Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama
Hari pertama Lovy di Jakarta seharusnya menjadi awal dari "misi perjodohan" yang direncanakan keluarganya. Tapi sore itu, kenyataannya jauh dari kata misi serius. Ia terdampar di balkon kamar hotel bintang lima, duduk di kursi malas, memakan kentang goreng dari room service sambil menonton telenovela di TV kabel.
"Aku nggak siap! Aku nggak siap!" jerit Lovy dari kamarnya. Rambutnya masih setengah dikeriting, setengah acak-acakan, membuatnya tampak seperti singa yang tersetrum listrik.
"Kenapa di film-film, hotel selalu jadi tempat cinta terlarang, ya?" gumam Lovy sambil mencelupkan kentang ke saus tomat.
Samuel yang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya hanya melirik sekilas. "Karena kamu nonton film yang salah," sahutnya datar tanpa menoleh.
Lovy mendengus. "Aku bosan! Aku datang ke Jakarta untuk dijodohkan sama pria dingin yang katanya CEO, tapi malah diem di kamar hotel. Aku ini korban perjodohan atau narapidana kamar 1507?" Suaranya sengaja dinaikkan, berharap ada simpati.
Samuel mengangkat mata sebentar, menatapnya seperti orang tua menatap anak yang terlalu dramatis. "Narapidana yang hidup di kamar hotel bintang lima. Bersyukurlah," komentarnya tenang, lalu kembali menatap layar.
"Bersyukur? Aku ini gadis muda penuh energi yang ditahan di kamar!" Lovy melempar kentang goreng ke piring dengan kesal. "Aku butuh udara, aku butuh inspirasi, aku butuh… es krim!"
Ia bangkit dramatis seperti heroine drama Korea yang kabur dari mansion, sampai saus tomat hampir tumpah. "Aku ke bawah dulu!"
Samuel menutup laptop setengah, menatapnya tenang. "Jangan bikin masalah."
Lovy menoleh dengan senyum manis — senyum yang biasanya jadi pertanda bencana. "Aku? Bikin masalah? Aku ini malaikat tanpa sayap."
Samuel menatapnya datar. "Setiap kali kamu bilang gitu, aku dapat firasat buruk."
Lovy mengabaikan komentar itu, mengambil tas kecil dan mengenakan blazer pink. "Aku cuma mau jalan-jalan. Santai aja." Suaranya terlalu ceria untuk membuat Samuel percaya.
Namun ia membiarkannya. Lovy keluar dengan ayunan langkah berlebihan, meninggalkan sepupunya dengan tatapan penuh firasat buruk.
Sepuluh menit kemudian, Lovy berjalan di koridor panjang hotel. Sandal hotel putihnya berdecit pelan di lantai marmer. Blazer pink melayang-layang, tas kecil tersampir di bahunya. Awalnya, ia hanya berniat mencari udara segar, atau setidaknya es krim di kafe hotel.
Namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sesuatu di bawah, melalui jendela besar di koridor. Gerakan samar di area kolam renang.
Ia menempelkan wajah ke kaca, matanya memicing. "Eh… itu punggung yang aku kenal…" desisnya seraya mengucek matanya berkali-kali untuk menjernihkan penglihatannya.
Detak jantungnya tiba-tiba melonjak semakin yakin dengan penglihatannya. "YA AMPUN! ITU PUNGGUNG YANG KUHAFAL LEBIH DARI PUNGGUNGKU SENDIRI!"
Wajahnya mendekat ke kaca sampai hampir menempel. "Itu William? Itu beneran William Arkenzi?!"
Lovy menutup mulutnya sendiri, panik. "Dia di Jakarta! Di hotel yang sama! Dan aku nggak tahu!" katanya setengah berbisik, setengah teriak.
Tanpa pikir panjang, ia lari ke lift seperti pelari maraton. Sandal hotelnya menepuk-nepuk lantai marmer dengan keras. Seorang tamu yang baru keluar lift bahkan kaget setengah mati. "Mbak, ketinggalan pesawat ya?" tanyanya heran.
"Ketinggalan kesabaran!" sahut Lovy, lalu melesat masuk ke dalam lift.
****
Lima menit kemudian, Lovy sudah sampai di area kolam renang hotel. Misinya jelas: penyelidikan.
