NovelToon NovelToon
BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

BENCONG UNDERCOVER - My Bencong Is Aman-zing

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / One Night Stand / Selingkuh / Pernikahan Kilat / Roman-Angst Mafia
Popularitas:466
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.

Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.

Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.

•••

Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.

Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.

Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.

⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Decoy dan Umpan?

***

“Dasar idiot!” Yannick memaki, matanya melotot ke arah Kim Jun yang malah nyengir nggak tahu diri.

“Kalau dari tadi kita urus sendiri, gadis itu pasti sudah beres,” gumamnya ketus.

“Selera humormu aneh sekali,” jawab Kim Jun tenang. “Masalah gadis itu, biar mereka yang pusing. Kita fokus saja sama target. Bukannya Bos tadi sudah bilang begitu?”

“Ya, tapi kalau bisa sekalian dihantam, kenapa nggak?” Yannick masih ngeyel.

Kim Jun menatap sebentar, nadanya merendah tapi menusuk. “Orang seperti dia… jangan dilawan gegabah. Kemarin kita terlalu santai, akibatnya dia lolos. Sekarang aku yakin dia jauh lebih siap. Sepuluh langkah di depan kita.”

Dia lalu menyandar santai, meski matanya tetap awas. “Makanya, kali ini kita main aman. Gunakan pihak yang punya wewenang. Lebih bersih, lebih rapi.”

Yannick mendengus, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berdua kembali diam, mengamati dari jauh, menunggu momen paling tepat untuk menutup permainan.

***

Tak jauh dari sana, Pak Mora dan anak buahnya sudah gabung dengan tim kepolisian.

“Malam, Pak. Akhirnya sampai juga. Apa benar ini tempatnya?” tanya Pak Mora pada salah satu anggota polisi berbaju hitam kamuflase.

Sore merayap menuju malam ketika mereka menemukan sebuah mini van terparkir di depan gubuk tua pinggir muara.

Pak Mora menyipitkan mata. “Dari mana bisa tahu mobil itu mengarah ke sini? Tempat ini lumayan terpencil.” Ia heran—timnya sendiri sudah mengejar sejak rumah pelaku, tapi belum bisa melacak secepat itu.

“Ada laporan dari turis Korea Selatan,” jawab polisi itu. “Katanya hampir tertabrak truk es krim di dekat sini. Saat dia marah, kepalanya malah dilempar tas berisi kain berdarah dan sepucuk pistol.”

Alis Pak Mora langsung naik. “Turis Korea?”

“Ya. Namanya Park Song Jun.”

Rasanya terlalu kebetulan. Salah satu bodyguard Dimitry memang orang Korea, meski Pak Mora belum tahu namanya. Tapi nalurinya bilang, ini pasti ada hubungannya dengan tim ‘Abort Mission’ yang terkenal ngawur itu.

‘Hm… ini pasti ulah Dimitry,’ pikirnya.

Tak lama, dari dalam gubuk mulai ada pergerakan.

Seseorang keluar lewat pintu belakang, menoleh kiri–kanan seperti sedang memastikan situasi. Langkahnya mengarah ke dok di buritan, tempat kapal biasa menepi. Aneh… tak ada satu pun kapal di sana.

Mereka terus mengawasi dari balik gelap.

Beberapa menit kemudian, suara mesin motor pendorong terdengar pelan dari kejauhan, makin lama makin jelas. Sorot senter menembus kabut tipis, langsung mengarah ke dok. Orang yang menunggu itu segera mengibaskan bendera merah. Kapal yang mereka tunggu… akhirnya datang.

“Semua pasukan siap! Hati-hati, target kemungkinan bersenjata api. Jumlah mereka belum pasti. Ingat, keselamatan sandra adalah prioritas,” suara kapten operasi terdengar tegas lewat HT.

Di sisi lain, tim Pak Mora saling melirik.

Bandi, anak buah Saloka, spontan melotot. “Ndan… kenapa nggak bilang kalau mereka bawa senjata api? Kita cuma bawa celurit, ini.” Ia mengangkat pisau army dari selongsongnya, nadanya setengah protes.

Saloka menghela napas panjang. Kalau adu fisik, anak-anaknya sudah kenyang keluar masuk hutan, mental baja. Tapi senjata api? Itu lain cerita. Dan keyakinan yang tadi penuh… mendadak sedikit goyah.

“Kalian di belakang saja. Tutup semua akses keluar. Biar kami yang maju duluan,” kata Pak Mora, menepuk bahu Bandi.

Pak tua itu ternyata jauh lebih siap dari dugaan. Pistol di pinggangnya sudah ia tarik keluar. Tubuhnya merendah, matanya fokus. Postur seorang pemburu yang siap menyergap mangsanya.

Tapi,,,

Pintu gubuk terbuka mendadak.

Gak sesuai harapan,,,

Dua pria bersenjata keluar lebih dulu, menoleh cepat ke kanan-kiri. Lalu dari dalam, muncullah sosok bertopeng hitam, menyeret seorang gadis dengan tangan terikat di belakang punggung.

"Itu Brea!" Ucap Saloka tersendat.

Kepalanya tertunduk, rambutnya acak-acakan, pipinya pucat, dan langkahnya terseret-seret seperti hampir tak kuat berdiri. Dari jauh, terlihat jelas baju yang ia kenakan sudah kotor, dan ada bekas lebam di lehernya.

