NovelToon NovelToon
MANTU RAHASIA

MANTU RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Nikah Kontrak / Dokter Genius / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 Mantu Rahasia

“Oke, satu hal lagi. Setelah kita masuk nanti, mending jangan bahas soal kejadian di rumah sakit ya,” kata Ayu sambil menoleh. “Kalau orang tua kita tahu kamu bukannya minta maaf, malah bikin masalah sama Keluarga Jaya, bisa-bisa kamu dimarahin lagi.”

Rama mengangguk, “Iya, iya, aku ngerti.”

“Kalau gitu, yuk masuk.”

“Nanti dulu,” Rama menahan langkahnya, suaranya lembut, “Kakek masih tinggal di Vila Grand, kan?”

“Iya,” jawab Ayu. “Satu keluarga Paman juga tinggal di sana. Kakek udah lama koma, tiap hari ada yang jagain.”

“Kalau gitu, cari waktu yuk buat jenguk Kakek,” kata Rama.

Sebenarnya Rama punya maksud lain. Dia pengen tahu, siapa tahu dia bisa bantu nyembuhin si Kakek itu. Dan dari situ mungkin dia bisa dapet info penting dari si orang tua.

Apalagi, kepala keluarga Ningrum semangat banget ngejodohin dia sama Ayu. Rasanya nggak masuk akal, pasti ada sesuatu yang disembunyiin. Rama curiga si Kakek tahu sesuatu.

Tapi Ayu langsung nolak, “Aku nggak mau ke sana.”

“Lho, kenapa?” Rama bingung. “Kamu masih kesel gara-gara Kakek jodohin kita?”

“Bukan itu,” Ayu menatap Rama, “Dulu sih iya aku sempet kesel. Tapi sekarang udah nggak. Aku cuma malas ribet ketemu Paman dan keluarganya.”

“Tapi aku tetap pengen ke sana. Masa aku ke sana sendirian, kan nggak enak.”

Rama senyum tipis, agak maksa.

“Kok tiba-tiba pengen ketemu Kakek?” Ayu keliatan penasaran.

“Sekarang hubungan kita udah agak mendingan. Aku pengen ngucapin terima kasih ke Beliau” jawab Rama sambil senyum kecil.

“Ooh gitu…” Raut muka Ayu yang tadinya datar, mulai melunak. “Ya udah deh, besok malam aku anterin.”

“Makasih, istriku,” Rama senang banget.

“Kamu aja yang beli buah tangannya ya. Nih, pakai ini,” kata Ayu sambil ngeluarin kartu dari dompet dan ngasihin ke Rama.

Rama bengong sebentar, nggak langsung nerima.

“Udah ambil aja,” desak Ayu. “Isinya nggak banyak kok, cuma puluhan juta.”

Dia langsung nyelipin kartu itu ke tangan Rama.

“Tapi kamu kan waktu itu udah bantuin bayar utang keluargaku banyak banget. Aku aja belum sempet balikin. Sekarang kamu malah kasih duit lagi, aku jadi nggak enak.”

Rama ngembaliin kartunya.

“Kamu ngomong apa sih?” Nada suara Ayu langsung berubah serius. Matanya agak tajam. “Kita ini suami istri, Rama. Masa pake uang istrinya aja mikirnya panjang? Atau kamu punya maksud lain, hah?”

Belum sempet Rama jawab, tiba-tiba terdengar suara nyolot dari depan rumah.

“Hei, kalian berdua ngapain sih dari tadi diem di luar? Bisik-bisik segala, kayak nyusun konspirasi aja!”

Bu Heni muncul entah dari mana.

Refleks, Ayu langsung narik tangan Rama dan nyembunyiin kartu bank tadi.

Tapi gerakan kecil Ayu tadi ternyata nggak luput dari mata Bu Heni.

Wajahnya langsung berubah dingin. Dengan nada ketus, dia nanya, “Ayu, kamu mau kasih dia uang?”

“Bu… Dia kan udah tinggal bareng kita lebih dari setahun, nggak pernah beli baju atau barang apa pun. Jadi aku pikir...”

“Jangan kasih dia apa-apa,” potong Bu Heni ketus. “Kalau dia butuh baju atau sepatu, ya cari sendiri. Kita nggak punya kewajiban buat beliin dia.”

“Tapi, Bu…”

“Udah, nggak usah cari alasan. Kamu harus mikirin dirimu sendiri. Sebentar lagi proyek mall mau mulai, dan itu butuh dana gede. Ayahmu baru bilang kita masih kurang tiga puluh miliar. Kita aja belum tahu bisa cari dari mana uang sebanyak itu, jadi jangan buang-buang dana.”

Nada bicara Bu Heni bener-bener serius, dan tajam.

“Lho, bukannya kemarin katanya dana udah cukup?” Ayu kelihatan bingung.

“Pamanmu nelpon dua hari lalu, katanya dia ada masalah dan malah bawa kabur lebih dari sepuluh miliar,” jawab Heni sambil mendesah berat.

“Hah? Bukannya bisnis paling penting di keluarga kita justru dipegang Paman? Kok bisa kekurangan duit sebanyak itu?”

Ayu makin bingung.

“Ya siapa yang tahu? Yang jelas sekarang ayahmu lagi pusing berat. Kalau kita nggak dapet tambahan tiga puluh miliar, proyek HAR bisa batal. Kamu harus mikirin gimana caranya bantu,” ucap Bu Heni.

“Kalian udah coba pinjam ke bank?”

“Udah, tapi bank nggak mau ngasih pinjaman lagi. Kita udah punya banyak utang, dan ayahmu juga udah nelepon semua temannya buat cari dana tambahan, tapi belum ada hasil.”