Ia berjalan mengendap-endap di pinggir kolam. Setiap ada pot bunga besar, ia jongkok dan mengintip. Setiap waiter lewat, Lovy pura-pura merapikan sandal atau memeriksa kuku.
Seorang bellboy melihatnya jongkok di balik kursi panjang. "Bu, Anda baik-baik saja?" tanyanya sopan tapi bingung.
Lovy menoleh cepat, menempelkan jari ke bibir. "Ssst! Misi rahasia!"
"Misi apa, Bu?"
"Misi, Mas! Jangan ganggu radar fokus saya!" jawab Lovy dramatis, matanya melotot seperti detektif anime.
Bellboy itu mundur pelan-pelan, lalu berbisik ke rekannya, "Kayaknya kita dapat tamu selebriti TikTok… cantik banget."
Rekannya membalas berbisik, "Kalau liat arah pandangannya, kayaknya lagi misi menangkap buaya darat!"
"Ssssstttt…." balas rekannya yang lain penasaran sekaligus takut mengganggu.
Lovy merangkak di balik kursi panjang, berusaha tak terlihat. Saat itu juga, seorang anak kecil menunjuknya sambil bertanya polos, "Tante, tante nyari harta karun, ya?"
Lovy menatap anak itu dan berbisik, "Ssst! Ini rahasia negara, Dek!"
Ia kembali fokus dengan tujuannya. Menatap kedepan dengan kening berkerut.
Dan di situlah dunia Lovy runtuh. Ketika ia melihat kejadian menyakitkan di depan matanya sendiri.
William.
Pacar delapan tahunnya.
Duduk santai di pinggir kolam, memeluk mesra perempuan berbikini merah. Tangannya melingkari pinggang perempuan itu, mereka berdua tertawa. Tawa pengkhianatan.
Lovy membeku. Bibirnya terbuka, napasnya tercekat. "Oh. My. God," bisiknya. Matanya terasa panas, air mata menggenang.
Tapi detik berikutnya ia menghapus kasar air mata itu. Menatap William dengan mata berkaca, tapi penuh api. "Tidak boleh ada air mata. Tidak untuk pria busuk," ucapnya lirih, tapi tegas.
Ia menarik napas dalam, lalu— "WILLIAM ARKENZI!!!"
Suara Lovy menggema keras. Semua orang terdiam. Waiter yang membawa tray hampir menjatuhkan minuman. Anak-anak berenang langsung memeluk pelampung. Bahkan burung-burung di air mancur terbang kaget.
William terperanjat. "Lovy?!"
Lovy melangkah maju seperti singa lepas kandang. Sandal hotelnya ngeplak di lantai, tapi auranya mencekam. Tangannya terangkat tinggi.
PLAK!
Tamparan itu keras, meninggalkan bekas merah di pipi William. Semua orang menoleh. Beberapa tamu langsung mengeluarkan ponsel, siap merekam drama.
"ITU UNTUK DELAPAN TAHUN PACARAN TANPA KESETIAAN!" jerit Lovy.
Perempuan berbikini itu berdiri panik, menutup tubuhnya dengan handuk. "Aku… aku nggak tahu dia punya pacar!"
Lovy menunjuknya dengan jari bergetar. "NGGAK TAU?! SATU BALIKPAPAN TAHU DIA PACARNYA LOVY CRISELA LUWIYS! GIMANA KAMU NGGAK TAU?!"
William panik. "Sayang, dengar aku dulu. Ini nggak seperti yang kamu lihat—"
"NGGAK SEPERTI YANG AKU LIHAT?! MAU BILANG CEWEK ITU NGUNGSI DI PANGKUAN KAMU KARENA GEMPA?!"
Orang-orang mulai merekam dengan ponsel. Ada yang berbisik, "Astaga ini nyata."
"Cocok nih buat FYP TikTok."
Lovy maju lagi, suaranya semakin meledak.
"OH JADI GINI YAH. BEBERAPA HARI LALU AKU TELEPON KAMU SIBUK TERUS! SEKALINYA NYAMBUNG, ADA SUARA CEWEK! KAMU BILANG ITU SEKRETARIS KAMU! DAN PAS AKU NANYA SOAL NIKAH, KAMU SELALU MENGHINDAR! TERNYATA KAMU SELINGKUH DIBELAKANG AKU!"
