NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:495
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4

Sudah selama tiga hari Devan dirawat di rumah sakit. Dr. Rian bilang hari ini Devan sudah bisa kembali pulang ke rumah. Ini didukung dengan kondisi kesehatannya yang semakin stabil. Devan juga selalu menuruti semua yang dikatakan oleh dokter Rian. Terlebih dia tidak ingin membuat Revan menjadi khawatir. Devan tahu bahwa dia harus menjadi kuat untuk Revan. Revan sudah menjaganya selama ini, maka dari itu dia tidak boleh membuat pengorbanan Revan menjadi sia-sia.

Devan tersenyum melihat kakak kembarnya yang kini sibuk sendiri. Kakak kembarnya itu sibuk membereskan semua barang-barang milik Devan. Dia memeriksa satu per satu, takut apabila ada barang yang tertinggal. Prinsip Revan itu adalah bekerjalah sebaik mungkin agar tidak ada kesalahan.

Revan sedikit terganggu dengan tatapan aneh dari Devan. Merasa risih karena diperhatikan demikian. Sementara Devan, dia malah semakin menikmati pemandangan yang ada di depannya. Entah mengapa dia merasa melihat sosok sang ibu ketika melihat Revan.

Karena merasa tatapan Devan semakin aneh padanya, Revan menghentikan kegiatannya sejenak. "Gue tau gue ganteng, sampe-sampe adek kembar gue aja kesemsem kayak gitu "

"Apa? Apaan sih? Siapa yang liatin lo lagian, geer lo Rev." Devan mengelak padahal dirinya sudah tertangkap basah.

Revan tersenyum jahil, lalu dirinya mendudukan diri di samping Devan. "Tuh muka lo tuh menjawab segalanya, gapapa kok gue bakal terima kalau adek gue yang imut ini kesemsem ma gue."

Devan segera menjauhkan dirinya dari Revan. "Najis! Kapan sih lo tobatnya Rev?" Karena tidak ingin berdebat lagi, Devan akhirnya mengiyakan. "Ya tadi gue liatin lo, masalah?"

"Jutek amat kayak cewek lagi jatuh cinta tapi gak mau ngaku." Revan mengacak surai milik Devan. "Tumben aja lo liatin gue sampe segitunya, biasanya juga jarang lo merhatiin gue."

Devan memasang wajah cemberut. "Rambut gue kamvret! Ya, gue cuma ngerasa tadi pas lo lagi beberes lo mirip banget sama mama. Kayak nyata banget, mungkin kalau mama masih hidup dia juga bakal kayak lo kali ya."

Revan menangkap nada suara Devan yang mengecil. "Mungkin mama bakal lebih cerewet dari gue. Mau coba bayangin?"

"Ng...nggak... Serem ah," Devan langsung bergidik ketika membayangkan almarhum sang ibu.

Revan tersenyum mendengar jawaban sang adik. "Seserem seremnya mama, tetep aja ngangenin. Gue juga gakan munafik kalau gue nggak kangen sama mama juga. Gue sama aja kayak lo Dev. Gue lemah kalau harus inget kejadian itu. Tapi karena gue masih punya lo, gue harus bertahan. Mungkin gue gabisa seserem mama atau setegas papa tapi gue janji gue bakal lakuin yang terbaik buat lo Dev."

Lagi, Devan dibuat terperangah dan tersentuh dengan semua ucapan Revan. Bukan hanya ucapan, Revan juga selalu membuktikannya dengan tindakan yang dia ambil. "Lo tau, kalau gue cewek mungkin gue udah dibikin jatuh cinta sama lo berkali-kali."

"Kalau lo yang jatuh cinta ma gue mah, gue gak liat gender." Revan bergerak mendekati Devan dan mulai menjahilinya dengan menggelitiki sang adik.

Devan berteriak, seolah meminta bantuan. "Tolong! Ada pasien jiwa yang kabur dokter! Tolong!"

"Lah..  Lah pasien jiwa, emang gue gangguan?" Revan tidak terima dengan tuduhan sang adik.

Andrea yang sudah datang menjemput hanya bisa menghela nafasnya ketika melihat kakak-beradik itu malah saling menjahili satu sama lain. "Ikut sekarang juga, atau tante tinggal?"

Kedua anak kembar itu saling memandang dan akhirnya menuruti perintah Andrea.

