NovelToon NovelToon
Melawan Restu

Melawan Restu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:782
Nilai: 5
Nama Author: Goresan_Pena421

Restu? lagi-lagi restu yang jadi penghalang, cinta beda agama memang sulit untuk di satukan, cinta beda alam juga sulit untuk di mengerti tetapi cinta terhalang restu berhasil membuat kedua belah pihak dilema antara maju atau mundur.

Apa yang akan dipilih oleh Dirga dan Klarisa, karena cinta terhalang restu bukanlah hubungan yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk keduanya.

Ikuti kisah mereka didalam novel yang bertajuk "Melawan Restu".

Salam sehat
Happy reading

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Goresan_Pena421, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak bisa. tidur dengan tenang

Malam semakin larut. Angin dari luar jendela membawa hawa dingin, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang. Klarisa masih memejamkan mata, tetapi pikirannya terus berkelana. Kata-kata Zelo barusan masih menggema di telinganya: “Kalau Mbak percaya sama Tuhan, nggak ada yang sia-sia.”

Sementara itu, ponsel yang terus bergetar seakan jadi pengingat bahwa ada hati lain yang juga sedang kacau. Dirga, lelaki yang selama ini ia perjuangkan, lelaki yang membuatnya tersenyum tapi juga menangis, tak henti-henti mencoba menghubunginya.

Namun kali ini, Klarisa benar-benar tak sanggup mengangkatnya.

Di sisi lain, kamar Dirga penuh dengan suasana murung. Lampu meja kecil menyala temaram, menyoroti wajahnya yang kuyu. Sejak satu jam lalu ia terus menelpon Klarisa, namun tak ada jawaban.

“Kenapa kamu nggak mau angkat, Sayang?” Dirga mengusap wajahnya sendiri, matanya merah karena terlalu sering menahan tangis. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak sempurna. Tapi tolong… jangan jauhin aku gini.”

Ia bersandar di kursi, menatap foto Klarisa yang terpampang di layar ponselnya. Foto itu diambil saat mereka makan siang sederhana beberapa bulan lalu. Klarisa tersenyum di sana, senyum yang selalu jadi alasan Dirga bertahan melewati kerasnya hidup.

Andai saja aku bisa minta maaf langsung sekarang juga. Andai saja aku bisa ada di sampingmu, Risa, batinnya lirih.

...****************...

Kembali ke kamar Klarisa.

Air mata yang sudah hampir kering kembali mengalir ketika Klarisa mendengar getar ponselnya berhenti. Hening itu justru membuat hatinya semakin nyeri. Seolah-olah di balik diamnya, ada jarak yang makin melebar antara dirinya dan Dirga.

Zelo masih duduk di sisi ranjang, menatap kakaknya yang mulai terlelap. Namun dari napas Klarisa yang tersengal, ia tahu tidurnya tidak tenang.

“Kasihan banget Mbakku ini,” gumam Zelo lirih. Ia meraih selimut dan menariknya perlahan, menutup tubuh Klarisa agar lebih hangat. “Kalau aja aku bisa ambil separuh bebanmu, Mbak… aku pasti ambil.”

Ia menatap ponsel yang tergeletak di meja. Jemarinya hampir saja tergerak untuk mengangkat panggilan dari Dirga, tapi ia urungkan. Biar Mbak yang mutusin. Aku nggak bisa ikut campur terlalu jauh, pikirnya.

...****************...

Keesokan paginya.

Cahaya matahari pagi menembus celah jendela. Klarisa terbangun dengan mata sembab. Rasanya kepalanya berat, tubuhnya lemas, seolah energi habis terkuras semalaman.

Zelo sudah bangun lebih dulu, duduk di ruang tamu sambil memainkan gitar tuanya. Nada pelan yang ia petik terdengar sayu, menenangkan, seakan jadi doa tanpa kata.

Klarisa melangkah pelan ke luar kamar. “Dek…” panggilnya lirih.

Zelo menghentikan petikan gitar dan menoleh. “Mbak udah bangun? Mau aku bikinin teh hangat?”

