Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
AUTHOR POV
Pagi Jakarta kembali bising. Di lantai 15 sebuah apartemen sederhana, dua cangkir teh mengepul di atas meja kayu kecil. Di sampingnya, tergeletak selembar jadwal OSPEK dengan logo kampus.
Amira duduk di kursi rotan, jilbab syar’inya sudah rapi. Wajahnya kalem, tapi matanya menyimpan rindu rumah. Sementara Zayn dengan kemeja putih dan celana hitam sedang berdiri di depan kaca, merapikan kerah. Gerakannya tenang, tapi dalam hatinya... ia merasa dag dig dug.
Hari ini mereka resmi memulai dunia baru yaitu dunia perkuliahan.
Tapi ada satu rahasia yang harus mereka jaga rapat-rapat bahwa Mereka sudah menikah.
ZAYN POV
Gue tarik napas panjang, ngeliat pantulan wajah gue sendiri di kaca. Siap OSPEK, tapi siap juga buat drama yang mungkin bakal muncul? Gue nggak yakin.
“Lo nggak takut ketahuan?” gue tanya pelan sambil ngancingin lengan baju.
Amira yang lagi masang pin nama di dadanya cuma senyum tipis. “Kalau kita jaga diri, insya Allah aman. Aku nggak mau orang tahu dulu, Zayn. Biar kita fokus kuliah.”
Gue diem sebentar. Bener sih. Tapi rasanya nggak enak kalau harus pura-pura temenan di depan orang.
“Jadi... kita cuma temen, gitu?” gue ulang lagi, setengah bercanda.
Dia lempar tatapan, senyum kecil. “Kita tetap suami-istri. Tapi dunia nggak harus tahu.”
Gue senyum miring, dalam hati gue janji. 'Kalau ada yang berani ganggu lo... gue nggak bakal diem.'
AUTHOR POV
Mobil sedan putih kecil yang mereka tumpangi meluncur dengan kecepatan rata-rata ke kampus. Jakarta macet, tapi bukan itu yang bikin deg-degan. Begitu sampai, halaman kampus udah kayak lautan manusia. Spanduk OSPEK warna-warni berkibar. Speaker nyalain lagu hype.
Zayn turun duluan, buka pintu buat Amira, tapi gerakannya cepat dan santai biar nggak kelihatan mencurigakan. Mereka udah sepakat buat jaga jarak.
Amira bawa map biru berisi berkas. Jalan pelan, matanya nyari kelompok cewek. Sedangkan Zayn langsung gabung ke barisan mahasiswa cowok.
AMIRA POV
Aku masuk barisan cewek. Sebagian besar pakai jeans, baju ketat, jaket crop, dan rambut mereka... wow. Diwarnai, dicat highlight, ada yang ombre. Semua tanpa hijab. Wangi parfum mereka nyerang dari segala arah.
Aku melirik ke bawah: gamis putihku menjuntai, jilbab syar’iku menutupi dada. Aku nggak minder. Tapi tatapan mereka bikin aku tahu... aku berbeda.
Dan perbedaan ini... Mungkin akan jadi masalah di masa depan.
AUTHOR POV
Di sisi lapangan, tiga mahasiswi duduk bareng. Mereka mencolok.
Syifa: Crop top putih ketutup jaket jeans, rambut coklat caramel bergelombang. Bibirnya berlipstik nude.
Afifah: Kaos hitam ketat plus flanel kotak-kotak, rambut hitam panjang.
Ilmia: T-shirt putih, ripped jeans, poni belah tengah. Makeup mereka on point.
“Gila... itu cowok siapa? Yang tinggi, kulitnya putih, badannya bagus,” bisik Syifa sambil ngeluarin ponsel, nge-zoom ke Zayn yang lagi baris.
Afifah ketawa kecil. “Kayak bukan anak kampus, lebih kayak model. Fix bukan anak alim.”
Ilmia ngelirik Amira di seberang. “Tapi... lo sadar nggak? Dari tadi dia suka nengok ke arah cewek berjilbab itu. Yang kayak ustazah.”
Syifa mendengus. “Please. Kalau dia udah di sini, berarti dia udah bebas. Gue nggak suka kalah sama jilbab panjang.”
Afifah ketawa. “Oke, kita lihat nanti.”
ZAYN POV
Gue lagi dengerin panitia jelasin jadwal OSPEK, tapi kuping gue nangkep suara bisik-bisik cewek di belakang. Gue nggak peduli. Sampai gue ngerasa ada tatapan. Gue angkat kepala dikit.
Ada cewek rambut coklat caramel, bibir glossy, senyum tipis. Gue langsung ngalihin pandangan.
'Astaghfirullah... fokus Zayn. Jangan bikin dosa baru.' ucap gue dalam hati.
AMIRA POV
Aku lihat semuanya. Tatapan mereka ke Zayn. Senyum mereka.
Ya Allah, kenapa rasanya nggak enak gini? Aku nggak boleh marah. Aku harus sabar. Aku ingat kata Umi,
"Kalau kamu mau bahagiakan suamimu, jagalah hatimu dulu."
Aku tunduk. Kugenggam map biru ini erat-erat.
Aku bukan takut mereka lebih cantik. Aku cuma takut... kalau aku kalah dalam bersabar.
'Semoga Allah swt. Melindungiku dan suamiku dari semua godaan atau cobaan yang akan datang.Amiiin.' do'aku dalam hati.
