menjawab.
Hanya gema suaranya sendiri yang kembali, berulang kali memantul di antara reruntuhan.
Di dada Xio Lun, cahaya lembut dari mutiara teratai itu berdenyut perlahan.
Xio Lun berlutut, tangannya mencengkeram tanah, suaranya parau namun penuh tekad.
“Xin Shi…”
“Aku bersumpah… aku akan menemukanmu.”
“Sekalipun harus menembus neraka, memotong langit, atau menantang para dewa… aku akan membawamu kembali.”
Angin malam berhembus melewati reruntuhan, membawa gema sumpah itu ke seluruh penjuru lembah.
Dan di dalam dadanya, mutiara itu bergetar lembut—
seolah menjawab janji itu dengan keheningan yang suci...