Klarisa mengangguk kecil. “Iya, Dek. Teh aja. Mbak nggak sanggup sarapan.”

Zelo bangkit, berjalan ke dapur. Sesaat kemudian, ia kembali membawa secangkir teh. “Ini Mbak, pelan-pelan ya diminumnya. Biar hangat.”

Klarisa menerima cangkir itu, menggenggamnya erat. “Makasih, Dek. Kamu selalu ada buat Mbak.”

“Ya iyalah. Aku adik Mbak. Tugas aku jagain Mbak.” Zelo tersenyum tipis.

Klarisa menunduk, menatap uap teh yang mengepul. “Tapi Mbak takut, Dek. Mbak takut kalau ketakutan yang semalam beneran jadi nyata. Kalau Kak Dirga ninggalin Mbak karena restu orangtuanya nggak ada…”

Zelo duduk di sampingnya lagi. “Mbak, aku tahu rasa takut itu nyata. Tapi Mbak nggak boleh biarin rasa takut nguasain hati Mbak. Mbak harus punya pegangan lain. Jangan semua ditaruh di tangan satu orang, termasuk Kak Dirga.”

“Kalau aja hati bisa sesederhana itu, Dek,” sahut Klarisa lirih.

...****************...

Pagi itu ia duduk termenung di meja makan rumahnya. Sarapan yang disiapkan ibunya tak disentuh. Ponsel di tangannya terus ia pandangi, berharap ada pesan masuk dari Klarisa. Tapi nihil.

Ibunya menatapnya heran. “Dirga, kamu kenapa? Dari semalam ibu lihat kamu murung terus. Makanan nggak dimakan, tidur juga kayaknya nggak nyenyak.”

Dirga menarik napas panjang. “Aku lagi ada masalah, Bu.”

“Masalah sama Klarisa lagi?” tebak ibunya.

Dirga menunduk, tak menjawab. Diamnya sudah cukup jadi jawaban.

Ibunya duduk di sebelahnya. “Nak, ibu nggak pernah maksain kamu soal pasangan. Tapi kamu juga harus tahu, restu orangtua itu penting. Kalau hubungan kamu sama Klarisa bikin keluarga kita nggak setuju, apa kamu siap terus berjuang?”

Pertanyaan itu seperti belati yang menusuk. Dirga tahu, inilah akar masalahnya: restu. Bukan soal cintanya yang kurang, bukan soal Klarisa yang salah. Tapi restu yang seakan jadi tembok tebal di hadapan mereka.

“Ibu…” suara Dirga serak, “…aku cinta sama dia. Aku nggak mau ninggalin dia.”

Ibunya menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kalau begitu, buktikan. Tapi ingat, jangan sampai kamu hancur di tengah jalan. Ibu nggak mau lihat kamu patah.”

Hari-hari berikutnya berjalan berat bagi Klarisa.

Dirga masih mencoba menghubunginya, meski Klarisa sering mengabaikan panggilan itu. Bukan karena ia tak peduli, tapi karena ia terlalu takut mendengar kenyataan. Takut jika benar Dirga hanya menelepon untuk mengucapkan kata perpisahan.

Sementara itu, Zelo selalu ada di sisinya, mencoba menghibur dengan candaan kecil atau sekadar menemani Klarisa duduk diam berjam-jam.

Suatu sore, saat hujan turun deras, Klarisa akhirnya bicara lagi.

“Dek, apa menurutmu cinta bisa melawan restu?” tanyanya lirih sambil menatap derasnya hujan di luar jendela.

Zelo menoleh. “Cinta itu bisa melawan apa aja, Mbak. Tapi melawan restu itu… berat. Karena restu bukan cuma tentang cinta dua orang, tapi juga tentang keluarga, tradisi, bahkan ego.”

“Kalau gitu, percuma dong semua perjuangan Mbak?” suara Klarisa pecah lagi.