Sementara itu Raka baru saja tiba di rumah sakit. Namun baru saja tiba, jika ini di dalam kartun maka perempatan siku-siku sudah ada di dahinya. Revan bilang bahwa dia akan pulang bersama Devan setelah Raka datang mengunjungi tetapi teman jeniusnya itu pergi begitu saja.

Sebenarnya Raka ingin marah-marah meluapkannya namun mengingat ini di rumah sakit, dia menahannya. Dalam hati dia akan melakukan pembalasannya pada sang sahabat besok. Saat hampir menuju pintu keluar, Raka melihat di depannya Arjun sedang mengobrol dengan dokter dan perawat lain. Raka segera dengan cepat berbelok arah tapi sayang Arjun sudah lebih dulu melihatnya.

"Raka!" Arjun mengakhiri obrolan dengan rekannya dan memilih menghampiri Raka.

Raka berhenti dan menjawab kikuk. "Hai Bang."

"Kesini mau nengok Devan? Baru aja mereka pulang." Hanya itu yang bisa Arjun katakan.

Raka tersenyum kikuk. "Iya Bang, makanya gue mau nyusul tuh makhluk terus gue marahin abis-abisan."

"Jadi mau pulang?" Pertanyaan yang sebenarnya Arjun tahu tidak harus dia lontarkan.

Raka menghembuskan nafasnya. Tersenyum sebisa mungkin. "Kagak, ke rumah Kian mungkin. Ngobrak-ngabrik dulu rumahnya terus ngajak dia sekongkol buat bales dendam ke Revan."

"Hati-hati, jangan terlalu malem." Perintah itu sangat datar terdengar di telinga Raka.

Raka mengepalkan tangannya, dia merasa ada suatu emosi yang harus dirinya tahan. "Biasanya juga sebelum lo pulang, gue udh di rumah kok." -karena lo selalu pergi sebelum gue bangun dan selalu datang pas gue tidur Bang.

"Oke, gue lanjut dulu ya." Arjun melangkahkan kakinya meninggalkan Raka tanpa tahu bahwa Raka saat ini menahan jutaan emosi yang seakan menusuk jantungnya.

.

.

.

.

.

.

Revan dan Devan sudah tiba di rumah beberapa jam yang lalu. Andrea sendiri memilih undur diri lebih awal karena Arya, suaminya baru saja tiba dari dinas luar negeri. Meninggalkan kedua anak kembar itu sendirian. Lagipula Andrea bisa percaya karena Revan ada disana. Kadang Andrea bingung kenapa bisa keponakannya yang satu itu terlalu dewasa di usianya yang sekarang.

Devan sedang membaringkan tubuhnya di kamar. Dokter Rian bilang dia tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu. Ditambah dengan ultimatum Revan yang membuatnya semakin takut untuk membantah. Jadi yang dilakukan Devan saat ini hanya berbaring sembari membaca buku. Buku komik lebih tepatnya.

Sementara Revan kini dia sedang mempersiapkan makan malam untuk dirinya dan Devan. Tidak ada yang istimewa, Revan hanya memasak sup hangat. Dia juga merasa membutuhkannya mengingat cuaca kini sudah memasuki musim hujan. Setelah selesai memasak, Revan bergegas menghampiri Devan ke kamar untuk mengajaknya makan.

Devan tanpa membantah mengikuti perintah Revan. Tadinya Devan ingin protes karena sebenarnya dia ingin memakan hidangan lain, pizza misalnya. Namun setelah melihat senyuman bak 'malaikat' milik Revan, anak itu langsung memilih sikap penurut. Revan sendiri hanya bisa mengeluarkan senyum penuh kemenangannya.

Devan dan Revan menikmati makan malamnya dengan tenang. Sampai tiba-tiba Revan memberhentikan acara makannya sepihak. Devan mengernyit bingung melihat kakaknya yang tampak panik itu.

"Kenapa lo? Kesambet?" Devan langsung mengeluarkan pertanyaannya.

Revan menggeleng. "Bukan Dev. Ini lebih parah dari kesambet."

"Woy... Woy apa yang lebih parah dari itu emang?" Devan malah semakin penasaran dengan jawaban Revan.

Revan mengeluarkan ekspresi ngeri. "Lo tahu kalau Raka udah murka kayak gimana kan?"

"Bahaya banget Rev bahaya itu. Tapi alesan dia murka kenapa? Parah lo bikin Raka murka." Devan ikut mengeluarkan ekspresi ngerinya.

