NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hilangnya sayap hitam

Lampu minyak bergoyang pelan di ruang kerja Balai Hitam Kekaisaran. Meja besar dari kayu gelap penuh dengan tumpukan dokumen, peta terbentang separuh, dan laporan perang ditindih pemberat besi. Aroma tinta bercampur asap perapian, sehingga memenuhi ruangan.

Duke Orion von Draevenhart duduk tegak di kursinya. Sorot mata birunya tajam, jemarinya mengetuk meja dengan ritme lambat. Sunyi itu pecah ketika pintu berderit.

Varron masuk, menunduk penuh hormat. “Yang Mulia, Jenderal Drovian tetap bungkam meski sudah disiksa dengan segala cara. Sedangkan mata-mata yang dulu memburu Yang Mulia dan Putri Rosella memilih bunuh diri saat ditangkap. Tidak ada satu kata pun pengakuan.”

Orion menghentikan ketukan jarinya. Pandangannya terangkat, dingin. Sesaat hening sebelum ia berkata singkat, “Aku tahu.”

Ia bangkit. Kursi kayu berat itu berderit, mantel hitam disampirkannya ke bahu. Tanpa menoleh lagi pada laporan di meja, ia melangkah keluar.

Ruang bawah tanah Balai Hitam Kekaisaran lembap dan berbau darah. Obor di dinding berkelip, menyoroti kursi besi tempat Jenderal Drovian terikat. Tubuhnya babak belur, wajahnya penuh luka, namun matanya tetap menyala dengan perlawanan.

Pintu besi berderit. Orion masuk, langkah sepatu botnya bergema. Varron berhenti di sisi pintu, membiarkan sang Duke maju sendiri.

“Pada akhirnya sang War Dukelah yang turun tangan sendiri,” suara Drovian serak, seakan sedang mengejek. “Apakah ini suatu kehormatan bagiku?”

Orion berdiri tegak, dingin. “Ini kesempatan terakhirmu.”

Drovian tersenyum getir, meski napasnya berat. “Kau boleh mematahkan tulangku, menyayat kulitku, membakar dagingku. Tetapi lidahku tidak akan tunduk.”

Orion berjalan mengitari kursi perlahan. “Semua orang punya celah.”

Drovian mendengus. “Aku tidak punya apa-apa lagi. Tak ada keluarga, tak ada teman. Hanya tersisa sumpahku pada Calvaris.”

Orion berhenti tepat di depannya. “Tidak punya keluarga, katamu? Kau yakin?”

Drovian menegakkan kepala, menantang. “Kau hanya mencoba menggertak.”

Orion mencondongkan tubuh, matanya menusuk. “Sayang sekali, aku tidak sedang menggertak. Aku hanya akan menyebutkan satu nama. Menurutmu bagaimana kabar Serena sekarang?”

Mata Drovian langsung membelalak. Rantai di tangannya berderak saat ia meronta. “Tutup mulutmu! Berani-beraninya kau menyebut namanya!”

Wajah Orion tetap dingin, suara rendahnya memotong udara. “Baiklah. Jika kau tidak mau mengaku, aku tidak akan memaksamu. Tunggu saja kabarnya dariku.”

Ia berbalik, langkahnya tenang seolah meninggalkan ruangan tanpa beban.

Raut wajah panik seketika melanda Drovian. Suaranya pecah, teriakannya menggema sampai dinding batu bergetar. “Apa yang akan kau lakukan, brengsek?!”

Meski teriakan itu menggema, Orion seolah tak mendengar apapun.

Nafas Drovian memburu, dadanya naik turun cepat. Ia meronta sekuat tenaga hingga rantai berdentang lebih keras. “Baiklah, aku akan mengaku!Hentikan langkahmu, Orion. Berhenti!”

Wajahnya memerah, urat lehernya menegang, air liur bercampur darah keluar bersama kata-katanya. “Jika kau berani menyentuhnya meski hanya sedikit, maka aku bersumpah akan menyeretmu ke neraka bersama dengan kematianku!”

Langkah Orion terhenti. Ia menoleh perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya, seolah pancingannya kali ini berhasil. “Baiklah. Apa yang akan kau katakan?”

Ruangan mendadak sunyi. Para penjaga menahan napas, menyadari bahwa dinding yang selama ini dipertahankan Drovian akhirnya runtuh.

Drovian gemetar. Matanya merah, bahunya bergetar hebat. Ia menunduk, lalu dengan suara parau mencoba membuka mulut. “Ada sesuatu yang harus kau tahu, ini tentang—”

Dor!

Tiba-tiba sebuah letupan memecah udara, menggelegar di ruang bawah tanah itu. Kepala Drovian tersentak keras ke samping, darah memercik liar ke dinding. Matanya membeku terbuka, seolah hendak melanjutkan kalimat yang terputus selamanya. Tubuhnya ambruk, kursi besi berderit menahan beban yang tak lagi bernyawa.

Para prajurit terperanjat. Beberapa menahan napas, ada yang spontan mundur dengan wajah pucat. Hening mencekam menelan ruangan, hanya menyisakan bau mesiu yang bercampur dengan anyir darah.

Orion tetap berdiri tegak, tak ada sedikit pun kepanikan di wajahnya. Tatapan birunya menembus lorong gelap, menangkap bayangan samar yang sempat terlihat dengan pistol berasap sebelum lenyap begitu cepat.

Ia menarik napas pelan, suaranya datar, tenang, tapi penuh ancaman.

“Cari dia. Dan ketika sudah tertangkap, aku yang akan menentukan hari kematiannya.”

“Baik, Yang Mulia!”