“Enggak, Mbak. Nggak ada yang percuma. Setiap perjuangan pasti ada artinya. Kalau bukan buat dapat restu, mungkin buat nguatin hati Mbak sendiri. Mungkin buat nunjukin ke orang-orang bahwa Mbak layak dicintai dengan sungguh-sungguh.”

Klarisa terdiam, air matanya menetes lagi.

...****************...

Di malam lain, Dirga memberanikan diri mengirim pesan panjang ke Klarisa.

> “Sayang, aku tahu kamu sakit hati. Aku tahu kamu capek. Aku juga capek, Risa. Tapi aku nggak mau nyerah. Aku nggak mau restu jadi alasan kita berpisah. Tolong kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku serius. Jangan jauhin aku terus. Aku butuh kamu.”

Pesan itu lama dibiarkan Klarisa tanpa balasan. Ia membaca berulang kali, tapi jari-jarinya tak sanggup mengetikkan jawaban. Hatinya berperang: antara ingin percaya dan takut kembali hancur.

Malam berikutnya, Klarisa dan Zelo kembali berbincang.

“Mbak,” kata Zelo pelan, “aku tahu Kak Dirga bener-bener sayang sama Mbak. Aku lihat dari caranya nggak pernah nyerah hubungin Mbak. Tapi kalau Mbak terus menghindar, kapan masalahnya selesai?”

“Aku takut, Dek…” Klarisa menutup wajah dengan kedua tangannya.

Zelo memegang bahunya. “Mbak, kadang kita harus berani hadapi yang paling kita takuti. Biarpun sakit, biarpun berat, setidaknya kita nggak akan terus dihantui rasa penasaran.”

Klarisa menatap adiknya lama, lalu mengangguk pelan. “Mungkin kamu bener, Dek. Mungkin Mbak harus berani ngomong langsung sama Kak Dirga. Biar jelas.”

Keesokan harinya.

Dengan jantung berdebar, Klarisa akhirnya mengirim pesan singkat ke Dirga:

> “Kita ketemu ya tolong segera ke Lampung. Aku butuh jawaban pasti.”

Tak lama kemudian, balasan datang.

> “Kapan pun kamu mau, aku akan segera memesan tiket untuk ke Lampung. Aku siap.”

---

Pertemuan itu terjadi di sebuah cafe kecil, dengan wajah yang lelah setelah perjalanan panjang menuju Lampung dari Tanggerang Dirga menemui Klarisa lagi. Hujan baru saja reda, udara masih dingin. Klarisa datang dengan wajah lelah, tapi matanya tegas. Dirga sudah menunggunya di meja pojok, wajahnya penuh harap sekaligus takut.

Ketika Klarisa duduk, hening menyelimuti mereka beberapa menit.

“Aku datang bukan buat berdebat,” kata Klarisa akhirnya. “Aku cuma mau tahu, Kak. Kamu serius sama aku atau nggak? Kamu siap lawan semua penolakan itu atau enggak?”

Dirga menatap matanya dalam-dalam. “Aku serius, Risa. Aku siap. Aku nggak peduli harus berapa kali ditolak, aku akan tetap berdiri di sampingmu.”

Air mata Klarisa jatuh tanpa bisa ditahan. “Jangan cuma janji, Kak. Jangan bikin aku berharap terus ujung-ujungnya ditinggal.”

Dirga meraih tangannya erat. “Aku janji. Aku nggak akan ninggalin kamu. Sekalipun dunia nggak kasih restu, aku akan tetap pilih kamu.”

Klarisa terisak, menggenggam tangan Dirga semakin kuat. Di dalam hatinya, masih ada rasa takut. Tapi untuk pertama kali setelah sekian lama, ada juga sedikit rasa lega.

...****************...

Di luar kafe, Zelo diam-diam memperhatikan dari jauh. Ia sengaja ikut mengantar tapi memilih tidak masuk. Melihat Klarisa dan Dirga akhirnya duduk bersama, ia tersenyum tipis.

“Semoga kali ini bener-bener bisa bikin Mbak bahagia,” gumamnya. “Karena aku nggak sanggup lihat dia hancur lagi.”

