Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Layu yang Tak Menyerah
Siksaan itu kembali. Kamar mandi rumah sakit yang menjadi saksi. Mala terlalu lemah untuk berjalan sendiri. Walaupun pikiran Mala mendengungkan sanggup.
"Seharusnya kamu diam saja di atas ranjang!" gerutu Bram. Terpaksa ia yang merawat Mala, tidak ada orang lain lagi.
"Terlalu risih, Pah. Sudah nggak tahan." Mala beralasan tak mau menunggu perawat. Mala datang bulan, dan ini bukan jadwal seharusnya mendapatkan menstruasi. Masih dalam kondisi terhuyung-huyung. Mala memaksa ke kamar mandi. Merasa lebih kuat setelah selama lima hari hanya bisa tergeletak.
Bram suaminya, Mala pikir sudah sepantasnya suami mau membantu istrinya hingga ke kamar mandi. Rupanya Bram tidak sependapat. Di dalam kamar mandi, dia memang membantu istrinya. Memegangi infus, memapah dan mendudukan Mala di closet. Tapi itu semua Bram lakukan dengan kasar.
"Aku yang harus membayar tagihan rumah sakit, aku juga yang harus merawatmu!" omelnya pada Mala.
Mala yang sedang berupaya sembuh jadi ngedrop lagi.Kepala Mala masih pusing tujuh keliling ditambah harus mendengar ocehan Bram.
"Aku 'kan harus kerja, cari uang buat bayar rumah sakit kamu! Kenapa sih kamu selalu jadi penghalang dari rencana-rencanaku? Harusnya aku sudah ada di luar kota!"
Mala mendesis pelan. Muak, sungguh muak mendengarkan terus celotehan begini. Namun, tak ada pilihan lain. Hanya ada Maya dan Bram bergantian menjaganya. Saat ini Maya pulang mengambil baju ganti. Terpaksalah Mala meminta bantuan Bram menuntunnya ke kamar mandi. Mala memang sedikit ngeyel untuk turun dari ranjang. Sebab itu Bram kesal, walau menuruti tapi sambil marah-marah.
Ponsel Bram terus bergetar, Mala jadi jengah. Bram tidak fokus pada istrinya. Sampai Mala kesakitan karena Bram salah mengangkat tangannya.
"Auw!" pekik Mala.
Pekikan berujung tersulutnya tindak kasar Bram. Mendorong-dorong punggung Mala sampai terpojok di dinding.
"Makanya, jadi istri nurut sama suami!"
Belum cukup, tangan Bram mendorong kepala Mala kasar. Seolah Mala menyeretnya dalam masalah besar dan ia ingin menyeret Mala dalam siksaan.
"Kamu itu kalau dibilangin ngeyel! Baru juga selamat dari maut. Kamu pikir kemarin itu ... Kalau aku nggak tanda tangan transfusi darah, sekarang ini kamu masih hidup, hah?!"
Deg..
Mala terkesiap, Bram kok tega berkata seperti itu. Benar-benar lenyap sudah sosok Bram yang dulu berpacaran selama empat tahun dengannya tanpa keributan dan tanpa drama.
Setelah menikah, sudah full drama. Apa karena saat berpacaran tidak tinggal bersama sehingga belum terlihat sifat aslinya? Mala tak memahami juga, yang pasti Bram saat menjadi suami berbeda dengan Bram sebagai pacar.
Dulu, Mala berkeyakinan penuh untuk menikahinya. Didorong oleh situasi dan kondisi hubungan Mala dengan orang tuanya. Mala pikir bisa menyelamatkan dirinya dengan cepat menikah. Sekarang Mala tahu itu kekeliruan terbesarnya. Menikah ... seharusnya bukanlah keputusan yang diambil untuk melarikan diri dari suatu masalah.
Braak .... Bram menendang pintu.
"Cepat sedikit!" cubitnya gemas pada lengan Mala. Gemas yang lebih ke arah tak sabar. Ketidaksabaran Bram malah membuat tambah kekacauan. Ketika hendak meletakkan shower ke tempat tinggi. Tanpa sengaja Bram menekan tombol on dan air shower menyiprat ke segala arah. Makin Bram kesal, makin lama mematikan air keran.
Pikirannya sudah dipenuhi rasa kesal, benci pada Mala.
Mala memilih diam. Tak ada siapa pun di kamar vip ini kecuali Bram dan dirinya. Berpikir dengan logika saja. Bisa bahaya kalau Mala melawan.
Apa yang dilakukan Bram nanti jika aku membantahnya? Bukan berarti kalah Mala, tapi ini strategi. Diam saja dulu atau kau bisa mati konyol!
Itu suara hati Mala.
***
Mala sudah berbaring di ranjang. Bram mengeringkan rambut Mala dengan handuk. Bram sendiri pun telah berganti pakaian kering. Namun, Bram pemarah itu masih saja sibuk mengomel.
Tuhan, aku lepas dari kematian karena penyakit, kurasa aku bisa mati berdiri karena mulutnya yang pedas.
Keluh Mala dalam hatinya.