AUTHOR POV
Hari berjalan cepat. OSPEK selesai menjelang sore. Zayn dan Amira pulang dengan tubuh lelah, tapi hati mereka lebih lelah karena harus berpura-pura.
Di lift apartemen, akhirnya mereka bisa tarik napas lega.
“Capek?” tanya Zayn sambil nekan tombol lantai 15.
Amira senyum kecil. “Capek jaga rahasia.”
Zayn ketawa pelan, matanya lembut. “Tenang ya, Kita pasti kuat. Semoga Allah swt. Melindungi kita.” ucap Zayn sambil mencium kening Amira.
Amira yang mendapat perlakuan seperti itu dari Zayn merasa senang sekaligus deg-deg.an. Zayn yang melihat Amira tersenyum malu merasa gemas dan menggandeng tangan Amira dan menatap Amira dalam dan mereka pun saling menatap dalam diam seolah mereka sedang berbicara hanya lewat tatapan. Sampai-sampai mereka tak sadar kalau mereka sudah sampai di depan apartemen mereka.
Tapi mereka nggak tahu... rahasia ini bakal jadi senjata buat orang-orang yang nggak suka sama mereka.
Disaat mereka menikmati suasana baru di lain tempat lebih tepatnya di pondok pesantren masih ada seseorang yang merasa tak adil dan hatinya panas setelah tau kalau Zayn anak baru yang dulunya begajulan ternyata dijodohkan dengan santriwati yang sudah lama ia sukai. Dan dia sedang merencanakan sesuatu yang bisa menjatuhkan Zayn.
POV HAMDAN
Aku duduk di kamar, lampu temaram. Ponselku bergetar. Nama Robi muncul di layar.
Chat terakhir kami masih ada:
Robi: “Kapan dia keluar dari pondok?”
Hari ini aku jawab:
Aku: “Dia udah di Jakarta.”
Balasan datang cepat:
Robi: “Oke. Gue bakalan siapin anak-anak. Lo masih di pihak gue, kan?”
Aku ketik pelan:
Aku: “Aku pengen dia jatuh Bang. Pokoknya ejatuh-jatuhnya.”
Kututup ponsel.
Dari luar, suara azan Isya terdengar. Tapi di dadaku bukan doa... melainkan dendam.
“Lo boleh nikah sama dia, Zayn. Tapi gue nggak bakal biarin lo tenang.”
POV AUTHOR
Lift berhenti di lantai 15. Pintu terbuka. Zayn melangkah duluan, lalu menunggu Amira dengan sabar. Mereka masuk apartemen kecil itu, melepaskan sepatu dengan gerakan lelah tapi tenang.
Amira langsung menurunkan jilbab panjangnya, lipatan kain jatuh anggun di lantai. Wajahnya pucat tapi tetap indah dalam kesederhanaannya. Zayn menaruh tasnya di kursi, lalu mendekat dengan dua botol air mineral.
“Minum dulu. Lo pasti capek,” ucapnya sambil menyodorkan botol.
Amira menerima, mengangguk pelan. “Makasih.”
Hening sejenak. Hanya suara AC yang terdengar. Zayn berdiri di depan meja, matanya menatap Amira yang lagi duduk di sofa. Ada rasa pengen ngobrol banyak, tapi... dua-duanya masih jaga jarak.
“Gue masakin mie, ya?” tanya Zayn tiba-tiba.
Amira kaget, menoleh cepat. “Bisa masak?”
Zayn nyengir kecil. “Dulu sering masakin anak-anak Stardom. Bedanya, waktu itu masaknya sambil ngerokok. Sekarang nggak.”
Amira ketawa kecil, lalu mengangguk. “Oke. Tapi aku temenin.”
ZAYN POV
Gue berdiri di dapur kecil, buka bungkus mie instan. Amira berdiri di sebelah gue, ngerapihin piring. Gue ngelirik dia diam-diam. Jilbabnya udah diganti kerudung segi empat yang lebih simple, dan entah kenapa... pemandangan ini bikin dada gue anget.
“Apa?” Dia sadar gue ngeliatin.
“Enggak.” Gue senyum. “Cuma... nggak nyangka kita bisa gini.”
Dia ikut senyum. “Aku juga.”
Kami nggak ngobrol banyak lagi. Tapi waktu mie matang dan kami makan berdua di meja kecil, gue ngerasa ini lebih mewah daripada semua pesta yang pernah gue datengin dulu.
AMIRA POV
Zayn ngambil sendok, nyodorin piring pertama buat aku. “Hati-hati panas.”
Aku senyum, terima. Kami makan berdua dalam diam. Tapi diam ini... bukan canggung lagi. Diam ini kayak bilang: kita lagi belajar.
Saat selesai makan, aku berdiri mau beresin piring. Zayn langsung tahan tanganku. “Udah, gue aja. Lo istirahat.”
Aku sempat melotot kecil. “Kan kita partner.”
Dia ketawa pelan. “Partner ya? Oke... berarti kita bagi tugas. Gue cuci piring, lo bikin teh. Gimana? Deal?.” ucapnya sambil mengangkat tangannya untuk mengajak salaman.
Aku tertawa sambil membalas salamannya. “Deal.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kami pindah ke apartemen ini, suasana nggak lagi kaku. Ada tawa. Ada kerja sama kecil. Dan... ada rasa aman.
Di balik semua rahasia yang mereka simpan dari dunia, di ruangan kecil ini, dua hati itu pelan-pelan membangun rumahnya sendiri.
To Be Continued..✨️🫶