Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Tinggal Selangkah Lagi
Armand tak tahu bagaimana menjelaskan seberapa besar atau seberapa banyak kebahagiaan yang kini ia rasakan. Yang bisa dikatakannya hanyalah bahwa hatinya kini tengah membuncah karena bahagia, seolah-olah terdapat ribuan bunga yang sedang bermekaran di sana.
Kebahagiaan yang tak bisa diukur tersebut bahkan membuat Armand tak bisa berhenti tersenyum. Apa lagi selama beberapa hari belakangan, hubungannya dengan Nissa semakin membaik.
Gadis mungil nan menggemaskan itu sudah lebih banyak bicara saat bersamanya. Walau terkadang masih sering menunduk malu pada saat Armand terus mencoba memberanikan diri menggenggam tangannya yang terasa mungil dan halus, Armand bersyukur gadis itu tak lagi seperti memasang benteng diantara mereka.
Setelah hubungan mereka semakin dekat seperti sekarang, tak jarang Armand seringkali semakin kesulitan menahan diri. Jika pandangannya tanpa sengaja mengarah pada bibir Nissa yang merah alami tanpa sedikitpun ada pewarna bibir yang dikenakan di bibir yang terlihat begitu menggoda di matanya itu, Armand ingin sekali menarik calon istrinya itu ke dalam pelukan. Mendekapnya begitu erat dan melumat bibir yang selalu membuat kesulitan menahan diri.
Tak hanya sampai di situ, melihat leher jenjang Nissa yang putih dan mulus, Armand jadi membayangkan seperti apa rasanya bila ia melabuhkan kecupan di sana. Bukan hanya sekedar kecupan, Armand juga ingin meninggalkan jejak di sana.
Armand tahu jika dirinya tak boleh berpikiran macam-macam sebelum waktunya. Tapi ia juga hanyalah pria normal yang memiliki nafs*. Bisa berdekatan dan bahkan sebentar lagi mereka akan menikah, pikiran Armand selalu berkelana sendiri tanpa bisa ia cegah.
Meski begitu, Armand berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Sejauh ini, Armand hanya mengizinkan dirinya menggenggam tangan si gadis yang sudah membuatnya jatuh hati itu.
Tinggal selangkah lagi, maka si gadis mungil akan segera menjadi miliknya.
Sesuai dengan apa yang pengacaranya katakan, mereka hanya tinggal menunggu keputusan Pengadilan Agama, yang mana pengacaranya menjanjikan bahwa Armand pasti akan mendengar kabar baik tak lama lagi.
Kini, sang pengacara yang juga sangat Armand kenal itu telah duduk di hadapannya.
Di dalam ruang tamu di rumah ibunya, Armand tatap lekat-lekat pria berkacamata yang har inii berpenampilan santai dan tak mengenakan pakaian formal seperti biasanya.
"Mereka semua nggak ada yang menyulitkanmu 'kan, Bay?" Armand bersuara setelah sekilas memperhatikan wajah pengacaranya, Bayu, yang terlihat kusut. Bahkan pria yang selalu bersikap santai itu malah menyandar seakan tubuhnya tak lagi bertulang.
Bayu menggeleng lemah. Meski ekspresi di wajahnya seolah sedang menanggung beban yang begitu berat di kedua bahunya, pria berkacamata itu menjawab dengan jelas, "Semuanya berjalan sesuai dengan yang abang mau."
"Trus Herman, Heri, dan pak Somad, mereka semua nggak berani macam-macam, kan?"
"Herman dan Heri, mereka bisa diatasi dengan mudah. Uang yang abang tawarkan langsung membuat mereka ngangguk gitu aja kayak orang idiot. Sedangkan untuk pak Somad... " Bayu menghentikan perkataannya seraya menghela napas di akhir.
Kerutan di kening Armand terlihat samar. Saat bertanya, suaranya terdengar tajam karena menyimpan amarah kepada pria yang terlalu memanjakan putrinya itu. "Apa yang dilakukan orang itu? Dia nggak berani berbuat sesuatu yang akan mengganggu rencana pernikahanku, kan?"
Bayu yang semula bersandar di sofa yang didudukinya, dalam sekejap segera menegakkan posisi duduknya.
Menyadari pembahasan mereka tidak bisa membuatnya bersantai melepas penat, pria yang tampak semakin menarik dengan kacamata yang membingkai kedua matanya itu menatap sosok yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. "Waktu aku menemui dia di kantornya, dia keliatan bisa bersikap profesional. Malahan aku disuruh datang ke rumahnya buat ngambil surat pengantar biar nggak repot katanya. Tapi, pas di rumahnya itulah masalahnya baru dimulai... "
"Masalah apa?" tanya Armand tak sabaran.
Bayu menghela napas berat. Membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu masih membikin dirinya emosi sampai hari ini.
"Bay... " Armand memanggil. Suaranya benar-benar terdengar tak sabar ingin mendengar jawaban dari pengacaranya itu.