Revan menjelaskan alasannya. "Gue kemarin bilang ke Raka kalau lo sama gue bakal pulang barengan sama dia. Tapi tadi gue lupa beneran, kita gak nungguin dia dulu. Nah tadi si Kian bilang Raka udah nyamperin kita kesana tapi kita gaada."

"Lo cari masalah Rev. Yaampun. Turut berduka. Tapi gue gak ikutan ya. Yang sabar Kak." Devan berdiri dari duduknya, menghampiri Revan dan mengelus bahunya.

Revan sedikit heran. "Lah kok lo gak ikutan sih?"

"Yang lupa siapa?" Tanya Devan

"Gue."

"Yang janji siapa?" Tanya Devan kembali.

"Gue."

"Jadi Raka ngambeknya bakal ke siapa?" Pertanyaan terakhir Devan.

"Gue."

Devan menghembuskan nafasnya. "Banyak berdoa ya Rev. Gue mau tidur dulu ke kamar. Mau stirahat besok sekolah lagi."

Tanpa sadar Revan malah menganggukan kepalanya menuruti titah sang adik. Setelah beberapa saat Revan baru tersadar bahwa Devan sudah mengelabuinya. Piring di atas meja makan bekas Devan masih berantakan. Tapi mengingat Devan baru saja pulih, Revan dengan senang hati membereskannya tanpa mengomel.

.

.

.

.

.

.

Devan mulai kembali lagi masuk sekolah hari ini. Dia menghirup udara seolah merindukan udara dan suasana yang ada di sekolah. Meskipun sebenarnya tadi pagi dia berdebat cukup panjang karena Revan belum mau mengizinkannya masuk sekolah. Tapi dengan suatu kesepakatan akhirnya Revan mengizinkannnya masuk sekolah lagi.

Iya kesepakatan yang membuatnya risih. Selain di luar jam belajar Revan terus membuntutinya kemanapun dia pergi. Semua yang dilakukannya tidak luput dari perhatian Revan. Kakak kembarnya itu berkilah bahwa dia harus mengawasi Revan agar tubuh sang adik tidak terlalu lelah.

Ardli sahabat Devan hanya bisa menatap kasihan pada Devan. Dia ingin membantu melepaskan Devan dari Revan namun melihat Revan bersikap 'malaikat' padanya tadi membuat Ardli mengurungkan niat. Devan semakin risih karena tatapan semua murid yang ada di sekolah, terlebih para siswi. Revan yang julukannya adalah seorang pangeran sekolah berkeliaran lama di luar kelas merupakan suatu pemandangan yang tidak pernah terjadi di dunia ini.

Devan memikirkan cara agar bisa melepaskan diri dari Revan. Dia tidak akan melakukannya dengan terang-terangan karena kakaknya itu terlalu pintar untuk dikelabui. Kebetulan dia melihat Raka dan Kian sedang duduk di kantin. Dengan penuh senyum Devan menghampiri kedua sahabat Revan itu.

"Dev, kebetulan lo kesini liat Revan nggak?" Raka langsung menyerbu Devan dengan pertanyaan.

Devan tersenyum aneh. "Daritadi dia sama gue Ka. Bawa Revan gih, capek gue diliatin cewek terus."

"Revano? Kemana aja seharian ini? Lo tau kalau gue kangen sama lo?" Raka memberikan senyuman angelicnya yang tidak pernah dia tunjukkan.

Ada sebuah alarm siaga tiba-tiba seolah terdengar di telinga Revan. "Gue... Gue lagi jagain Devan. Kan dia baru keluar dari rumah sakit."

"Gak usah dijagain, Devan kan udah gede. Ada si Ardli juga." Kian malah memberikan tambahan sinyal buruk pada Revan.

Revan menatap garang Kian. Seolah berkata. 'Gue jahit mulut lo nanti awas aja!' "Ntar kalau Devan collapse lagi gimana? Nanti kecolongan lagi gue kayak waktu itu."

"Ardli bakal langsung lapor kan kalau ada apa-apa?" Raka tersenyum dan menatap Ardli tajam.

Ardli yang melihat itu hanya bisa mengiyakannya. "Te..tenang aja gue bisa jagain Devan. Kalau ada apa-apa gue bakal langsung lapor."

"Lagian bel masuk juga udah mau bunyi bentar lagi, gue gakan bandel kok Rev." Devan memberikan keyakinannya.

