Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Seorang Ketua
Di rumah sakit, waktu terasa berjalan sangat lambat. David mondar-mandir di depan pintu ruang gawat darurat, raut wajahnya tegang dan sesekali mengusap air mata yang terus mengalir. Maya duduk di kursi tunggu, tangannya saling bertaut erat, sementara Alex dan Clara tampak mematung, menatap kosong ke arah pintu yang tertutup rapat, semuanya merasakan ketakutan yang mencekam.
"Bagaimana ini?" David bergumam, suaranya parau. "Fabian memang bajingan! Beraninya dia melakukan ini pada Reno!" David mengepalkan tangannya, amarahnya meluap-luap, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.
Clara, yang biasanya tenang, kini terlihat sangat emosional. "Kita harus membalasnya," desis Clara, tatapannya tajam. "Fabian akan membayar mahal untuk semua ini." Air mata menggenang di pelupuk matanya, ia tidak bisa membayangkan kehilangan Reno.
Maya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dan teman-temannya. "Sekarang bukan waktunya untuk emosi," ucap Maya, meskipun suaranya bergetar. "Kita harus fokus pada Reno dulu." Ia tahu, balas dendam tidak akan mengembalikan keadaan Reno.
Alex hanya bisa mengangguk, ia memeluk Maya erat. "Reno pasti kuat," bisik Alex, berusaha memberikan kekuatan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk teman-temannya. "Dia ahli strategi, dia tahu bagaimana caranya bertahan."
Tak lama kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah, membuat Tim Predator langsung bangkit, berhamburan mendekatinya, mencoba mendapatkan informasi secepat mungkin. Harapan dan ketakutan bercampur aduk di hati mereka.
"Bagaimana keadaan Reno, Dokter?" tanya David, suaranya tercekat. Ia meraih bahu dokter itu, seolah ingin memaksakan jawaban yang ia inginkan. Dokter itu menghela napas, lalu menatap mereka satu per satu.
"Operasinya berhasil," ucap dokter itu, senyum tipis terukir di bibirnya, membuat semua orang langsung bernapas lega. "Reno beruntung karena pisau itu tidak mengenai organ vitalnya. Dia akan baik-baik saja." Kata-kata itu seperti embun penyejuk di tengah gurun kekhawatiran.
Air mata kelegaan langsung membasahi pipi David. Maya memeluk Clara dan Alex erat, mereka semua berteriak gembira. Reno selamat! Itu adalah kabar terbaik yang bisa mereka dengar saat ini. Semua beban di pundak mereka seolah terangkat.
"Bolehkah kami menjenguknya, Dokter?" tanya Clara, tidak sabar ingin melihat kondisi Reno. Dokter mengangguk. "Tentu, tapi jangan terlalu ramai dan jangan terlalu banyak bicara. Dia butuh istirahat."
Mereka berlima segera masuk ke ruang perawatan. Reno terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, tetapi matanya terbuka, menatap mereka dengan senyum tipis. Sebuah alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya, dan lengannya terpasang selang infus.
"Reno!" seru David, ia segera mendekat, menggenggam tangan Reno erat. "Kamu baik-baik saja? Aku khawatir sekali!" David tidak bisa menahan air matanya yang kembali mengalir, kali ini air mata bahagia.
Reno mengangguk pelan, berusaha tersenyum. "Aku tidak apa-apa," bisiknya lemah, suaranya serak. "Kalian... kalian jangan khawatir." Ia mencoba menenangkan teman-temannya, meskipun kondisinya sendiri masih lemah.
Maya mengelus kening Reno lembut. "Syukurlah kamu baik-baik saja. Kami semua panik setengah mati," ucap Maya, nadanya penuh kasih sayang. Clara dan Alex juga ikut menggenggam tangan Reno, menyampaikan dukungan tanpa kata.
"Citra... bagaimana?" tanya Reno, tiba-tiba. Ia teringat Ketua Tim Naga yang menahan Fabian untuk mereka. Ada kekhawatiran yang terselip dalam suaranya.
David menggelengkan kepala. "Kami tidak tahu," jawab David. "Setelah mengantar kamu ke sini, kami belum sempat menghubungi Ketua Citra." Sebuah rasa bersalah muncul di hatinya karena sudah melupakan Citra.
Tepat saat itu, ponsel David berdering. Itu adalah panggilan dari Citra. David segera mengangkatnya, perasaan lega bercampur cemas melingkupi dirinya. Ia tidak tahu apakah Citra baik-baik saja.
"Ketua Citra! Kamu baik-baik saja?" tanya David, suaranya sedikit panik. Ia menjauh dari ranjang Reno agar Reno tidak terlalu khawatir. Semua anggota Tim Predator menatapnya dengan cemas.
"Aku baik-baik saja, David," suara Citra terdengar tenang, seperti biasanya, tetapi ada sedikit kelelahan di sana. "Fabian dan anak buahnya berhasil melarikan diri, tapi setidaknya aku berhasil membuat mereka kocar-kacir."
David menghela napas lega. "Syukurlah. Kami khawatir sekali. Reno sudah dioperasi dan dia baik-baik saja sekarang." Ia memandang ke arah Reno yang terbaring lemah.
"Baguslah," balas Citra. "Aku akan segera ke sana. Aku ingin melihat Reno dan memastikan kalian semua baik-baik saja." Nadanya terdengar sedikit khawatir, membuat David merasa terharu.
Setelah menutup telepon, David berbalik ke arah teman-temannya. "Ketua Citra baik-baik saja. Dia akan datang ke sini," ucap David, memberi tahu mereka. Semua orang langsung merasa lega.
