Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
Pagi itu, Faizan sudah duduk di sofa kamar hotelnya, masih mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Kopi hitam mengepul di meja di depannya, sementara layar laptop memantulkan angka-angka laporan bisnis yang tengah ia pelajari.
Ponselnya berdering. Nama “My Mom” muncul di layar. Faizan sempat memijat pelipisnya sebelum mengangkat.
“Ya, Mah,” ucapnya datar.
“Faiz… Alea tidak ada di kamarnya!” suara Ibu Maisaroh terdengar panik. “Ibu sudah cari ke seluruh rumah, tidak ada! Pagi ini Ibu bawa sarapan, tapi kamarnya kosong,!”
Faizan hanya terdiam sebentar, menatap kosong ke arah layar laptopnya. Lalu ia berkata dengan suara tenang, tanpa nada terkejut sama sekali, “Kalau dia pergi, berarti dia sedang butuh waktu sendiri.”
“Faiz! Kamu dengar Mamah tidak? Dia pergi entah ke mana, sendirian! Bagaimana kalau—”
“Mah,” potong Faizan cepat, suaranya tetap dingin. “Dia sudah dewasa. Dia bisa jaga dirinya. Kalau dia butuh sesuatu, dia pasti akan pulang menghubungi Mama.”
Ibu Maisaroh terdengar nyaris frustasi di ujung telepon. “Kamu ini… Alea itu istrimu! Bukannya khawatir, kamu malah—”
“Mah,” Faizan kembali memotong, kali ini nadanya sedikit tegas tapi tetap datar, “ sudah ya, jangan mengulang terus ucapan Mama yang itu, Faiz ada rapat sebentar lagi. Nanti kalau ada kabar, kasih tahu saja. Tidak perlu panik.”
Tanpa menunggu jawaban, Faizan menutup telepon. Ia mengambil cangkir kopi, menyeruputnya perlahan seolah tidak ada yang terjadi, lalu kembali menatap layar laptop.
Bagi Faizan, pekerjaan tetaplah prioritas. Masalah rumah? Itu urusan belakangan.
Nayla yang masih terlelap di atas ranjang. Matanya mengerjapkan pelan, berusaha menyesuaikan pandangan.
Suara ketikan laptop terdengar samar dari sofa. Nayla menoleh dan melihat Faizan duduk tegap di sana, wajahnya serius penuh konsentrasi menatap layar.
Ada sesuatu di raut wajah Faizan saat sedang serius bekerja—garis rahangnya terlihat tegas, alisnya sedikit berkerut, dan ekspresinya… dingin, tapi di mata Nayla justru membuatnya terlihat begitu menawan.
Nayla tertegun beberapa detik. Ia bahkan lupa rasa nyeri di kakinya yang belum pulih benar.
"Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat sesempurna itu saat sedang diam?" batinnya.
Tanpa sadar, Nayla memandangi Faizan cukup lama hingga pria itu menoleh sekilas. “Sudah bangun?” tanyanya singkat, suaranya tetap datar.
Nayla tersentak kecil, buru-buru mengangguk. “I-iya… baru saja.”
Faizan kembali fokus ke laptopnya, jari-jarinya mengetik cepat, seolah tak menyadari bahwa ada seorang gadis yang diam-diam memperhatikan setiap gerakannya dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Di hati Nayla, pertanyaan-pertanyaan tentang pria itu semakin menumpuk—siapa sebenarnya Faizan, dan kenapa hidupnya terasa penuh misteri?
Nayla lalu mencoba bangkit perlahan dari ranjang. Kakinya yang masih diperban terasa kaku, tapi ia ingin sekali mandi untuk menyegarkan tubuh setelah semalaman hanya berbaring.
Pelan-pelan ia menurunkan kakinya ke lantai. Satu langkah… dua langkah… namun rasa sakit langsung membuat tubuhnya goyah.
“Ah!” seru Nayla pelan ketika kakinya terpeleset sedikit. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai.
Faizan yang sedari tadi masih duduk di sofa langsung berdiri cepat. “Hati-hati!” serunya singkat. Dalam dua langkah lebar, ia menghampiri Nayla dan memegang lengannya agar tidak jatuh.
"Mau kemana?” nada Faizan terdengar datar, tapi tangannya kuat menopang tubuh Nayla.
“Aku… cuma mau mandi,” jawab Nayla lirih, merasa sedikit malu.