Kian berdiri dan mulai menarik Revan pergi. "Denger kan kata Devan dia bakal baik-baik aja. Nah sekarang kita bertiga harus pergi dulu, ada rapat penting."

"Hati-hati Rev, moga lo selamat." Devan tersenyum puas karena berhasil melepaskan diri.

Revan sendiri hanya bisa pasrah setelah diseret kedua sahabatnya itu.

Disinilah dia akhirnya. Di sebuah ruangan yang dinamakan ruangan OSIS. Salah satu ruangan yang sangat ingin dihindarinya. Bukan karena dia tidak suka berada di dalam ruangan ini, dan juga OSIS. Hanya saja Revan tidak terlalu suka kalau harus lebih mengekspos dirinya di hadapan orang banyak.

Revan kembali menunjukkan sifat dinginnya. Ekspresi datar tanpa perasaan miliknya itu mungkin bisa membuat Raka dan Kian untul menyudahi pembalasan mereka padanya. Tunggu kenapa juga Kian harus ikut-ikutan? Ah dia lupa Kian itu selalu jinak kalau dengan Raka.

"Kalau lo pikir sikap dingin macem frozen lo itu berfungsi sekarang jangan berharap banyak. Lo tahu kan kalau gue udah nahan kesel dari kemaren?" Lagi senyuman manis tapi menurut Revan adalah senyuman sadis diberikan oleh Raka.

Revan memohon, memasang wajah memelasnya. "Gue kemarin lupa beneran sumpah."

"Bodo amat, gue murka." Raka marah tapi dia tersenyum.

Sementara Kian menatap takjub pada ekspresi memohon Revan. "Revano sumpah ini lo? Revano Ardian Pratama yang sedingim everest? Ngakak anjir, ini kengerian yang hakiki liat lo ngeluarin ekspresi tadi hahahahaha."

"Diem atau gue gakan bantuin lo pas UAS nanti." Revan langsung mengancam.

Kian langsung memberhentikan tawanya. "Gue diem, gue diem!"

"Revano, sebagai imbas kemarahan gue. Gue pengen lo yang jadi ketua panitia kegiatan ulang tahun sekolah nanti. Dan gaada penolakan." Revan bersumpah dia tidak mau lagi membuat Raka kesal.

Kian ikut menambahkan. "Dan lo juga harus jadi salah seorang siswa yang tampil nanti."

"Lah kok... Gue terima jadi ketua tapi..." Ucapan Revan langsung dipotong oleh Raka.

Raka segera memotong protesan Revan. "Gak ada bantah Revano."

Akhirnya Revan hanya bisa menghembuskan nafasnya, pasrah dengan keadaan.

Setelah rapat kecil tadi Revan kembali bersama Raka dan Kian menuju kelas karena bel masuk sudah berbunyi kembali. Pelajaran terakhir di hari itu tanpa terasa sudah dilewati. Semua murid di kelas IPA itu segera pulang terkecuali Raka, Revan dan Kian. Mereka harus melapor terlebih dahulu kepada guru yang membimbing OSIS.

Revan dengan pasrah mengikuti kedua sahabatnya. Sebelumnya Revan sudah berpesan pada Devan untuk pulang lebih dulu karena dia harus menghadiri rapat. Setelah melapor mereka bertiga menuju ruangan OSIS untuk melakukan rapat pertama mengenai acara ulang tahun sekolah yang akan diadakan.

Setelah Revan memasuki ruangan OSIS, semua anggota OSIS langsung menatapnya dengan takjub. Terlebih para anggota siswi. Mereka merasa bahwa ini sebuah keajaiban karena Revano akhirnya bisa duduk diantara mereka. Raka sang ketua OSIS langsung menjelaskan detil mengapa Revan bisa bergabung dengan mereka. Sikap Raka saat berbicara di depan banyak orang berbeda sekali dengan Raka yang Revan kenal. Revan tersenyum karena dirinya tidak salah memilih orang untuk menggantikannya sebagai kandidat ketua OSIS.

Rapat kecil tersebut berlangsung selama kurang lebih satu jam. Sebagai ketua panitia Revan, bersama para anggota OSIS lain membentuk tim untuk diberikan tugas masing-masing. Tentu saja pembagian tugas begitu sangat diperlukan, agar pekerjaan tidak terlalu berat.