Tidak lama kemudian, Citra tiba di rumah sakit. Wajahnya terlihat sedikit lelah, dan ada beberapa luka goresan di lengannya, tetapi ia tetap terlihat tenang dan berwibawa.
Ia langsung menuju ruang perawatan Reno. Melihat Citra, Reno berusaha untuk duduk, tetapi Citra segera melarangnya. "Jangan memaksakan diri, Reno," ucap Citra, nadanya lembut, tetapi tegas.
Citra menatap Reno, matanya memancarkan keprihatinan. "Kamu beruntung, Reno," ucap Citra. "Untung saja pisau itu tidak terlalu dalam." Ia menghela napas, bersyukur Reno selamat.
"Terima kasih, Ketua Citra," ucap Reno, nadanya tulus. "Kamu sudah menyelamatkan kami semua." Reno tahu, tanpa Citra, mereka mungkin tidak akan bisa bertahan.
Citra hanya mengangguk. "Itu sudah tugasku," balas Citra, lalu ia menoleh ke arah David, Maya, Clara, dan Alex. "Dan kalian, pastikan Reno istirahat total. Jangan sampai dia memaksakan diri."
David mengangguk. "Siap, Ketua Citra!" seru David dan yang lain. Mereka semua merasa berterima kasih kepada Citra yang sudah membantu mereka. Citra adalah sosok yang bisa mereka andalkan.
Setelah memastikan Reno dan tim baik-baik saja, Citra pamit. "Aku harus kembali ke markas. Ada laporan yang harus kuselesaikan," ucap Citra, ia berbalik, meninggalkan mereka yang masih di rumah sakit.
David dan yang lain hanya bisa menghela napas. Petualangan mereka belum berakhir. Fabian masih bebas di luar sana, dan mereka harus segera mencari cara untuk menangkapnya.
Satu hal yang pasti, mereka tidak akan menyerah. Demi Reno, demi keadilan, dan demi semua yang telah Fabian perbuat. Tim Predator akan membalasnya.
Malam yang masih sama, tak lama setelah Citra kembali ke markas, ponselnya bergetar di meja. Ada panggilan masuk dari Yansya. Citra segera mengangkatnya, ia yakin Yansya sudah mendengar kabar tentang Reno dan insiden di jalanan sepi tadi.
"Ada apa, Yansya?" tanya Citra, nadanya datar. Ia sudah menduga reaksi Yansya akan sangat marah. Yansya selalu sangat protektif terhadap timnya, bahkan Reno yang dulu skeptis padanya.
"Di mana kamu sekarang?" suara Yansya terdengar dingin, tanpa basa-basi. Nada suaranya penuh amarah yang tertahan, membuat Citra yakin dugaannya benar. Yansya benar-benar marah.
Citra menyebutkan lokasi di sebuah gudang tua di pinggir kota, tempat yang sering ia gunakan untuk menyendiri atau memikirkan strategi. "Aku di gudang lama," jawab Citra. "Kenapa?"
"Tunggu aku di sana," balas Yansya, suaranya memutus tanpa menunggu jawaban. Sambungan telepon langsung terputus, membuat Citra hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu, Yansya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja sebelum mendapatkan semua detailnya.
Tidak butuh waktu lama, Yansya tiba di gudang. Ia sudah mengenakan seragam dinasnya, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya memancarkan kemarahan yang membara. Yansya berjalan mendekati Citra dengan langkah tegap, seolah sedang menghampiri musuh.
"Terima kasih," ucap Yansya, nadanya datar dan dingin, sama sekali tidak ada kehangatan. "Terima kasih sudah menyelamatkan mereka." Yansya tidak menatap mata Citra, tatapannya lurus ke depan, seolah sudah punya tujuan yang jelas.
Citra hanya mengangguk, ia memahami kemarahan Yansya. "Itu sudah tugasku, Yansya," balas Citra, suaranya tetap tenang. Ia melihat tekad kuat di mata Yansya, sesuatu yang jarang ia lihat dari pria itu.
"Aku akan mencari Fabian," ucap Yansya, suaranya semakin mengeras. "Dan aku tidak akan menangkapnya. Aku akan membunuhnya." Mata Yansya berkilat tajam, ia tidak main-main dengan ucapannya. Kemarahan itu mengubahnya menjadi sosok yang berbeda.
"Yansya, ini tidak sesuai prosedur," Citra mengingatkan, mencoba menenangkan pria itu. "Kita harus menangkapnya hidup-hidup untuk diinterogasi." Citra tahu Yansya tidak akan mendengarkannya begitu saja.
"Prosedur bisa diatur," potong Yansya cepat. "Aku tidak peduli. Dia melukai Reno. Dia sudah melewati batas." Yansya mengepalkan tangannya. "Jangan beritahu siapa pun, Citra. Terutama Lisa." Ia menatap Citra dengan tatapan meminta pengertian.
Citra terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Ia melihat sorot mata Yansya yang penuh tekad dan amarah. "Baiklah," ucap Citra akhirnya, suaranya sedikit berat. "Tapi kamu harus janji, jangan bertindak gegabah. Fabian bukan lawan yang bisa diremehkan."
Yansya hanya mengangguk, tanpa mengucapkan janji. Ia berbalik, melangkah keluar dari gudang dengan cepat, meninggalkan Citra sendirian. Ia tahu, misi kali ini bukan lagi tentang penangkapan, melainkan tentang pembalasan dendam pribadi.
good 👍👍👍👍❤❤❤❤
menegangkan ❤❤❤❤❤
good thor👍👍👍👍👍
good job👍👍👍👍