Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 32
Halaman 32
Retakan yang Membesar
Setelah pertemuan di kafe itu, Nayla dan Arka sepakat untuk mencoba memperbaiki hubungan. Namun, meskipun janji sudah terucap, luka di hati Nayla belum sepenuhnya sembuh. Ia seperti seseorang yang berusaha menutup retakan kaca dengan perekat tipis—dari jauh tampak utuh, tapi sekali ditekan, retakan itu bisa kembali membesar.
Hari-hari berikutnya Nayla lebih sering sibuk dengan sanggar. Ia menghabiskan banyak waktu bersama anak-anak, menyiapkan pameran karya, dan sesekali menerima tawaran mengajar dari sekolah-sekolah di sekitar kota. Kegiatannya padat, tapi di balik senyum lelahnya, ada bayangan yang tak kunjung hilang. Setiap kali hujan turun, ia teringat foto itu: Arka dan seorang perempuan di bawah payung yang sama.
Malam-malamnya tak lagi sama. Ponsel di tangannya seakan menjadi musuh. Saat Arka telat membalas pesan, Nayla gelisah. Saat Arka bilang sedang rapat, Nayla diam-diam bertanya-tanya apakah itu benar. Ia merasa bersalah karena tak sepenuhnya percaya, tapi rasa takut kehilangan jauh lebih kuat.
Sementara itu, Arka berjuang di Jakarta. Tekanan dari kantor semakin berat. Proyek besar yang ia tangani membuatnya harus sering lembur. Selain itu, gosip tentang kedekatannya dengan seorang rekan kerja bernama Laras makin menyebar. Laras memang sosok yang mudah akrab dengan siapa saja, ramah, dan sering bekerja bersamanya. Sayangnya, kedekatan profesional itu dimaknai berbeda oleh orang-orang.
Arka berulang kali menjaga jarak, tapi pekerjaan membuatnya tak bisa menghindar sepenuhnya. Ia tahu, setiap kali ia tertangkap kamera atau dilihat rekan kerja sedang berbicara dengan Laras, gosip akan semakin besar. Dan yang paling ia takutkan: Nayla mendengarnya lagi.
Konflik mencapai puncaknya pada suatu malam hujan deras. Nayla baru saja selesai mengajar ketika ia menerima pesan anonim di media sosial. Isinya foto Arka dan Laras sedang makan malam di sebuah restoran.
Tangan Nayla gemetar saat melihatnya. Perutnya mual, dadanya sesak. Ia menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menelepon Arka dengan suara bergetar.
“Ka… aku baru aja dapat foto kamu sama Laras. Kalian makan berdua?”
Di seberang, Arka terdengar panik. “Nay, denger aku dulu. Itu bukan makan berdua. Aku lagi sama beberapa tim kantor, tapi memang di foto itu cuma aku dan Laras yang kelihatan. Aku nggak bohong, Nay.”
“Aku pengen percaya,” suara Nayla pecah, “tapi kenapa selalu ada kamu dan dia? Kenapa bukan yang lain? Aku capek, Ka. Aku nggak mau terus-terusan merasa kayak orang bodoh.”
Arka terdiam cukup lama. Lalu dengan suara lirih ia berkata, “Nay, kamu yang paling aku sayang. Kalau aku harus milih, aku lebih baik kehilangan pekerjaan ini daripada kehilangan kamu. Tapi tolong… jangan tinggalin aku hanya karena gosip.”
Nayla menutup telepon tanpa membalas. Air matanya jatuh bersama suara hujan yang menghantam atap sanggar. Malam itu, ia menulis di buku harian dengan tangan bergetar:
“Aku mencintainya, tapi rasa sakit ini makin dalam. Apakah cinta seharusnya sesulit ini? Atau memang aku yang terlalu rapuh?”
Keesokan harinya, Arka nekat pulang tanpa memberi tahu Nayla. Ia muncul di depan rumah sanggar dengan jas hujan, wajah letih, dan mata sembab karena kurang tidur. Saat Nayla keluar, ia tampak terkejut.
“Arka? Kamu ngapain pulang tiba-tiba?”