Setelah selesai, Revan memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Meninggalkan Raka dan Kian yang masih tetap tinggal di ruangan OSIS. Revan menghembuskan nafasnya lega, padahal sudah lama dia tidak berkecimpung dengan orang banyak tapi dia masih bisa bersikap profesional seperti saat SMP dulu. Tadinya Revan berpikir mungkin dirinya malah hanya akan mengacaukan tapi untung saja itu tidak terjadi.

Revan berjalan menuju halaman parkir sekolah, sampai dia menangkap sosok seseorang yang dikenalinya. Dengan cepat Revan menghampiri seseorang yang masih terduduk depan kelas dekat halaman parkir.

"Kenapa lo belum pulang? Kan tadi udah gue suruh duluan, cuaca udah mendung gini liat?" Jujur saja Revan kesal karena Devan tidak menurutinya apalagi melihat cuaca yang sepertinya sebentar lagi akan hujan.

Devan hanya mengeluarkan cengirannya. "Sorry Rev, gue tadinya emang mau pulang bareng Ardli.."

"Nah tuh si Ardli kemana dia? Gue nitipin lo malah pergi seenaknya aja. Awas ya tuh anak." Revan memotong kalimat Devan dan langsung menyalahkan Ardli.

Devan mendengus kesal, sebal karena kalimatnya dipotong begitu saja. "Dengerin dulu gue ngomong napa dah? Nitip-nitipin gue segala emang gue barang apa? Gue tadi mau pulang duluan ma Ardli, tapi gue liat cuaca mendung mau ujan. Seperti biasa lo kan gak pernah bawa jas ujan, nih gue lupa belum ngasihin ke lo dari pagi. Gue khawatir lo keujanan."

Revan cukup terkejut, adik kembarnya baru kali ini mengkhawatirkannya sampai seperti ini. "Cieh khawatir sama kakaknya. Tumben amat lo sweet gini sama gue Dev? Tiap hari coba, kan seneng gue."

"Kok rasanya gue nyesel nungguin lo kayak gini ya." Devan kesal karena godaan Revan tersebut.

Revan tersenyum, memang paling mudah untuk menjahili sang adik. "Mana ada orang yang nyesel setelah ngeliat muka ganteng gue ini, semua cewek malah nunggu kesempetan kayak lo loh."

"Ganteng dari Hongkong! Lagian gue bukan cewek. Tobat napa dah lo! Pulang hayuk, tar kalau keburu ujan malah gue yang kena tausiyah panjang lo." Devan bangun dari duduknya dan segera menuju sepeda motor Revan.

Revan tertawa mendengarnya. "Punya adek kembar galaknya minta ampun haha."

Devan tidak mempedulikan ledekan Revan. Dia hanya langsung memakai helmnya. Kedua anak kembar itu pulang bersama. Untung saja tepat mereka sudah tiba di rumah, hujan baru saja turun. Terlebih itu sangat melegakan bagi Revan, kalau sampai hujan turun ketika dirinya dan Devan masih di jalan dia takut kalau Devan malah akan collapse.

Setelah membersihkan badan, Revan sudah kembali bersiap-siap. Kali ini dengan seragam kerjanya. Beberapa hari lalu dia izin karena harus menjaga Devan di rumah sakit. Sekarang tidak mungkin kalau dia harus libur kembali.

Saat Revan akan menuju pintu keluar rumah, di depannya Devan sudah berdiri dan membuka pintu. Rupanya hujan masih turun dengan sangat deras. Devan segera menutup pintu rumah mereka kembali. Hal itu sedikit membuat Revan mengernyit bingung. Tidak biasanya juga Devan melakukan hal seperti tadi.

"Jangan berangkat, masih ujan." Devan langsung berbicara sebelum Revan bertanya kenapa.

Revan tersenyum, adiknya mengkhawatirkan dirinya kembali. "Tapi gue harus kerja Devano."

"Ujan masih deres, lo mau sakit?" Devan bertanya jutek seolah tidak peduli.

Senyum kembali menghiasi wajah Revan. Dia tahu kalau adiknya bersikap jutek karena tidak ingin ketahuan jika dia mengkhawatirkannya. "Mau gimana lagi gue harus kerja, gue kemaren-kemaren udah izin mana mungkin sekarang gue izin lagi. Lagian gue bisa jaga diri. Tenang jas ujan juga bakal gue pake."

"Tetep aja, dih batu. Kalau lo sakit ntar, gue gabisa ngurusin lo loh. Tau sendiri kan." Devan tidak habis pikir kenapa Revan bisa keras kepala begitu.