"Dengan alasan anaknya yang tiba-tiba mengamuk, dia minta diberi waktu beberapa hari lagi untuk memberikan surat pengantarannya. Malahan dengan beraninya dia mengatakan, kalau dia masih sibuk nenangin anaknya, dia bilang dibatalkan aja pernikahannya." Bayu menjelaskan dengan menggebu-gebu. Dadanya kembali memanas karena emosi saat mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. "Tapi aku nggak mungkin mengecewakan abang. Abang juga ngasih aku waktu seminggu buat menyelesaikan semuanya. Jadi, aku terpaksa menggunakan koneksi. Menekan dia dengan menggunakan orang yang jabatannya lebih tinggi darinya. Dia akhirnya nggak berkutik. Lalu keesokan harinya dia menemuiku di penginapan untuk memberikan surat pengantarnya langsung padaku."
Armand menghembuskan napas lega.
Bagi Armand sendiri, ia tidak tertarik dengan hal lainnya selain mengetahui bahwa rencana pernikahannya tidak akan tertunda.
Namun, begitu menatap lagi wajah Bayu yang benar-benar kusut, Armand mengernyit sambil bertanya, "Kalau semua sudah berjalan lancar dan sekarang tinggal nunggu keputusan dari Pengadilan aja, lalu kenapa mukamu kusut begitu? Masalah seperti apa yang bisa ngebuat orang yang selalu bersikap santai sepertimu bisa keliatan sekusut gitu mukanya?"
"Gimana gak kusut coba, Bang. Orang tuaku tiap hari nelpon, nanya kapan aku nikah." kedua bahu Bayu kembali meluruh, punggung pria yang memakai kacamata itu juga kembali bersandar. Tatapannya terlihat menyedihkan saat menceritakan, "Ditambah lagi pas di Pengadilan tadi, abis aku diejek sama semua kenalan aku di sana, Bang. Mereka ngolok-ngolok aku, bilang sudah setua ini baru mikir buat nikah, mana sama gadis yang belum punya KTP lagi. Tapi pas aku kasih tau kalau semua berkas itu punya abang, mereka malah bersorak kegirangan, sampai kompak nitip salam segala buat abang. Kan kesel banget jadinya. Udah capek bolak-balik sana sini, masih aja urusan nikah nggak berhenti dibahas. Padahal umur kita 'kan cuma beda dua tahun, Bang, masak mereka pilih kasih begitu."
Armand terkekeh geli.
Melihat Bayu yang tampak nelangsa, lengkap dengan ekspresi kesal serta bibir yang mengerucut, Armand ingin tertawa jadinya.
Tak ingin membuat pengacara yang selalu bisa diandalkan itu terus nelangsa, sengaja Armand menggodanya dengan mengatakan, "Kenapa nggak kamu coba pinang aja tuh, si anak pak Lurah. Kan lumayan juga bisa punya mertua yang punya jabatan kay... "
"Ogah banget punya istri yang sikapnya begitu, Bang." cepat Bayu bersuara. Walau sadar jika pria yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya itu hanya ingin menggodanya saja, Bayu malah bergidik ngeri saat kembali berkata, "Ngebayangin punya istri suka tantruman kayak gitu aja ogah, Bang. Apa lagi kalau sampai jadi kenyataan. Nggak tau deh gimana keadaannya sekarang. Mungkin aja masih ngamuk karena nggak rela lelaki pujaannya nikah sama perempuan lain."
****
Benar seperti yang dikatakan oleh sang pengacara yang masih bergidik ngeri itu, di rumah pak Somad, kegaduhan masih saja terdengar.
Sudah terlewat beberapa hari, namun Lilis masih saja mengamuk, melemparkan barang apa saja yang bisa dijangkau, tak peduli jika barang tersebut terbuat dari bahan pecah belah.
Rumah pak Somad sudah terlihat bagaikan kapal pecah. Bahkan tetangga yang beberapa hari lalu masih mau datang demi membantunya menenangkan Lilis, kini lebih memilih mengurung diri di dalam rumah karena takut dilempar oleh anak semata wayangnya yang masih saja mengamuk.
Pak Somad dan istrinya merasa capek. Mereka baru bisa menyandarkan punggung dan merasa tenang bila anak mereka tertidur karena kelelahan sehabis mengamuk.
Begitu kembali membuka mata, maka pak Somad dan ibu Lastri hanya bisa mengelus dada dan terus menghembuskan napas melihat kelakuan putri mereka.
Dan hari ini, dimana hampir mendekati hari ke enam setelah pengacara yang sudah mengikat tangan dan juga kakinya itu datang meminta surat pengantar padanya, baru lah kemarahan Lilis terlihat sedikit berkurang.
Lantai ruang tamu memang tampak masih berantakan. Bahkan pecahan beling juga terdapat di sana. Akan tetapi, suara teriakkan Lilis sudah tidak lagi terdengar.
Anak gadis kesayangannya itu kini terduduk tepat di tengah-tengah muka pintu kamarnya dengan tatapan kosong mengarah padanya.
Sebagai ayah, pak Somad tentu merasa tak tega melihat putrinya tampak menyedihkan begitu. Namun lagi-lagi pak Somad merasa tak berdaya untuk mengabulkan keinginan anaknya agar mempersulit proses pernikahan dari pria yang dipujanya.