...****************...

Malam itu, Klarisa pulang dengan hati campur aduk. Ia masih takut, tapi ada secercah harapan. Dirga tetap menggenggam tangannya hingga mereka berpisah di depan rumah.

Saat masuk kamar, Klarisa memandang Zelo yang langsung berdiri menyambut.

“Gimana, Mbak?” tanya adiknya penasaran.

Klarisa tersenyum tipis meski matanya masih sembab. “Kak Dirga janji nggak akan ninggalin Mbak.”

Zelo mengangguk. “Syukurlah. Tapi ingat, Mbak. Janji itu harus dibuktiin. Jangan percaya seratus persen dulu. Tapi setidaknya… Mbak udah berani hadapi ketakutan itu.”

Klarisa memeluk adiknya erat. “Makasih, Dek. Kalau nggak ada kamu, Mbak mungkin udah hancur.”

Dirga, di kamarnya malam itu, menatap langit-langit dengan senyum tipis.

“Terima kasih, Sayang, udah kasih aku kesempatan lagi. Aku janji kali ini aku nggak akan bikin kamu kecewa,” bisiknya, sebelum matanya akhirnya terpejam dengan hati yang lebih ringan.

Namun, perjalanan mereka belum selesai. Restu masih jadi tembok besar yang harus mereka hadapi. Klarisa masih dihantui rasa takut. Dirga masih harus berjuang membuktikan keseriusannya.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka berdua tidur dengan perasaan sedikit lebih tenang. Karena setidaknya, mereka masih punya satu sama lain.

Dan di ruang tamu, Zelo kembali berdoa dalam hati.

“Ya Tuhan, kuatkan Kakakku. Kuatkan juga Kak Dirga. Kalau memang mereka ditakdirkan bersama, tolong beri jalan. Jangan biarkan mereka hancur lagi. Amin.”

Malam itu Klarisa mencoba memejamkan mata, tapi rasa was-was belum sepenuhnya hilang. Janji Dirga masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat hatinya bimbang antara percaya atau kembali meragu. Zelo sudah tertidur pulas di kamarnya, sedangkan di luar, hujan mulai turun deras lagi, menimbulkan suara gemuruh yang membuat suasana makin muram.

Ponselnya yang tergeletak di meja kembali bergetar. Klarisa sempat ragu untuk melihatnya. Ia kira dari Dirga lagi, tapi ketika ia akhirnya meraih ponsel itu, nama yang muncul membuat jantungnya langsung berdegup kencang.

Bukan Dirga.

Bukan juga pesan singkat biasa.

Sebuah nomor asing mengirimkan pesan:

> “Kamu nggak akan pernah bisa bahagia sama dia. Restu itu bukan sekadar kata. Kalau kamu masih maksa, siap-siap aja kehilangan lebih banyak dari yang kamu punya.”

Klarisa menahan napas, tubuhnya gemetar. Jemarinya bergetar membaca kalimat itu. Air matanya jatuh lagi, bukan hanya karena takut, tapi juga karena bingung siapa yang tega mengirim ancaman semacam itu.

Di kamar lain, Dirga menatap ponselnya juga. Ia baru saja menerima pesan serupa, hanya dengan kata-kata yang lebih menusuk:

> “Berhenti sama Klarisa sebelum semuanya terlambat. Ini peringatan terakhir.”

Dirga mengatupkan rahangnya, wajahnya tegang. Ia langsung berdiri, menatap jendela kamar yang basah oleh hujan.

“Siapa pun kamu…” gumamnya pelan tapi penuh amarah, “…aku nggak akan mundur.”

Namun dalam hati kecilnya, ketakutan mulai merayap. Ancaman ini bukan lagi soal restu orangtua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya menunggu di depan.

Dan malam itu, tanpa mereka sadari, seseorang sedang mengintai dari kejauhan, berdiri di balik gelapnya hujan, menatap rumah Klarisa dengan tatapan dingin.