Revan mendekati Devan, perlahan tangannya mengacak rambut Devan. "Kalem, gue tau se-nightmare apa diri lo kok Dev. Jadi gue gakan sakit."

Devan kesal dan menjauhkan tangan Revan dari rambutnya. "Mau gue bikin acak-acakan balik nih sekalian ma mukanya?"

"Lah jangan, aset gue itu." Revan segera menjauhkan tangannya yang padahal ingin mencubit gemas pipi Devan. "Percaya ma gue, gue akan baik-baik aja. Lo di rumah jaga diri, jangan lupa minum obat, jangan main game langsung istirahat aja. Kalau terlalu dingin suhunya, gue udah nyiapin 3 selimut di kamar lo Dev."

Setelahnya Revan langsung pergi meninggalkan rumah untuk bekerja. Menyisakan Devan yang hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah karena Revan yang tidak mendengar nasihatnya. Padahal yang harus Revan khawatirkan adalah dirinya sendiri tetapi kakak kembarnya itu malah selalu menomor satukan dirinya dalam keadaan apapun. Sudahlah, Devan hanya bisa berdoa dan yakin bahwa pulang Revan masih baik-baik saja meskipun rasa khawatirnya masih belum bisa dibendung.

.

.

.

.

.

.

Tidak dirasa hari kemarin sudah berganti menjadi esok. Devan mengerjapkan matanya, berusaha mendapat kesadaran sepenuhnya. Devan berpikir tumben sekali dia tidak mendengar 'nyanyian indah' Revan di pagi hari. Devan bangun dan mulai mempersiapkan diri. Setelah bersiap Devan langsung menuju ruang tengah. Bisa dilihat Revan masih sibuk di dapur mempersiapkan sarapan mereka.

Devan mendudukkan dirinya di kursi. Masih mengamati sang kakak yang belum menyadari kehadirannya. Sekitar 10 menit, Revan sudah menyelesaikan masakannya. Dengan segera dia membawanya ke meja makan. Revan sedikit terkejut melihat Devan yang sudah duduk manis disana. Tadi dia memang lupa untuk membangunkan sang adik.

Devan mulai memakan sarapannya. Di awal anak itu baik-baik saja, tetapi setelah beberapa kali mengunyah Devan merasakan sensasi aneh. Devan tersedak yang langsung membuat Revan khawatir. Revan langsung menyodorkan air minum untuk Devan. Raut muka Devan terlihat aneh. Sepertinya dia memandang sebal pada Revan.

"Asin banget buset! Gue ampe kesedak." Devan bergidik mengucapkannya.

Revan mengernyit bingung. "Asin? Nggak ah. Gue malah ngerasa cukup."

"Rev, gue berani sumpah demi dikerebungin cewek selusin ini masakan lo asin banget. Ngebet nikah ya lo?" Devan bingung, Revan malah mengelak ucapannya.

Revan memakan makanannya untuk memastikan kembali. "Gak asin Devano."

Devan tadi mendengar suara Revan terdengar sedikit aneh. 'Bindeng'. Dengan segera Devan meraba kening Revan. "Lo sakit Rev. Badan lo anget."

"Kagak, gue gak sakit Dev." Revan langsung menjauhkan tangan Devan darinya.

Devan memutar bola matanya malas. "Kalau lo gak sakit lo tuh gakan konslet kayak gini. Lupa bangunin gue, masakan lo asin kayak lautan. Gue tuh tahu kalau lo orangnya perfectionist banget."

"Sumpah gapapa gue, percaya dah Dev." Revan masih bersih keras dengan pendiriannya. "Lo mau ganti makanannya? Pesen gr*b food aja ya bubur? Lo kan harus minum obat."

Seperti biasa Revan mengalihkan pembicaraan dengan mudah. "Terserah lo mau pesenin gue apa. Rev badan lo lagi gak sehat. Lo istirahat aja ya gak usah masuk sekolah. Gue bisa sendiri kok."

"Gak ada sejarahnya Revan gak bisa masuk sekolah karena sakit. Reputasi gue ancur tar Dev. Tenang aja gue gapapa kok Devano. Gue ini kan kuat, jangan terlalu khawatir gue gak mau lo stress." Revan malah menyuruh Devan untuk tidak khawatir.

Devan mendengus sebal. "Udah ah batu banget. Kalau lo kenapa-napa gue gak peduli."