Faizan menatapnya sebentar, lalu tanpa banyak bicara memapah Nayla perlahan ke kamar mandi. “Pegang bahu saya. Jangan pakai kaki yang sakit.”
Nayla menurut, memegang bahu Faizan dengan hati-hati. Ia bisa merasakan keteguhan dalam genggaman pria itu, kontras sekali dengan wajahnya yang tetap dingin tanpa ekspresi.
Sesampainya di depan pintu kamar mandi, Faizan memastikan Nayla bisa bersandar di dinding dengan aman sebelum berkata, “Saya tunggu di luar. Kalau butuh bantuan, panggil saja.”
Nayla mengangguk pelan, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat—bukan hanya karena nyeri di kakinya, tapi juga karena sikap Faizan yang begitu tenang namun tetap membuatnya gugup entah kenapa.
---
Di tempat lain, dalam perjalanan berliku mulai berganti pemandangan hijau. Sawah-sawah terbentang luas di bawah langit biru, udara desa terasa jauh lebih segar dibanding hiruk-pikuk kota. Di dalam mobil travel yang ia tumpangi, Alea duduk di kursi dekat jendela. Rambutnya tergerai menutupi sebagian wajah, matanya menatap kosong ke arah pemandangan yang terus berganti.
Di pangkuannya, sebuah tas kain berisi beberapa pakaian dan dokumen penting menjadi satu-satunya barang yang ia bawa dari rumah besar itu. Ia menarik napas panjang. Di kepalanya, suara-suara dari masa lalu bergaung—terutama dinginnya suara Faizan yang selalu terdengar tak peduli.
"Di sini mungkin aku sedikit bisa tenang…" batinnya. "Setidaknya sampai aku tahu harus bagaimana dengan hidupku sendiri."
Pikirannya sempat melayang pada Tante Mira, kakak perempuan ibunya yang tinggal di desa kecil ini. Tante Mira orang yang lembut, terakhir kali mereka bertemu sekitar setahun lalu di acara keluarga. Waktu itu Tante Mira sempat bilang, “Kalau kamu butuh tempat untuk tinggal, datang saja ke rumah Tante.”
Dan kini Alea benar-benar memutuskan melakukannya.
Mobil travel perlahan memasuki jalanan kecil menuju desa. Alea menatap keluar, melihat anak-anak berlarian di pematang sawah, para ibu menyapu halaman rumah. Semua terasa jauh berbeda dengan kehidupannya di kota—lebih sederhana, lebih hangat.
Di ujung jalan, rumah kayu bercat putih dengan halaman penuh bunga mulai terlihat. Alea bisa melihat sosok Tante Mira berdiri di beranda. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari, hati Alea merasa sedikit lega.
Begitu mobil travel berhenti di depan rumah kayu itu, Alea menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu. Tas kain kecilnya ia genggam erat.
“Alea!” suara Tante Mira memecah keheningan setelah membuka pintu rumahnya, penuh dengan kehangatan. Wanita paruh baya itu segera menghampiri keponakannya. Senyum lebar menghiasi wajahnya, sementara mata Alea berkaca-kaca melihat sosok yang begitu ramah menyambutnya.
“Tante…” suara Alea bergetar pelan.
Tanpa banyak bicara, Tante Mira langsung memeluk Alea erat-erat. “Nak, akhirnya kamu datang juga ke rumah Tante. Ya ampun, kamu pasti capek sekali. Sini, masuk dulu.”
Pelukan itu membuat Alea merasa seolah beban berat di dadanya sedikit terangkat. Keheningan panjang di rumahnya, dinginnya sikap Faizan, semuanya seakan berjarak ketika berada di pelukan tante yang penuh kasih ini.
“Terima kasih, Tante,” ucap Alea lirih, berusaha menahan air matanya.
Tante Mira menatap wajah Alea yang terlihat lelah. “Ah, kamu ini… Ini rumahmu juga, Nak. Sekarang masuk dulu,”
Alea hanya mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya untuk pertama kali setelah sekian lama. Ia mengikuti Tante Mira masuk ke rumah, merasakan suasana hangat yang kontras dengan rumah besar tempat ia tinggalkan di kota. Di ruang tamu sederhana dengan bau kayu yang khas, Alea merasa… mungkin inilah tempat ia bisa benar-benar bernapas lagi.
...----------------...
Bersambung...