Namun, Klarisa sangat keras kali ini, baginya cinta akan membuatnya bisa meraih Dirga, walaupun jalannya terasa sangat berliku namun ia percaya keajaiban akan datang kepadanya dan Dirga, jika hidup tidak memberi jawaban pasti ia tahu Tuhan akan membuatnya melihat jawaban itu, karena gelap tak akan selamanya gelap, ia mencoba untuk terlelap, mencoba untuk berhenti sejenak memikirkan masalah didalam hubungannya dengan Dirga.

Malam semakin larut membawa Dirga dan Klarisa untuk beristirahat dengan tenang, tanpa gangguan dari siapapun walaupun kepala mereka sama-sama berisik.

Di kamar terpisah dan jauh dari Klarisa, Dirga terbaring menatap langit-langit. Ia ingin sekali menutup mata, tapi pikirannya berlari jauh ke masa depan. Apakah benar semua perjuangannya akan berakhir manis? Ataukah justru ia akan melihat Klarisa terluka karena cinta yang mereka pertahankan? Sesekali ia memejamkan mata, tapi rasa was-was membuatnya kembali membuka kelopak, menatap kosong.

Di sisi lain, Klarisa akhirnya berhasil terlelap, meski tidurnya tak sepenuhnya nyenyak. Mimpi-mimpi aneh menghampirinya. Dalam mimpinya, ia berjalan di sebuah jalan panjang yang penuh kabut. Dirga ada di seberang, memanggil namanya. Namun, setiap kali ia berlari mendekat, kabut semakin tebal, langkahnya semakin berat, dan suara Dirga perlahan memudar. Hingga akhirnya hanya ada hening dan dingin.

Klarisa terbangun dengan napas terengah, peluh dingin menetes di keningnya. Ia memandang jam di meja kecil—pukul 02.47 dini hari. Ia mencoba menenangkan diri, meneguk segelas air putih, lalu menutup mata kembali. Namun hatinya berkata lain. Ada firasat buruk yang terus menempel, entah tentang dirinya, Dirga, atau hubungan mereka.

Sementara itu, di luar rumah, hujan yang semula reda kini turun lagi dengan lebih deras. Angin berembus kencang, membuat jendela-jendela bergetar. Ada bayangan seseorang berdiri di ujung jalan, berdiam diri menatap rumah itu. Siluet tubuhnya samar tertutup jas hujan panjang, namun sorot matanya yang dingin seakan bisa menembus dinding rumah.

Dirga yang belum juga bisa tidur akhirnya bangkit dari ranjang. Ia berjalan ke arah jendela, lalu menyingkap tirai. Sekilas ia merasa ada sesuatu di luar sana. Ia mengerjapkan mata, menajamkan pandangan. Bayangan itu terlihat jelas beberapa detik, lalu hilang begitu saja, menyisakan jalanan kosong yang basah oleh hujan.

“Halusinasi?” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa tidak enak itu tetap menempel di dadanya.

Ia mengusap wajahnya, lalu kembali ke ranjang. Ponselnya bergetar pelan. Ia meraihnya dengan malas, namun matanya langsung membelalak ketika melihat pesan yang baru masuk.

> “Aku sudah bilang jangan nekat. Ini baru permulaan. Pilih: mundur, atau siap kehilangan.”

Dirga terdiam. Nafasnya memburu, amarah bercampur ketakutan. Ia ingin membalas pesan itu, ingin menuntut siapa pengirimnya, tapi ia tahu percuma. Nomornya pasti akan selalu berganti, dan ancaman ini jelas bukan main-main.

Ia memandang ke arah kamar Klarisa yang hanya dipisahkan oleh dinding. Hatinya teriris. Ia ingin melindungi gadis itu, tapi ia juga sadar dirinya tidak tahu harus mulai dari mana.

Beberapa meter dari situ, Klarisa kembali terbangun karena ponselnya bergetar. Dengan malas ia meraih ponsel. Pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar.

> “Kamu pikir cinta bisa melawan semuanya? Salah. Cinta itu justru akan menghancurkanmu kalau kamu terus keras kepala. Pikirkan baik-baik, Klarisa. Jangan tunggu sampai semuanya terlambat.”