"Bagaimana ini, Pak? Ibu nggak tega ngeliat anak kita tampak menyedihkan begitu." suara ibu Lastri terdengar bergetar. Meski posisi duduk mereka cukup jauh, ibu Lastri bisa melihat air mata yang membasahi pipi putrinya. Melihat anak kesayangan menangis tanpa suara, malah membuat dada ibu Lastri terasa semakin sesak.
"Bapak juga nggak tau, Buk." pak Somad berbisik lirih. Duduk berdampingan dengan istrinya di dekat pintu keluar, pak Somad sejak tadi hanya bisa terdiam sambil memandangi putri yang sangat disayanginya itu.
"Coba pikirkan cara apa kek, Pak." ibu Lastri tak peduli jika nada suaranya terdengar mendesak. Asalkan bisa kembali membuat Lilis kembali ceria, ibu Lastri akan mendesak suaminya untuk mencari cara agar pernikahan pria yang dipuja putrinya dibatalkan. Atau setidaknya ditunda. Dengan begitu, mereka masih punya waktu memikirkan cara agar Lilis bisa menjadi istri dari Armand. "Pokoknya temukan cara untuk mewujudkan mimpi anak kita agar bisa menjadi istrinya Armand."
"Cara yang seperti apa lagi, Buk?" tiba-tiba saja pak Somad merasa kesal. Sikap istrinya yang menjadi pemaksa membuatnya merasa tak suka. "Memang Ibuk nggak dengar apa, siapa yang dihubungi oleh pengacaranya si lelaki sok kecakepan itu? Atau Ibuk malah senang jika jabatan Bapak dicopot hanya karena Bapak nggak bisa bersikap profesional. Begitukah yang Ibuk mau?"
"Tapi 'kan, Bapak bisa aja nyewa orang buat ngapa-ngapain itu perempuan. Entah diperko*a atau dibun*h, yang mana pun boleh. Asalkan dia nggak bisa jadi istrinya Armand, maka putri kita masih punya kesempatan."
"Oh begitu ya pemikiran Ibuk." pak Somad mengangguk-angguk seolah menyetujui apa yang istrinya katakan. Tapi kemudian, ekspresinya terlihat kecut, senyumnya bahkan tampak pedih saat berucap, "Jadi, Ibuk nggak masalah kalau Bapak dipenjara demi memenuhi keinginan Lilis?"
Ibu Lastri tercekat. Tatapan terluka suaminya bahkan membuatnya tergagap saat mencoba berkata, "Tap... tapi, ba... bapak 'kan bayar orang buat ngelakuin itu. Nggak mungkin polisi bisa tau siapa dalangnya."
"Apa Ibuk pikir Armand itu bodoh?" pak Somad mendengus penuh ironi. "Kenalan dia itu banyak. Dia juga tau kalau kita sedari awal udah mencoba mempersulit prosesnya pengajuan dispensasi pernikahannya. Jadi, nggak akan sulit baginya untuk mencari keterlibatan Bapak jika sampai Bapak mengikuti saran Ibuk itu."
"Pak... "
"Tapi, kalau memang Ibuk tetap ngotot minta Bapak ngelakuin itu, akan Bapak turutin. Pesan Bapak, jaga anak kita baik-baik dan jangan sampai Ibuk menyia-nyiakan kesempatan setelah Bapak berhasil melenyapkan anak har*m itu."
Ibu Lastri kehabisan kata-kata. Kedua matanya membeliak serta tubuhnya menjadi kaku tanpa bisa sedikitpun bisa digerakkan. Wanita paruh baya yang rambut putihnya mulai terlihat di sela-sela rambut hitamnya itu menggigil, takut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya.
Tiap kata yang diucapkan bagai pesan terakhir, seolah mereka tidak akan pernah bertemu lagi itu ternyata terasa jauh lebih menakutkan bagi ibu Lastri daripada menyaksikan anaknya mengamuk setiap hari.
Karena itu...
Dengan tergesa-gesa ibu Lastri memegang tangan suaminya yang baru saja hendak berdiri.
Pergelangan tangan suaminya yang terasa kaku itu dipegang ibu Lastri dengan kedua tangannya yang gemetar.
"Jangan pergi, Pak." ibu Lastri menggeleng dengan air mata yang mulai mengalir menuruni pipi. "Ibuk minta maaf sama Bapak. Tolong ampuni Ibuk, Pak."
Permintaan maaf tersebut terus ibu Lastri ulang entah sampai berapa kali.
Bahkan saking tenggelamnya dalam gemuruh yang melanda mereka, sepasang orang tua yang terlalu dibutakan akan rasa sayang kepada anak mereka itu pun tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedang tadi memperhatikan mereka.
Bibir orang itu tersenyum. Sorot matanya yang memendam kegilaan berbinar kala bisa mencerna isi pembicaraan sepasang suami-istri tersebut.
"Patut dicoba. "
Kata tersebut terucap pelan sembari sepasang mata yang memerah itu terus menyaksikan drama memuakkan yang tersaji di depan matanya.