Revan tersenyum mendengarnya. "Asiknya udah dari kemarin dikhawatirin adek gue ini."

"Mulai-mulai deh. Kalau gak jaga jarak gue cakar lo Rev." Mode galak Devan langsung menyala kala melihat tangan Revan yang akan mencubit pipinya.

Revan meledek sang adik. "Galak kayak macan."

"Biarin."

Setelah menghabiskan sarapan mereka dan memastikan Devan sudah meminum obatnya, kedua anak kembar itu langsung pergi ke sekolah. Devan yang dibonceng bisa merasakan bahwa badan Revan cukup terasa hangat. Hangatnya hanya saja berbeda, suhu tubuh kakaknya seperti sedang demam.

Akhirnya Revan dan Devan sudah tiba di sekolah. Revan dan Devan berpisah menuju kelas masing-masing. Sekarang Revan juga lupa lagi untuk mengantar Devan ke kelasnya. Devan yakin kakaknya ini benar-benar sedang sakit.

Saat akan menuju kelas kebetulan sekali Devan bertemu dengan Kian. Dilihat dari gelagatnya Kian seperti sedang menghindari seseorang. Devan sudah tahu siapa yang dia hindari. Tidak lain pasti sang Ketua OSIS.

"Ngapain ngendap-ngendap lo kayak maling takut ketangkep." Devan langsung menyapa Kian dengan 'ramah'.

Kian memandang Devan kesal. "Kurang ajar lo Rev bilang gue maling."

"Sorry, gue Devano." Devan langsung mengklarifikasi.

Kian memandang Devan kembali. Ah dia salah mengira lagi. "Ah ini elo Dev. Abis omongan lo tadi mirip Revan. Gak disaring langsung jeplak plus dengan wajah tanpa dosanya."

"Revan emang to the point, dia gasuka basa-basi depan banyak orang." Devan tersenyum sendiri membayangkannya.

Kian memberikan pertanyaannya. "Jadi, kok tumben lo nyapa gue? Biasanya lo lagi ada maunya kalau kayak gini. Gue gak mau kalau itu gak masuk akal atau ngebahayain kesehatan lo, bisa mati ditusuk gue sama Revan nanti."

Devan menggeleng, Revan seseram itukah dimata teman-temannya. "Gak kok Yan, gue cuma mau minta tolong lo sama Raka jagain Revan. Soalnya kondisi dia lagi kurang sehat hari ini. Dari pagi aja kekonsletannya udah gak ketulungan."

Kian meloading, terdiam untuk beberapa saat. "Hah?! Si Revan sakit? Bisa? Beneran bisa?! Fenomena apa ini?!"

Devan menepuk jidatnya. Si Kian malah membuat kehebohan dan membuat semua siswi disana langsung seakan ingin menyerbu Devan dengan ribuan pertanyaan mengenai Revan. "Lo kalau ngomong gak usah pake toa apa? Revan juga manusia.  Bisa lah, emang selama ini lo anggap Revan apa sih?"

"Hehehe. Sorry Dev. Setan sih." Kian mengatakannya dengan sangat polos.

Devan menggelengkan kepalanya. "Gila lo Yan ah. Kakak gue lo anggap setan. Udah pokoknya tolong ya jagain Revan, gue khawatir banget sumpah."

"Yaudah lo tenang aja. Serahin Revan ke gue sama Raka, lo jangan jadi pikiran yang malah bikin lo kambuh nanti. Gue sama Raka bakal jagain Revan sebaik mungkin." Kian meyakinkan Devan.

Devan bersyukur Revan memiliki teman seperti Kian. "Thank's ya Yan."

"Sama-sama...... Eh sama Raka juga? Gue harus bilang ke Raka dong? Tapi kan gue lagi kabur dari dia? Ya nasib gue dong Dev? Ah yaudahlah demi Revan dan lo gue rela dibikin mewek lagi sama si Raka." Kian hanya bisa meratapi nasibnya.

Setelah itu Kian langsung memberitahukan tentang keadaan Revan pada Raka. Meski awalnya dia harus 'perang' dulu menghadapi Raka. Raka dan Kian tidak seditik pum melepaskan pandangan mereka dari Revan.

Dimulai dari jam pelajaran pertama, kedua hingga istirahat sekarang ini. Tumben juga Revan tidak pergi menghampiri Devan di jam istirahat. Biasanya Revan akan tetap menghampiri Devan sebisa mungkin, tapi sekarang sama sekali tidak menemuinya. Di tengah acara makan tiba-tiba saja Revan merasa hidungnya gatal dan kepalanya sedikit pusing.