Pak Mora yang mengintai dari balik semak langsung membeku sepersekian detik — lalu rahangnya mengeras.

Tatapan matanya berubah tajam, nadinya terasa menghentak di pelipis.

“Bangsat…,” gumamnya rendah, tapi penuh amarah yang dingin.

Salah satu pria bertopeng menodongkan pistol ke kepala Brea, mengancamnya supaya jangan bertindak macam-macam. Yang lain membuka HT, memberi kode ke kapal yang baru merapat. Mereka mulai bergerak cepat, menyeretnya ke dermaga.

Pak Mora mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak asal menembak. Satu gerakan gegabah saja, nyawa anaknya bisa melayang. Tapi melihat wajahnya yang setengah linglung itu, darahnya mendidih.

“Itu anak bapak?" tanya salah satu anggota tim dari sebelah sambil berbisik.

Pak Mora mengangguk, tapi matanya tetap terkunci pada Brea.

Laki-laki dengan topeng, menyeret paksa Brea ke buritan. Posisinya jelas membelakangi mereka, ini kesempatan!

Kapten tim memberi kode dengan jari. Timnya langsung bergerak menyebar, membentuk setengah lingkaran mengurung gubuk dan dok.

Suara ombak pelan berpadu dengan deru mesin kapal yang makin mendekat.

Begitu haluan kapal menempel di dermaga kayu, dua orang bersenjata api melompat turun. Senter di helm mereka menyapu area sekitar.

“Sekarang,” bisik Pak Mora.

Suara retak ranting jadi aba-aba tak resmi. Delapan orang anggota tim langsung bergerak cepat, mengapit dari kanan dan kiri.

Sayangnya,,,

salah satu penjaga kapal menangkap gerakan itu, lalu—

DOR!

Peluru melesat, memecah malam. Satu anak buah Saloka terjatuh, bahunya tergores peluru. Suara teriakan bercampur panik memecah keheningan.

Sialan!

"Jangan sampai anakku kenapa-kenapa!" Bentak Pak Mora hampir memaki.

“Cover! Tutup mereka!” teriak Pak Kapten Tim sambil membalas tembakan.

Beberapa orang dari gubuk berhamburan keluar, ada yang menggotong karung besar, ada yang menyeret seseorang dengan tangan terikat — sandra. Mereka jelas berniat memindahkannya ke kapal.

Mereka mulai bingung,,, katanya Sandranya cuma satu, kenapa sekarang ada banyak?

"Ini kamuflase. Informasi bocor. Anakku jadi umpan supaya kita keluar." Pak Mora sadar seketika ada yang gak beres.

Tapi Bandi, yang tadi protes soal senjata, justru yang paling duluan menubruk salah satu penjahat saat melihat orang di dalam karung berteriak. Suaranya jelas perempuan. Celuritnya langsung teracung, berkilat sebentar sebelum lawan itu tumbang.

“Cepat, Bandi! Amankan yang lain!” seru Saloka dari balik pelindung.

Dentuman senjata memecah udara, bau mesiu segera memenuhi hidung. Tapi suara tembakan bukan berasal dari arah sandra yang diikat dalam karung — melainkan dari sisi tempat Brea berada.

Anak gadis Pak Mora benar-benar dijadikan umpan.

Jelas ini jebakan. Tapi bagi Pak Mora, cara paling ampuh hadapi jebakan… pasti dengan menghancurkannya.

Ia tetap maju, meski anggota tim lain mulai berpencar sesuai rencana. Terserah kalau orang mau bilang dia egois — karena dia tau, pihak yang membawa sandra lain tak ada yang membawanya senjata api.

Pasti Renggo punya skenario lain di balik semuanya.

Kapal mulai mundur, mesinnya meraung kencang.

‘Dor! Dor!’

Dua peluru Pak Mora meledak tepat ke mesin belakang kapal. Asap hitam mengepul, membuat laju kapal tersendat.

Di atas kapal, mereka makin panik..

Pak Mora tak buang waktu — lansung terjang, menghantam sosok yang sedang menodongkan pistol ke kepala Brea.

‘Bamp!’

Tubuh orang itu ambruk, terhempas keras ke lantai kapal. Mungkin tak menyangka Pak Mora tiba-tiba bisa muncul seperti hantu.

“Ayah!”

Suara Brea pecah, saat ayahnya cepat-cepat melepaskan penutup mulutnya. Tangisnya langsung tumpah, tubuhnya bergetar hebat.

Di sela isak tangisnya, Brea meracaukan satu kalimat…

Sukses bikin Pak Mora mengumpat,,,

"Dasar sialan!" matanya melotot garang.

***

1
Xavia
Jelek, bosen.
Yuni_Hasibuan: Boleh di skip ya say.

Lain kali, lebih baik diam daripada dapat dosa, karena menghina karya orang lain.
total 1 replies
Esmeralda Gonzalez
Aku suka banget sama karakter tokoh utamanya, semoga nanti ada kelanjutannya lagi!
Yuni_Hasibuan: Sip,,,,
Terimakasih banyak Say.
Tetep ikutin terus.. Ku usahakan baka update setiap hari.


Soalnya ini setengah Based dari true story. Ups,,, keceplosan.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!