William memegang lengannya, memohon. "Lovy, aku beneran cinta sama kamu. Tapi aku… aku nggak bisa kalau nggak main sama cewek lain. Kamu selalu sulit diajak berhubungan… aku kan laki-laki, aku butuh itu!"
Lovy menepis tangannya, mundur jijik. "JANGAN SENTUH AKU LAGI! UCAPAN KAMU SEMUANYA SAMPAH! MENJIJIKAN!"
Ia mengangkat tangan untuk tamparan ronde dua. Tapi kakinya nyangkut di kursi lipat, tubuhnya oleng, hampir terjerembab ke kolam.
Dan di detik itulah, sebuah tangan dingin dan kuat menangkap lengannya tepat sebelum ia jatuh.
Lovy menoleh.
Pria tinggi, kemeja putih dengan lengan tergulung, celana hitam. Wajah setajam patung es. Tatapan matanya dingin tapi magnetis.
"Berhati-hatilah," suaranya rendah, dalam, seperti resonansi bass yang membuat jantung Lovy ikut bergetar.
Lovy terdiam. Pipinya memanas. "A-aku… aku nggak apa-apa! Aku cuma… latihan salto!" jawabnya asal.
Pria itu menatapnya datar. "Latihan yang berbahaya, Nona."
"Eh, itu cara aku jaga kebugaran tau!" jawab Lovy terbata, mencoba mencari muka karena malu.
Pria itu hanya menaikkan alis, lalu berbalik pergi, meninggalkan aroma aftershave yang samar.
Lovy menatap punggungnya, berbisik, "Wih, satpam hotelnya cakep banget. Satpam bintang lima ya gini, auranya kayak drama Korea."
Seorang tamu yang ikut menonton drama itu berbisik, "Mbak, itu bukan satpam, itu kayaknya—"
Tapi Lovy sudah balik fokus ke William.
"WILLIAM! WILLIAM ARKENZI!" teriaknya lagi. "KITA RESMI PUTUS!"
Setiap kata dia tekan dengan emosi penuh.
"PUTUS!"
"PUTUS!"
"PUTUS!"
Ia berbalik dramatis, blazer pinknya berkibar seperti cape pahlawan. Sandal hotelnya hampir nyangkut lagi, tapi kali ini dia berhasil mengimbangi langkahnya.
Satu hotel riuh. Semua mata memandang Lovy yang keluar seperti pemeran utama drama FTV.
***
Lima belas menit kemudian, Lovy masuk lift masih ngos-ngosan. Samuel sudah ada di sana, wajahnya campuran malu, pasrah, dan tak heran.
"Lovy…" katanya datar. "Kamu bikin drama satu hotel."
Lovy menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. "Itu namanya aksi heroik. Aku tadi kayak pemeran utama FTV jam 7 pagi."
Samuel memijit pelipis. "Kamu sadar nggak… ada pria yang nolong kamu tadi?"
Lovy mengangguk cepat, matanya berbinar. "Iya! Satpam hotel kan?"
Samuel menatapnya lama. "Satpam?"
Lovy mengangguk serius. Ia menggigut jari telunjuknya sekali sebelum berkata, "Satpam super ganteng. Satpam yang auranya kayak CEO, tapi pasti cuma satpam hotel. Soalnya dia manggil aku 'Nona' seperti seorang bawahan yang memanggil majikannnya. Dan dia nolong aku biar nggak jatuh menjadi tugasnya untuk mengamankan hotel ini dari bencana. Betul kan?"
Samuel menatap Lovy seperti menatap makhluk aneh. "Kalau dia satpam, aku presiden."
Lovy malah tersenyum, mengabaikan sindiran itu. "Kamu merasa tersaingi yah sama seorang satpam? Hahaha... Tapi emang kalau dibandingkan sama kamu, Sam! Dia lebih ganteng."
Samuel menutup mata, menghela napas panjang. Sebelum meninggalkan Lovy yang justru terdiam melamun.
Lovy diam-diam memegang lengannya sendiri — lengan yang tadi disentuh pria itu. Pipinya memanas.
Bukan karena jatuh cinta.
Tapi karena penasaran.
Dan entah kenapa, hatinya berbisik, "Kalau bukan satpam pun… aku akan bikin dia jadi satpam hatiku. Hahaha… menjaga hatiku agar tidak terluka lagi."
****