Klarisa tertegun. Dadanya sesak, matanya memanas. Ia ingin berteriak, ingin membuang ponsel itu jauh-jauh, tapi tubuhnya hanya diam terpaku. Rasa takut berusaha menyerang, namun ia menguatkan diri. Tangannya mengepal.

“Tidak… aku tidak akan mundur,” bisiknya pelan, hampir seperti doa. “Aku percaya Tuhan bersama kami. Siapa pun kamu, aku tidak takut.”

Meski berkata begitu, air matanya tetap jatuh. Ia menenggelamkan wajahnya ke bantal, berusaha membungkam tangis agar tidak terdengar. Dalam hatinya, Klarisa semakin yakin bahwa hubungan ini bukan hanya tentang restu orangtua, tapi ada sesuatu yang lebih besar dan lebih kelam yang sedang mereka hadapi.

Waktu terus berjalan, malam makin pekat. Di tengah derasnya hujan, sosok misterius itu masih bertahan di kejauhan, menyalakan rokok dan menghembuskan asap dengan tenang. Seolah-olah semua ancaman tadi hanyalah awal dari permainan yang lebih panjang.

Dirga akhirnya tertidur dengan perasaan tak tenang. Klarisa pun terlelap dalam tangis yang tertahan. Mereka berdua tidak tahu bahwa keesokan harinya, hidup mereka akan kembali berubah.

Matahari akan terbit dengan membawa babak baru. Babak di mana cinta mereka akan diuji, bukan hanya oleh restu, tapi juga oleh kekuatan tak kasatmata yang siap menguji kesetiaan mereka sampai titik darah terakhir.

Dan malam itu berakhir dengan pertanyaan menggantung di udara:

Apakah cinta benar-benar cukup untuk melawan segalanya?

Ataukah cinta justru akan menjadi senjata yang menghancurkan mereka?

Apa yang akan terjadi dengan hubungan Dirga dan Klarisa? akankah mereka akan berhenti berjuang atau menghalalkan segala cara untuk meraih restu ibundanya Dirga?

Jika tidak bisa dengan cara baik-baik, apakah harus dengan cara yang jahat agar ibundanya merestui hubungan mereka?

1
TokoFebri
kalau dalam Islam ridho ibu adalah ridho Allah. tapi kalau sudah cinta, biasanya tetap di terjang dengan berdasarkan keyakinan.
Goresan_Pena421: 🙂 kali ini bisa kah begitu ya kak 😭 di real lifenya ga kalah menegangkan soalnya. 😉
total 1 replies
TokoFebri
banyak banget nama panggilannya
Goresan_Pena421: 🙂 nanti ada part dimana beda nama panggilan beda cerita kak.
total 1 replies
TokoFebri
biasaanya sanggup 😢
Goresan_Pena421: 🙂 susah kak nanti ujungnya gini "Kalau kita pacaran udah lama tapi Emang ga bisa, udah ya kita putus aja," 🙂 karena anak laki-laki milik ibunya sampai ia meninggal sementara anak perempuan milik ayahnya sampai ia menikah. 😊
total 1 replies
Amerta
🙏 Terbawa dalam suasana yang tercipta dari tulisan author. 🥹 sayangnya restu tidak bisa di COD ya thor 🤭
SETO ristyo anugrah putra
Bagus, novel nya aku suka kak.
Goresan_Pena421: Terima kasih kak Seto 🙏✨ masih belajar nulis ini kak pemula.
total 1 replies
Nadin Alina
Betul, kalau jodoh pasti akan dipersatukan mau sesulit apapun itu Klarisa
Goresan_Pena421: 🙂 Klarisa masih yakin kalau gelap ga selamanya gelap dek.
total 1 replies
Nadin Alina
Klarisa, panggilan kamu banyak banget. Kayak cintanya Dirga ke kamu...
Eaakk🤭😂
Goresan_Pena421: 😍😍🤣🤣🤭
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!