Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Potensi Bencana
MEREKA bertiga menyantap pizza dengan lahap. Kebetulan Davin dan Rayan memang belum sarapan. Davin masih asyik mengamati pola gelombang suara Umbral di laptop—sambil membawa potongan pizza ke mulutnya. Sesekali suara Rayan mengalihkan perhatiannya. Sementara Tari ngobrol dengan Sasha, Naya dan Elisa di grup WA tentang aktivitas mereka masing-masing. Dia selfie sebentar dengan latar kedua cowok itu untuk dikirimkan ke grup.
“Lo ngerti apa maksud Prof A dengan “kiamat datang lebih awal”?” tanya Rayan sambil mengunyah pizza. “Emangnya separah itu kalau Umbral nongol?”
Davin mengangkat wajahnya. Dia meraih teh kotak dingin di atas meja, lalu menyeruputnya beberapa tegukan.
“Menurut gue, kalimat Papa lebih ke metafora,” sahutnya. “Tapi Papa pasti nggak sembarang ngomong. Kalau Umbral muncul, itu artinya bencana, Bro. Dia bisa bikin distorsi ruang, distorsi waktu… bahkan distorsi persepsi.”
Rayan menyeringai masam. “Thanks, Prof. Lo bikin gue mulai pusing. Bahasa planet apa itu? Coba jelasin kayak gue anak kelas satu SD.”
Davin mengetuk halaman catatan Adrian di laptop dengan jarinya. “Kalau kita terpapar energinya, menurut catatan Papa, kita bakal ngalamin distorsi ruang. Kita ngerasa jarak yang mestinya sepuluh meter, tiba-tiba jadi dua meter doang. Atau misalkan lo lagi jalan di koridor gedung, harusnya ada tiga pintu sebelum tikungan. Tapi tiba-tiba lo cuma liat dua, atau malah liat pintu keempat yang nggak pernah ada sebelumnya. Ruangan bisa “menyusun ulang” dirinya.”
Rayan mengangkat alisnya dengan dramatis. “Kayak di film fiksi ilmiah?”
“Ya, sederhananya kayak gitu. Tapi apa yang lo liat dan alamin beneran terjadi.”
“Dan Umbral juga bisa bikin distorsi waktu?” tanya Tari datar.
Davin menatap kedua sahabatnya. “Ya, menurut catatan Papa. Jujur aja, gue bukannya nggak skeptis terhadap teori-teori ini. Tapi gue tetap berpegang pada pendapat Papa sampai terbukti salah.”
“Prof A seorang ilmuwan, Dev,” ujar Tari. “Beliau bukan pengarang buku fiksi ilmiah.”
Rayan menyeringai miring pada Tari. “You tell us about that, Babe,” ujarnya setengah bercanda. “Gue pribadi percaya sejuta persen pada riset ilmiah Prof A. Oke, kita kembali ke laptop. Jadi, maksudnya, Umbral bisa bikin orientasi waktu jadi kacau?”
“Ya, waktu kerasa kayak macet atau meloncat—itu maksudnya distorsi waktu. Misalnya lo lagi rekam kamera enam puluh menit, tapi ketika dicek, file-nya cuma empat puluh dua menit. Sisanya lenyap, padahal lo yakin nggak pernah matiin kamera. Atau kebalikannya: lo ngerasa baru ngobrol sebentar, tapi pas liat jam, ternyata udah tiga jam lewat. Jadi, Umbral bukan cuma bisa bikin kejadian hilang, tapi ingatan kita juga bisa diputus di tengah jalan. Ringkasnya, paparan energinya sangat berbahaya. Belum lagi distorsi persepsi.”
Rayan tidak jadi menyeruput teh kotaknya. “Nah, apaan lagi itu?”
“Ini yang paling fatal, Bro. Distorsi pikiran bikin otak lo nyusun realitas yang salah. Lo bisa dengar suara teman, padahal dia nggak ngomong—atau lo bisa liat bayangan orang di pojok, padahal ruangan kosong. Nah, kalau yang lo liat salah, yang lo dengar salah, dan yang lo rasakan salah, gimana lo bisa tahu mana realita sebenarnya?”
“Wow, maksud lo kayak halu gitu?” tanya Rayan lagi setengah kecut.
Davin menggeleng pelan. “Bukan sekedar halu, Bro. Kalau halusinasi biasa kan cuma terjadi di kepala orang. Tapi distorsi persepsi yang disebabkan Umbral ini jauh lebih gila. Dia bisa bikin lo yakin seratus persen sama sesuatu yang nggak pernah ada. Bukan cuma liat atau dengar, tapi lo bisa sampai nyium, ngerasain teksturnya, bahkan kalau lo sentuh… ada sensasinya. Jadi buat otak lo, itu nyata.”
Tari menelan ludah. “Itu bisa membunuh, Dev.”
“Makanya gue bilang tadi, distorsi persepsi paling fatal.”
“Gila, Prof. Jadi kalau gue tiba-tiba liat pizza gue berubah jadi kepala ular, gue bakal yakin itu beneran kepala ular?”
“Dan lo ngerasa bisa nyentuh kepala itu. Lo bisa mati karena hal itu. Karena otak lo percaya. Lo kaget, lo syok, lo bisa kena serangan jantung.”
“Pasti auto-mati-konyol, Prof.”
Davin tersenyum tipis. “Itu kayak “kiamat kecil,” kan?”
“Sekarang gue ngerti apa maksud Prof A.” Rayan menghembuskan napas agak keras. “Tapi moga-moga hal itu nggak akan pernah terjadi. Paling nggak, sampai gue bisa hadir di ultah Sasha ke-80.”
Tari menatapnya sebentar, lalu dia menoleh lagi pada Davin. Dia sedikit memiringkan kepalanya. “Mungkin sebaiknya nggak usah, Dev.”
Rayan mengangkat alis. “Nggak usah apa?”
“Davin mau pergi ke kolam renang itu lagi.”
Rayan menatapnya tak percaya. Tanpa sadar bulu kuduknya setengah berdiri. “Lo bisa ngebaca pikiran dia? Really?”
Davin dan Tari tak menjawab. Tapi Rayan tak perlu jawaban verbal lagi ketika melihat Davin memasukkan ponsel, laptop dan tabletnya ke dalam ransel.