Varron menunduk dalam, merasakan ngeri yang lebih menusuk daripada dentuman barusan, ketenangan Duke mereka, yang mencekam sekaligus mematikan.

~oo0oo~

Orion telah kembali ke kursinya di ruang kerja Balai Hitam Kekaisaran. Ia duduk tegak, bahunya kokoh, sepasang mata birunya fokus menelusuri baris-baris tulisan di gulungan laporan yang terbuka di tangannya. Sesekali ia membalik halaman dokumen lain yang menumpuk di sisi meja, mengamati angka-angka persediaan dan catatan medan perang dengan tenang namun tajam.

Pintu diketuk pelan. Orion memberi izin masuk dengan suara singkat. Varron melangkah mantap ke dalam, lalu menunduk layaknya seorang perwira militer.

“Yang Mulia, kabar baru dari dokter hewan. Tenebris sudah pulih sepenuhnya dan ia boleh pulang hari ini.”

Tenebris adalah seekor burung gagak hitam yang telah menjadi bayangan setia Orion selama kurang lebih lima belas tahun. Sejak ia masih muda, burung itu selalu menemaninya—dari ruang latihan, perjalanan panjang, hingga perang paling berdarah. Di mata para prajurit, Tenebris bukan sekadar hewan peliharaan, melainkan simbol keangkeran dan kesetiaan sang Duke.

Orion menurunkan gulungan laporan dari tangannya, lalu menatap Varron dengan dingin. “Aku mengerti.”

Ia bersandar sedikit, suaranya tetap datar namun berwibawa. “Atur seseorang untuk segera menjemputnya.”

Varron mengangguk. “Ada satu hal lagi, Yang Mulia. Dokter berpesan, setiap pagi Tenebris harus dijemur di bawah sinar matahari dengan kandang terbuka.”

Orion menyambung kalimat itu dengan nada rendah dan tenang. “Pastikan pelayan menjaganya. Aku tidak ingin ada kelalaian sekecil apa pun.”

Varron menunduk dalam. “Baik, Yang Mulia.”

Ruangan kembali hening. Orion mengangkat kembali gulungan laporan, matanya menelaah isi dokumen seolah tidak ada yang lebih penting—namun di balik ketenangan itu, semua orang tahu bayangan seekor gagak hitam sebentar lagi akan kembali ke sisinya.

~oo0oo~

Pagi menyingsing di kediaman Dreadholt. Embun masih menetes dari pagar besi, udara dingin perlahan terusir oleh cahaya matahari yang muncul malu-malu di balik kabut. Seorang pelayan pria dengan rambut awut-awutan muncul sambil membawa kandang besar berisi seekor gagak hitam.

Ia mendengus kecil sambil mengangkat kandang itu hati-hati. “Hadehh, Tenebris … Tenebris, burung gagak kesayangan Duke kita. Kau tahu tidak, aku ini dulu sempat mendaftar jadi prajurit. Kukira bakal bawa pedang, ternyata malah bawa kandang,” katanya sambil terkekeh sendiri.

Begitu sampai di pelataran yang tersinari cahaya matahari, ia meletakkan kandang itu di atas bangku kayu yang sudah disiapkan. Tenebris berkedip dengan mata hitamnya yang tajam, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

Pelayan itu berjongkok di depan kandang, lalu menyilangkan tangan di dada seolah-olah sedang serius. “Kau lihat, Tenebris? Aku ini manusia biasa, kerja siang malam. Tapi kau? Kau hanya berkata ‘kraak’ sekali saja, sudah bikin semua orang gemetar. Kalau aku teriak ‘kraak’, paling-paling aku malah dilempar sandal sama kepala dapur.”

Ia menepuk dadanya sendiri lalu pura-pura mengeluh. “Lihat tubuhku ini, kurus kering. Kalau kau terbangkan aku, mungkin aku bisa jadi gagak juga. Tapi sayangnya aku tidak punya sayap, yang ada cuma nasib tertindas tiap tahap.”

Tenebris menatapnya diam, hanya memiringkan kepala.

Pelayan itu mengangkat alis, pura-pura tersinggung. “Oh, jadi begitu? Tatapan meremehkan, ya? Kau pikir aku ini siapa? Kau boleh bangga, kau memang kesayangan Duke. Tapi jangan lupa, kalau aku lupa memberimu makan, kau juga bisa kurus kering seperti diriku.” Ia terkekeh, lalu menepuk-nepuk celana lusuhnya.

Setelah memastikan pintu kandang terbuka lebar agar udara segar masuk, pelayan itu berdiri dan menghela napas panjang. “Nah, sudah. Kau berjemur saja di sini. Kata dokter, sinar matahari bisa membuat bulumu mengkilap lagi. Kau tahu tidak, kalau aku yang dijemur begini lamanya, yang mengkilap malah jidatku.”

Ia menguap kecil, lalu menepuk dahinya. “Astaga, air minum! Aku lupa.”

Dengan langkah cepat ia berlari masuk ke dalam gedung, meninggalkan kandang di bawah sinar matahari. Tak sampai lima menit kemudian, ia kembali dengan napas terengah, mangkuk kecil berisi air jernih di tangannya.

Namun langkahnya terhenti mendadak. Mangkuk hampir terlepas dari genggamannya.

Kandang itu kosong.

Tenebris tidak ada di dalam.

Wajah pelayan itu seketika pucat pasi. Tubuhnya gemetar, jantungnya berdetak kencang. Ia melirik ke kanan dan ke kiri dengan panik, namun halaman tetap sepi, hanya kabut yang perlahan terangkat.

Di tanah, satu helai bulu hitam beterbangan, jatuh tepat di kakinya.

Pelayan itu menelan ludah, suaranya tercekat. “T–tamatlah riwayatku…!”

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!