Sementara ponsel Bram terus saja mengirimkan notifikasi. Bram yang mulai melembut kembali terlihat sangat membenci Mala setelah membaca pesan-pesan tersebut. Entahlah siapa yang mengirim pesan dengan tak sabar. Sehingga Bram harus terburu-buru datang menemui si pengirim pesan. Tepat kedatangan Maya, Bram meluncur pergi.
"Selalu begitu, kalau kalian kutinggal berdua," ucap Maya menampilkan wajah lelah.
Sebagai anak pertama Maya paling peka dan sudah tahu ciri-ciri bila orang tuanya habis berantem.
"Mamah, kesakitan?" tanya Maya mengusap. bekas lebam di lengan Mala. Sesal Maya merangkak naik, wujud ketidaksabaran papahnya tergambar jelas pada lebam bekas cubitan di lengan mamahnya.
"Nggak apa-apa, Nak," bisik Mala lembut.
Luka lebam tak seberapa jika dibandingkan luka mental yang menganga. Mental Mala hancur dan hampir tak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Perkataan Bram harus ia telan karena memang saat ini hanya Bram yang sanggup membayar tagihan rumah sakitnya. Mala mencoba berpikir waras, atau mencoba mengelabuhi harga dirinya.
Jika Bram tidak memasukkannya ke ruang vip, mungkin saja Mala dengan saldo mungil rekeningnya masih bisa mengurus itu sendiri. Hasil dari membuat konten produk dan membuat comission art yang jumlah pemasukannya tak tentu di tiap bulannya.
"Hari kemarin itu luar biasa, ya, Mah. Untunglah berhasil kita lewatin itu semua."
Maya mengambil napas lega. Sejujurnya, Mala tak ingat apa pun yang terjadi kemarin. Ada ingatan Maya menangis dan terus-terusan menggeleng tak mau Mala pasrah. Mengajak terus Mala bicara. Sampai akhirnya saat Maya dipanggil dokter untuk menghubungi papahnya karena mamahnya kritis, ada seorang pria asing berpeci mengetuk ruang vip ramah. Orang itu mengklaim dirinya sebagai pendoa untuk pasien.
Baru dari dia Mala mengetahui kondisi sebenarnya. Bahwa kemungkinan harapan hidup untuk Mala hanya terjadi bila Mala sendiri masih berkeinginan untuk hidup. Pria itu mendoakannya tulus. Dan ada kalimat yang mengetuk sanubari Mala. Dia mengatakan agar Mala mengingat orang-orang yang Mala sayangi.
Berkata semua musibah yang Mala hadapi adalah ujian untuk naik level. Menuntun Mala agar terus berdoa dan percaya jika rencana Tuhan akan selalu baik. Dan di antara napas tersengal ada sekelumit harapan dari Mala untuk bangkit melawan.
Jika aku kalah, oleh penyakit, oleh beban pikiran akhir-akhir ini, lalu bagaimana dengan anak-anakku. Mala memahami jika dirinya tak diberi cukup kesempatan untuk berduka atas kehilangan ibunya. Itu yang membuat Mala merosot ketahanan tubuhnya. Ia terluka fisik maupun non fisik.
Sempat menanyakan pada orang tak dikenal itu, jika Tuhan memberi kesempatan sehat kembali ... Apakah Mala akan siap jika tabir rahasia di sekelilingnya terkuak? Bagi Mala tak mudah menghadapi kenyataan akan kehilangan lagi setelah kehilangan ibunya. Tapi dia juga kasihan pada anak-anak bila mengalami masa pertumbuhan tanpa dirinya. Siapa yang akan menemani mereka? Apa Bram merawat mereka dan bukannya asyik sendiri? Apa Bram menitipkan pada keluarganya di Semarang? Lalu bagaimana nasib ayah Mala tanpa Mala?
Akh, entahlah ... rasanya sesak ... terlalu sesak ... dan aku tidak bisa bertanggungjawab pada kebahagiaan banyak orang.
Seharusnya tidak, tetapi aku memilih untuk memusingkan diriku. Masih ada alasan aku harus menetap di bumi. Hidupku berarti untuk kehidupan banyak orang.
"Tuan, apa bunga yang layu bisa kembali hidup?" tanya Mala pada orang asing.
Orang itu mengangguk, "Asal jangan menyerah!"
Pria itu tersenyum dan berbalik pergi.
Saat itulah terakhir Mala melihatnya. Pendoa lain datang ketika Mala telah menghabiskan lima kantung darah. Kurang lebih selama lima hari kondisi Mala masih naik turun, sampai akhirnya hari ke tujuh. Kesehatannya pulih dan ingin cepat kembali ke rumah.
Mala mengkhawatirkan biaya rumah sakit yang membengkak dan bisa menjadi senjata Bram untuk menekan Mala.
***
"Saat ini apa yang sebaiknya aku lakukan, ya?" tanya Mala pada plafon ruang vip.
Ia menatap pintu, berharap orang itu muncul agar Mala dapat berpamitan dan mengucapkan terima kasih.
"Tuan, aku ingin bangkit dan melawan!"