Arka meletakkan tasnya, lalu menatap Nayla penuh kesungguhan. “Aku nggak bisa gini terus, Nay. Aku nggak mau hubungan kita hancur cuma karena gosip. Aku akan buktiin kalau aku serius.”
Nayla masih ragu. “Tapi, Ka… masalahnya bukan cuma gosip. Masalahnya aku nggak bisa lagi percaya sepenuhnya.”
Arka melangkah mendekat. Hujan mulai turun, membasahi mereka yang berdiri di halaman. “Kalau kepercayaan itu hilang, kasih aku kesempatan buat bangun lagi dari awal. Aku rela mulai dari nol, Nay. Asal jangan pergi.”
Air mata Nayla bercampur dengan air hujan. Ia ingin sekali percaya, tapi rasa takut membuat lidahnya kelu.
Arka meraih tangannya. “Ingat nggak dulu, waktu kita pertama kali ketemu di bawah hujan? Kamu bilang hujan selalu jadi awal yang baru. Biar sekarang hujan juga jadi awal kita lagi, Nay. Biar semua sakit hilang, biar cuma cinta yang tinggal.”
Hati Nayla luluh, meski masih dibalut luka. Ia menangis di pelukan Arka, membiarkan hujan mengguyur mereka. Tak ada payung, hanya janji baru yang lahir di tengah derasnya air langit.
Namun, perjalanan mereka belum berakhir. Setelah malam itu, Nayla tahu hubungan mereka tak bisa hanya bertumpu pada cinta. Ada yang lebih penting: komunikasi dan keberanian untuk menutup telinga dari dunia luar.
Beberapa hari berikutnya, Nayla akhirnya mengambil langkah berani. Ia menemui Arka di Jakarta, ingin melihat dengan matanya sendiri bagaimana keadaan sebenarnya. Arka menyambutnya dengan penuh syukur, dan untuk pertama kalinya Nayla ikut ke kantornya.
Di sana, Nayla melihat langsung bagaimana Arka bekerja keras, bagaimana ia berinteraksi dengan tim, termasuk dengan Laras. Memang benar, Laras ramah dan dekat, tapi Nayla juga bisa merasakan bahwa tak ada yang lebih dari sekadar rekan kerja. Ia malu pada dirinya sendiri karena terlalu cepat percaya pada gosip.
Malam itu, setelah mereka makan malam bersama di apartemen kecil Arka, Nayla berkata lirih, “Aku minta maaf, Ka. Aku terlalu sering ragu. Padahal kamu nggak pernah kasih alasan nyata buat aku ninggalin kamu.”
Arka menggenggam tangannya erat. “Nggak apa-apa, Nay. Aku ngerti. Kamu takut kehilangan, aku juga sama. Tapi mulai sekarang, ayo kita janji: jangan biarin omongan orang luar lebih keras daripada suara hati kita.”
Nayla mengangguk, air matanya jatuh lagi—kali ini bukan karena sakit, melainkan karena lega.
Beberapa minggu kemudian, mereka kembali ke kota kecil tempat sanggar berada. Arka memutuskan mengambil cuti panjang, bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan pekerjaannya di Jakarta. Ia sadar, tak ada yang lebih penting daripada hubungan mereka.
Hujan turun sore itu, membasahi jalanan yang lengang. Nayla dan Arka berjalan berdua di bawah satu payung, kali ini tanpa rasa ragu. Di tengah derasnya hujan, Nayla berkata pelan, “Ka, mungkin cinta kita memang ditakdirkan diuji berkali-kali lewat hujan. Tapi aku nggak apa-apa. Karena setiap kali hujan turun, aku tahu kita akan selalu menemukan jalan untuk kembali.”
Arka tersenyum, memandangnya penuh cinta. “Dan aku janji, Nay. Selama hujan masih turun di bumi ini, cintaku nggak akan pernah berhenti jatuh ke kamu.”
Mereka tertawa kecil, berpelukan di bawah payung. Hujan tak lagi jadi bayangan menakutkan, melainkan teman setia yang selalu mengingatkan: cinta sejati tak pernah luntur meski diguyur badai.