Ayu menggigit bibirnya, hatinya makin kacau.

“Tapi... kalau ayah tahu kondisinya kayak gini, kenapa masih pinjemin uang ke Paman? Nggak masuk akal.”

“Ini bukan soal utang biasa. Ada hal lain yang nggak bisa dijelasin sekarang. Tapi intinya, kamu harus bantu cari solusi,” kata Bu Heni mantap.

“Kalau ayah sendiri aja nggak bisa nyelesaiin ini, aku bisa apa?”

“Kamu itu salah satu yang bertanggung jawab atas proyek Mall. Ini tanggung jawab kamu juga,” ucap Bu Heni, makin serius nadanya.

Saat itu, terdengar suara tenang dari arah dalam rumah.

“Ayu, ibumu benar. Ayah tahu kamu bingung sekarang, tapi ayah punya ide.”

Pak Sidik keluar dari ruang tengah. Senyumnya tenang, wajahnya nggak kelihatan cemas sama sekali.

“Cara apa, Yah?”

“Proyek Hartono Group itu kan sebenarnya bisa jalan berkat Rama. Sepertinya Pak Agus punya rasa hormat tinggi ke dia. Mungkin... kamu bisa minta Rama bantu cari dana. Dua atau tiga miliar, cukup buat nafas kita sedikit lega,” kata Pak Sidik pelan.

Ayu langsung geleng-geleng, wajahnya tegas.

“Nggak bisa. Rama udah bantu kita besar-besaran supaya proyek ini bisa jalan. Belum lagi soal bisa atau nggaknya kita minjem uang. Bahkan kalau pun bisa, minjem sebelum pembangunan dimulai tuh kesannya jelek banget. Orang-orang bisa salah paham. Kita jadi kayak pihak yang nggak punya kekuatan finansial. Itu bisa jadi masalah besar.”

"Dalam dunia bisnis itu, kamu harus punya kulit tebal. Kamu tahu sendiri kan?” ucap Pak Sidik dengan senyum tipisnya. “Lagian, bantuan Rama buat dapetin proyek ini udah selesai, jadi hal kecil begini nggak usah terlalu dipikirin. Biarin aja Rama coba cari pinjaman. Kalau berhasil, nanti kita bisa ucapin terima kasih baik-baik. Kalau gagal, tinggal bilang itu inisiatif Rama pribadi, nggak bakal ngaruh ke apa-apa.”

Pak Sidik tersenyum santai seolah semua itu cuma permainan biasa.

“Ayah, permainanmu licin juga ya,” komentar Rama sambil nyengir tipis, tapi nadanya datar.

“Ya kan bener? Kamu juga harus punya kontribusi dong buat keluarga ini,” ucap Pak Sidik santai, seperti menasihati.

“Tapi aku nggak mau,” jawab Rama tiba-tiba, nada suaranya jadi tegas.

Dia berdiri tegak, menatap langsung ke arah Pak Sidik. Meskipun dia bukan siapa-siapa di mata orang tua itu, Rama tetap punya batasan.

Wajah Pak Sidik langsung berubah. “Kalau kamu nggak mau bantu, ya udah, mending kamu cerai aja sama Ayu!”

Rama tertegun. Dia nggak nyangka, ancaman model begini bakal diulang lagi.

Ayu juga langsung mengernyit dalam-dalam. “Ayah, kenapa sih harus selalu ngancam kayak gitu? Semua bisa dibicarain baik-baik kan?”

“Ayah nggak ngancam,” sahut Pak Sidik dingin. “Tapi kalau dia nggak mau bantu, ya buat apa ada di keluarga ini? Kita nggak butuh orang yang cuma nambah beban!”

“Aku nikah sama Rama itu karena Kakek yang atur, bukan Ayah. Jadi kalau pun harus cerai, ya keputusan Kakek juga,” tegas Ayu.

Tanpa banyak kata lagi, dia langsung genggam tangan Rama dan menariknya masuk ke dalam rumah, meninggalkan ayahnya yang masih terengah-engah karena emosi.

Wajah Pak Sidik memerah karena marah. Dia berbalik dan berteriak ke arah aula, “Ayu! Kalau kamu nggak mau Rama yang ke Keluarga Hartono, ya kamu sendiri yang cari uangnya! Kalau nggak bisa, jangan urus proyek ini lagi!”

Rama, yang masih tenang, tiba-tiba buka suara dari ambang pintu, nadanya santai tapi tajam, “Kalau Ayu berhasil dapet uangnya sendiri, gimana? Gimana kalau bagian keuntungannya nanti lebih besar buat dia?”

Pak Sidik langsung bengong, seolah nggak nyangka Rama bakal ngomong kayak gitu. “Maksudmu apa? Kamu setuju ke Keluarga Hartono?”

“Enggak,” jawab Rama cepat. “Jawab dulu pertanyaanku tadi.”

Rama menatap langsung ke mata Pak Sidik, tanpa gentar sedikit pun.

Pak Sidik kelihatan gugup sebentar, tapi tetap ngegas, “Nggak ada yang kayak gitu! Jangan mimpi deh. Kamu atau dia, dua-duanya harus kontribusi buat keluarga ini. Itu wajar. Ngapain ngomong soal bagi-bagi keuntungan? Nggak masuk akal.”

Rama mendengus pelan.

“Lucu juga ya,” katanya dingin. “Barusan Ayah bilang kalau aku nggak mau bantu, harus cerai. Itu juga semacam tawar-menawar dong? Eh, salah... lebih tepatnya, itu maksa.”

Wajah Rama tetap kalem, tapi nadanya menusuk.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!