"Hatchiiii....."

Kian kembali meloading seperti tadi. Raka juga mendadak buffering. Para murid laki-laki langsung menatap Revan aneh. Para murid perempuan bagai mengheningkan cipta. Langsung saja seperti di komik dibalik pundak para siswi seolah ada gambar-gambar cinta yang bertebaran.

Kian langsung menarik Raka dan berbisik dengannya. "Ka lo pernah lihat manusia yang namanya Revan bersin gak?"

"Gak pernah. Tadi yang pertama." Raka langsung menjawab cepat.

Kian cukup terkejut padahal Raka teman masa kecilnya Revan dan Devan. "Sumpah? Berarti yang tadi itu apa?"

"Yang tadi namanya kayang Yan." Revan tiba-tiba berada di tengah-tengah Raka dan Kian."

Kian menolak jawaban Revan. "Rev lo tuh pinter kok jadi bego sih. Yang tadi itu namanya bersin."

Raka yang cukup sadar sedikit terkejut. "Rev lo sakit? Jangan-jangan lo flu?"

"Kayaknya sih. Tapi gak usah dipikirin tar juga ilang sendiri." Revan menjawab dengan tenang.

Kian mendengus sebal. "Tapi adek lo tuh mikirin lo banget, dia sampe minta gue sama Raka buat jagain lo. Tapi ini sejarah Rev, harusnya gue abadiin momen lo bersin tadi. Kalau gue jual foto lo yang lagi bersin tadi ke para cewek disini dijamin laku keras dah."

"Ehm Yan, lo gak mau mati digunting kan?" Raka langsung memperingatkan tanda bahaya yang dikeluarkan dari Revan.

Revan memasang senyum 'malaikatnya'. "Silahkan dicoba Arkiansyah."

"Kagak. Canda sumpah. Tapi bener Devan khawatir banget sama lo Rev. Keliatan banget dari mukanya tadi." Kian langsung mengurungkan niatnya tadi.

Revan menghembuskan nafasnya. "Gue tadi kan udah bilang ke dia jangan terlalu khawatir. Gini kan anak itu gampang banget ada beban pikiran, gue gak mau dia kenapa-napa dan malah dia yang kambuh akhirnya."

"Nah makanya lo jangan bikin dia khawatir. Dengan lo ngehindar kayak gini malah bikin Devan tambah khawatir. Lo coba bilang baik-baik aja ke Devan. Gue tau niat lo baik karena gak mau bikin dia khawatir tapi gue juga ngerasa itu malah bikin Devan kecewa ke dirinya senidiri karena seolah-olah lo gak mau bersandar ke dia. Jujur aja gih." Raka menasehati sahabatnya itu.

Revan memejamkan matanya. Meresapi setiap kalimat Raka. "Yah, gue juga manusia bisa sakit yah. Oke deh gue bakal jujur nanti ke Devn."

"Iyah gue aja takjub lo bisa sakit Rev." Kembali ucapan polos Kian terdengar.

Setelah beberapa jam pelajaran akhirnya bel tanda pulang berhenti. Revan merasa bahwa keadaan tubuhnya semakin berat. Jujur saja dari pagi tadi dia sudah merasakan demam. Raka dan Kian menangkap gelagat aneh Revan tersebut. Mereka berdua langsung membantu Revan berjalan hingga menuju parkiran sekolah.

Tapi sayang sekali semakin Revan berjalan, kepalanya terasa semakin berat. Tenggorokannya terasa semakin kering. Revan berusaha agar sekuat mungkin sampai menuju rumah. Sayang baru saja dia sudah keluar dari pintu kelas lututnya tersasa sangat lemas. Disana dia bisa melihat Devan yang berlari panik ke arahnya sebelum semua pandangannya menjadi gelap.

'BRUK'

"Revano!"

.

.

.

.

.

.

...Mohon maaf apabila di dalamnya masih banyak kekurangan seperti TYPO dan lain-lain. Proses pengetikam cerita ini dilakukan di handphone jadi harap di maklum. Hehe....

...Sekali lagi terima kasih untuk kalian semua yang sudah mendukung cerita ini....

...Jangan lupa vote dan kirim masukan dan kritik kalian di komentar ya! :)...

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!